Tak Terlupa
Hawa panas menguap dari tubuhku. Padahal obat sudah kuminum, juga seluruh tubuh sudah kubalut kain kecuali lengan tangan, leher dan kepala. Namun masih saja, dingin menembus itu semua. Aku demam. Tubuhku menyerah setelah hampir tiga hari ia terus beraktivitas non-stop.
Namun hari raya ketiga terlampau indah jika tidak dilukiskan lewat belantara aksara. Aku ingin mengabadikan momen istimewa melalui kata. Sebagaimana yang tertera dalam akun IG dan FB yang sudah terunggah beberapa foto, menjepret keluarga tercintaku.
Mari memulai sejak pagi. Ketika matahari masih ranum menyapa belahan bumi.
Motorku kupacu dengan kecepatan 80 km/jam. Alvi and aku kadang sedikit terhuyung. Terpontang-panting kami berdua menyusul Naufal yang memutar gas semaunya.
"Nanti aku kecepatan penuh lo ya," ucapan Naufal terngiang dalam kepalaku.
"Biasa aja. Aku biasa ngebut," jawabku enteng.
"Kalau ndak cepat pokoknya tak tinggal," jawabnya lagi.
"Iya, iya. Santai," ucapku masih meremehkan.
Nyatanya, aku kalah telak. Naufal berada di depan dengan jarak kisaran 100 m lebih. Dengan fokus penuh, mataku menatap jalanan depan. Napasku memburu.
"Mbak, awas ada jendulan," teriak Alvi dari belakang jok.
Wuus
Kami berdua seperti terbang. Beberapa detik kemudian, derai tawa menggema dari kami berdua.
"Gila itu masmu. Kok bisa medan kaya gini kecepatannya macam itu," gerutuku.
Kata-kataku kutelan kembali. Aku terlalu meremehkan si adik lelaki. Dia mengambil medan yang baru dan asing bagiku. Alhasil, seharusnya 60km/jam sudah sangat cepat dariku. Namun dia, dengan motor Prima tua, berhasil menembus 80km/jam. Aku terengah-engah menyusul dirinya yang tampak mengecil di depan sana.
Sekitar sepuluh motor harus kusalip. Dengan perhitungan matang dan medan yang sudah masuk dalam pertimbangan, sekali tancap kesepuluh motor itu mampu kami tinggalkan.
Terakhir, kami juga harus melihat lubang-lubang jalanan yang tidak hanya satu. Tapi banyak sekali. Membuat kami terseok, dan kembali tawa berderai-derai dari Alvi dan dariku.
Naufal tersusul, namun tidak lama. Dia melesat ke depan dengan segera, menyalip beberapa motor berbarengan. Aku tidak bisa menyalip karena di jalur lain ada beberapa motor.
Tampak si Naufal belok pada gang kecil, gang desa. Aku terus menyusulnya. Sungguh ini bukan medanku. Aku meringis dan mengaku kalah. Medan desa pelosok bukan jalananku. Jika perjalanan Blitar Tulungagung, aku bahkan biasa menembus 100 km/jam. Namun ini, jalanan dengan banyak batu, tidak rata, berliku, banyak lubang, sempit dan sebagainya, boleh kukibarkan bendera putih?
Ah, tidak boleh. Jika aku menyerah sekarang, tentu saja habis karena tersesat tak tahu arah diriku. Hilang. Bisa gawat. Kuanggap saja sebagai arena berlatih untuk mengasah kemampuanku menaiki motor.
Sekitar 30 menit, alhamdulillah kami sudah tiba di rumah Mbah, di desa Njari. Napasku lega. Begitu tiba, Alvi dan aku langsung tertawa terpingkal mengingati beberapa kali kami terbang bersama motor tadi. Astaga. Benar-benar pagi yang sempurna untuk memulai hari. Kepala Naufal seger kujitak karena gemas. Dia tega sekali memberi pelajaran kepada kakak sulungnya yang songong. Aku menyerah.
Bapak, ibu dan Fahmi sudah tiba dahulu karena mereka memang berangkat satu jam lebih awal. Sahabat baik bapak yang dari Malang singgah ke rumah Njari, tidak bisa mampir di Blitar karena beberapa hal. Oleh karenanya, beliau hanya bisa bertemu di sana ketika pagi. Kami menyusul satu jam kemudian.
Acara setelah itu, kami pergi ke Soso, kemudian Ndoko dan terakhir Singkil, Kesamben. Benar-benar remote area. Tidak ada sinyal sama sekali di ponsel kami. Namun, sejauh mata memandang, tampak warna hijau dan cokelat tanah menghias pandangan mataku. Semuanya terbayar dengan pemandangan alam ini.
Ketika di singkil, matahari sudah condong. Tak disangka, motor prima dek Naufal bocor. Kami berhenti pada suatu tempat. Aku mengajak Alvi untuk memutari jalanan, mencari tambal ban.
Rumah demi rumah terlewati. Lebih dari sepuluh tambal ban, semuanya tutup. Ada sebuah rumah yang terbuka dengan tulisan tambal ban. Aku mencoba mengetuk pintunya. Seorang wanita muda mendatangiku. Masker dan helmku kulepas.
"Permisi, Ibu. Mohon maaf apakah bisa minta tolong untuk menambal ban?" ucapku.
"Oh, sebentar. Saya panggilkan orangnya dahulu ya," ucap ibu itu.
"Baik, Ibu. Terima kasih," jawabku.
Beberapa menit berlalu. Seorang lelaki muda, tampak tak begitu ramah datang. Tidak ada senyum di wajahnya. Ah, mungkin aku terlalu berandai untuk membuat semua orang tersenyum. Aku saja yang mencoba tersenyum padanya.
"Maaf, Mbak. Ini mau keluar," tegasnya.
"Oh, begitu. Ya sudah, terima kasih, Bapak. Mari," pamitku.
"Ya, Mbak," jawabnya.
Peluh mulai bercucuran menyembul di balik hijabku. Aku kembali ke motor, bersama Alvi. Kami kembali. Tampak ibuk, bapak dan Naufal masih di sana. Aku tidak membelok. Tiba-tiba ada sebuah rumah buka dengan tulisan tambal ban. Aku membawa Alvi kembali ke tempat keluargaku berada.
"Turun," pintaku.
Setelah si bungsu turun, aku segera meluncur kembali ke tempat temuanku.
Motor kuparkir senbarangan di depan. Pintu kuketuk beberapa kali.
"Assalamualaikum," teriakku lantang. Aku berani mengucapkan salam umat Muslim karena kutemukan kaligrafi di sana. Sepi, tak ada tanggapan.
"Assalamualaikum," teriakku lagi. Tetap tidak ada jawaban. Mataku menelisik dalam ruangan. Aku menatap dua buah foto yang dipasang di lemari sederhana. Tampak lelaki berkumis berbaju loreng hijau dan kelabu membawa senapan tersenyum. Hatiku berdesir. Segera, kulangkahkan kakiku pergi. Sebelum itu, sempat kuketuk lagi pintu itu. Tetap tidak ada jawaban. Aku melesat pergi ke tempat lain. Hingga stasiun Kesamben, aku masih lurus ke barat, ke utara. Nihil.
Ketika ada sebuah rumah yang memiliki ban dipasang di teras, dan pintu itu dibuka, tanpa pikir panjang, aku berhenti dan mendatanginya. Seorang bapak paruh baya, tampak dari kalangan menengah ke atas mendatangiku setelah aku mengucapkan salam.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanyanya.
"Bapak, mohon maaf. Di sini bisa tambal ban atau tidak?" tanyaku hati-hati. Tampak si bapak tersenyum, menahan tawa mungkin lebih tepatnya.
"Bukan, Mbak," jawabnya.
"Maaf, Pak. Tadi lihat ada ban itu di depan saya kira bisa tambal ban. Ya sudah, terima kasih, Pak. Mari," segera aku berpamitan.
Peluh terus bercucuran. Aku tidak tahu lagi harus ke mana. Belasan tukang tambal dan bengkel sudah dilewati. Namun semuanya tutup. Segera saja, aku memacu motor menuju ke keluargaku.
Tiba di tempat, motor Prima sudah tidak tampak. Bapak juga menghilang. Ternyata bapak sudah menemukan tambal ban, alhamdulillah. Kami menyusul beliau. Kemudian motor ditinggal, dek Naufal akhirnya satu motor dengan Alvi dan aku.
***
Sepulang dari rumah saudara, kami menuju ke tempat motor tadi ditambal. Betapa terkejutnya kami ketika mendapati bahwa ban dalamnya masih tergolek lemas tak berdaya di balik ban luar. Bapaknya tampak tidur di dalam rumah.
"Kok belum ditambal, sih," ucap Naufal.
Mataku lekat memandang bapak polos itu. Dalam taksiranku, tadi langsung dikerjakan oleh beliau. Masa belum dikerjakan? Ditambah dengan keadaan motor yang memang sudah tua. Mungkin ada sesuatu di ban itu.
"Bannya robek. Tidak bisa ditambal. Jadi harus ganti ban. Tadi bapaknya tidak berani kalau ditambal tanpa konfirmasi. Takut dikira berbohong," ucap bapak.
"Masyaallah," tambahku.
"Nduk sampean berdua pulang dahulu ndak apa," ucap Ibu.
"Gimana Dik?" tanyaku pada Alvi.
"Sembarang, Mbak," ucapnya.
"Halah ntar ndak tahu jalan," ucap Naufal, mengejek.
"Tidak ya. Aku tahu jalan," ucapku yakin.
Akhirnya, kami pulang dahulu. Tiba di jalan utama Blitar-Malang, macet bukan kepalang. Kami mencoba menyalip beberapa mobil di depan. Pada sebuah kesempatan, kami bisa melaju lurus ke depan.
Di sebuah tikungan, aku bingung harus belok ke arah mana. Haruskah aku ke kiri atau ke kanan? Jujur, aku hanya mengandalkan ingatanku tahun lalu.
"Mbak, belok kiri," ucap adik. Ragu, akhirnya tetap kuambil saja keputusan adik. Daripada aku tambah bingung.
Motor kami terus berjalan, mengikuti jalan utama. Kurasa, sepertinya kami tidak akan melewati Wlingi. Melainkan Selopuro. Astaga, tentu saja kami berputar-putar. Dari Kesamben, Selopuro, Kanigoro, dan kembali ke Wlingi.
Begitu tahu kami tersesat di jalan yang benar, kami berdua terkikik kembali. Motor terus melaju dengan kecepatan sedang.
Kami tiba di Wlingi. Aku mengambil lajur berangkat tadi pagi bersama Naufal. Benar-benar berputar rute kami. Ketika kami tiba di rumah Mbok, ibuk, bapak dan Naufal sudah tiba di sana. Kembali kami tertawa lebih lebar.
"Kok bisa?" tanya ibu.
"Kami lewat Selopuro, Buk," jawabku.
"Bener kan. Gak tahu jalan," ejek Naufal.
Aku ingin menjitak kepalanya lagi.
Kami segera bermukim di kediaman bude Ro, nenek Fahmi. Segera, dengan tawa yang masih berderai-derai, kami menggiring motor ke sana.
Luar biasa hari itu. Sungguh merekatkan jalinan kasih dengan adik-adikku.
Selimut kembali kutarik. Wajah dan tubuhku kutenggelamkan dalam balutan hangat selimut, berusaha mengusir dingin yang terus menusuk. Aku harus memejamkan mata, semoga besok baik-baik saja. Semoga esok juga masih berjumpa.
Terima kasih, berkenan mampir dan membaca, Sahabat.
Have a nice day.
Namun hari raya ketiga terlampau indah jika tidak dilukiskan lewat belantara aksara. Aku ingin mengabadikan momen istimewa melalui kata. Sebagaimana yang tertera dalam akun IG dan FB yang sudah terunggah beberapa foto, menjepret keluarga tercintaku.
Mari memulai sejak pagi. Ketika matahari masih ranum menyapa belahan bumi.
Motorku kupacu dengan kecepatan 80 km/jam. Alvi and aku kadang sedikit terhuyung. Terpontang-panting kami berdua menyusul Naufal yang memutar gas semaunya.
"Nanti aku kecepatan penuh lo ya," ucapan Naufal terngiang dalam kepalaku.
"Biasa aja. Aku biasa ngebut," jawabku enteng.
"Kalau ndak cepat pokoknya tak tinggal," jawabnya lagi.
"Iya, iya. Santai," ucapku masih meremehkan.
Nyatanya, aku kalah telak. Naufal berada di depan dengan jarak kisaran 100 m lebih. Dengan fokus penuh, mataku menatap jalanan depan. Napasku memburu.
"Mbak, awas ada jendulan," teriak Alvi dari belakang jok.
Wuus
Kami berdua seperti terbang. Beberapa detik kemudian, derai tawa menggema dari kami berdua.
"Gila itu masmu. Kok bisa medan kaya gini kecepatannya macam itu," gerutuku.
Kata-kataku kutelan kembali. Aku terlalu meremehkan si adik lelaki. Dia mengambil medan yang baru dan asing bagiku. Alhasil, seharusnya 60km/jam sudah sangat cepat dariku. Namun dia, dengan motor Prima tua, berhasil menembus 80km/jam. Aku terengah-engah menyusul dirinya yang tampak mengecil di depan sana.
Sekitar sepuluh motor harus kusalip. Dengan perhitungan matang dan medan yang sudah masuk dalam pertimbangan, sekali tancap kesepuluh motor itu mampu kami tinggalkan.
Terakhir, kami juga harus melihat lubang-lubang jalanan yang tidak hanya satu. Tapi banyak sekali. Membuat kami terseok, dan kembali tawa berderai-derai dari Alvi dan dariku.
Naufal tersusul, namun tidak lama. Dia melesat ke depan dengan segera, menyalip beberapa motor berbarengan. Aku tidak bisa menyalip karena di jalur lain ada beberapa motor.
Tampak si Naufal belok pada gang kecil, gang desa. Aku terus menyusulnya. Sungguh ini bukan medanku. Aku meringis dan mengaku kalah. Medan desa pelosok bukan jalananku. Jika perjalanan Blitar Tulungagung, aku bahkan biasa menembus 100 km/jam. Namun ini, jalanan dengan banyak batu, tidak rata, berliku, banyak lubang, sempit dan sebagainya, boleh kukibarkan bendera putih?
Ah, tidak boleh. Jika aku menyerah sekarang, tentu saja habis karena tersesat tak tahu arah diriku. Hilang. Bisa gawat. Kuanggap saja sebagai arena berlatih untuk mengasah kemampuanku menaiki motor.
Sekitar 30 menit, alhamdulillah kami sudah tiba di rumah Mbah, di desa Njari. Napasku lega. Begitu tiba, Alvi dan aku langsung tertawa terpingkal mengingati beberapa kali kami terbang bersama motor tadi. Astaga. Benar-benar pagi yang sempurna untuk memulai hari. Kepala Naufal seger kujitak karena gemas. Dia tega sekali memberi pelajaran kepada kakak sulungnya yang songong. Aku menyerah.
Bapak, ibu dan Fahmi sudah tiba dahulu karena mereka memang berangkat satu jam lebih awal. Sahabat baik bapak yang dari Malang singgah ke rumah Njari, tidak bisa mampir di Blitar karena beberapa hal. Oleh karenanya, beliau hanya bisa bertemu di sana ketika pagi. Kami menyusul satu jam kemudian.
Acara setelah itu, kami pergi ke Soso, kemudian Ndoko dan terakhir Singkil, Kesamben. Benar-benar remote area. Tidak ada sinyal sama sekali di ponsel kami. Namun, sejauh mata memandang, tampak warna hijau dan cokelat tanah menghias pandangan mataku. Semuanya terbayar dengan pemandangan alam ini.
Ketika di singkil, matahari sudah condong. Tak disangka, motor prima dek Naufal bocor. Kami berhenti pada suatu tempat. Aku mengajak Alvi untuk memutari jalanan, mencari tambal ban.
Rumah demi rumah terlewati. Lebih dari sepuluh tambal ban, semuanya tutup. Ada sebuah rumah yang terbuka dengan tulisan tambal ban. Aku mencoba mengetuk pintunya. Seorang wanita muda mendatangiku. Masker dan helmku kulepas.
"Permisi, Ibu. Mohon maaf apakah bisa minta tolong untuk menambal ban?" ucapku.
"Oh, sebentar. Saya panggilkan orangnya dahulu ya," ucap ibu itu.
"Baik, Ibu. Terima kasih," jawabku.
Beberapa menit berlalu. Seorang lelaki muda, tampak tak begitu ramah datang. Tidak ada senyum di wajahnya. Ah, mungkin aku terlalu berandai untuk membuat semua orang tersenyum. Aku saja yang mencoba tersenyum padanya.
"Maaf, Mbak. Ini mau keluar," tegasnya.
"Oh, begitu. Ya sudah, terima kasih, Bapak. Mari," pamitku.
"Ya, Mbak," jawabnya.
Peluh mulai bercucuran menyembul di balik hijabku. Aku kembali ke motor, bersama Alvi. Kami kembali. Tampak ibuk, bapak dan Naufal masih di sana. Aku tidak membelok. Tiba-tiba ada sebuah rumah buka dengan tulisan tambal ban. Aku membawa Alvi kembali ke tempat keluargaku berada.
"Turun," pintaku.
Setelah si bungsu turun, aku segera meluncur kembali ke tempat temuanku.
Motor kuparkir senbarangan di depan. Pintu kuketuk beberapa kali.
"Assalamualaikum," teriakku lantang. Aku berani mengucapkan salam umat Muslim karena kutemukan kaligrafi di sana. Sepi, tak ada tanggapan.
"Assalamualaikum," teriakku lagi. Tetap tidak ada jawaban. Mataku menelisik dalam ruangan. Aku menatap dua buah foto yang dipasang di lemari sederhana. Tampak lelaki berkumis berbaju loreng hijau dan kelabu membawa senapan tersenyum. Hatiku berdesir. Segera, kulangkahkan kakiku pergi. Sebelum itu, sempat kuketuk lagi pintu itu. Tetap tidak ada jawaban. Aku melesat pergi ke tempat lain. Hingga stasiun Kesamben, aku masih lurus ke barat, ke utara. Nihil.
Ketika ada sebuah rumah yang memiliki ban dipasang di teras, dan pintu itu dibuka, tanpa pikir panjang, aku berhenti dan mendatanginya. Seorang bapak paruh baya, tampak dari kalangan menengah ke atas mendatangiku setelah aku mengucapkan salam.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanyanya.
"Bapak, mohon maaf. Di sini bisa tambal ban atau tidak?" tanyaku hati-hati. Tampak si bapak tersenyum, menahan tawa mungkin lebih tepatnya.
"Bukan, Mbak," jawabnya.
"Maaf, Pak. Tadi lihat ada ban itu di depan saya kira bisa tambal ban. Ya sudah, terima kasih, Pak. Mari," segera aku berpamitan.
Peluh terus bercucuran. Aku tidak tahu lagi harus ke mana. Belasan tukang tambal dan bengkel sudah dilewati. Namun semuanya tutup. Segera saja, aku memacu motor menuju ke keluargaku.
Tiba di tempat, motor Prima sudah tidak tampak. Bapak juga menghilang. Ternyata bapak sudah menemukan tambal ban, alhamdulillah. Kami menyusul beliau. Kemudian motor ditinggal, dek Naufal akhirnya satu motor dengan Alvi dan aku.
***
Sepulang dari rumah saudara, kami menuju ke tempat motor tadi ditambal. Betapa terkejutnya kami ketika mendapati bahwa ban dalamnya masih tergolek lemas tak berdaya di balik ban luar. Bapaknya tampak tidur di dalam rumah.
"Kok belum ditambal, sih," ucap Naufal.
Mataku lekat memandang bapak polos itu. Dalam taksiranku, tadi langsung dikerjakan oleh beliau. Masa belum dikerjakan? Ditambah dengan keadaan motor yang memang sudah tua. Mungkin ada sesuatu di ban itu.
"Bannya robek. Tidak bisa ditambal. Jadi harus ganti ban. Tadi bapaknya tidak berani kalau ditambal tanpa konfirmasi. Takut dikira berbohong," ucap bapak.
"Masyaallah," tambahku.
"Nduk sampean berdua pulang dahulu ndak apa," ucap Ibu.
"Gimana Dik?" tanyaku pada Alvi.
"Sembarang, Mbak," ucapnya.
"Halah ntar ndak tahu jalan," ucap Naufal, mengejek.
"Tidak ya. Aku tahu jalan," ucapku yakin.
Akhirnya, kami pulang dahulu. Tiba di jalan utama Blitar-Malang, macet bukan kepalang. Kami mencoba menyalip beberapa mobil di depan. Pada sebuah kesempatan, kami bisa melaju lurus ke depan.
Di sebuah tikungan, aku bingung harus belok ke arah mana. Haruskah aku ke kiri atau ke kanan? Jujur, aku hanya mengandalkan ingatanku tahun lalu.
"Mbak, belok kiri," ucap adik. Ragu, akhirnya tetap kuambil saja keputusan adik. Daripada aku tambah bingung.
Motor kami terus berjalan, mengikuti jalan utama. Kurasa, sepertinya kami tidak akan melewati Wlingi. Melainkan Selopuro. Astaga, tentu saja kami berputar-putar. Dari Kesamben, Selopuro, Kanigoro, dan kembali ke Wlingi.
Begitu tahu kami tersesat di jalan yang benar, kami berdua terkikik kembali. Motor terus melaju dengan kecepatan sedang.
Kami tiba di Wlingi. Aku mengambil lajur berangkat tadi pagi bersama Naufal. Benar-benar berputar rute kami. Ketika kami tiba di rumah Mbok, ibuk, bapak dan Naufal sudah tiba di sana. Kembali kami tertawa lebih lebar.
"Kok bisa?" tanya ibu.
"Kami lewat Selopuro, Buk," jawabku.
"Bener kan. Gak tahu jalan," ejek Naufal.
Aku ingin menjitak kepalanya lagi.
Kami segera bermukim di kediaman bude Ro, nenek Fahmi. Segera, dengan tawa yang masih berderai-derai, kami menggiring motor ke sana.
Luar biasa hari itu. Sungguh merekatkan jalinan kasih dengan adik-adikku.
Selimut kembali kutarik. Wajah dan tubuhku kutenggelamkan dalam balutan hangat selimut, berusaha mengusir dingin yang terus menusuk. Aku harus memejamkan mata, semoga besok baik-baik saja. Semoga esok juga masih berjumpa.
Terima kasih, berkenan mampir dan membaca, Sahabat.
Have a nice day.
Comments
Post a Comment