Hai, Dunia Filsafat

Tiba-tiba ide gila itu muncul. Sebuah pikiran yang sebelumnya jangankan masuk dalam angan, terbesitpun tidak pernah. Apalagi aku masuk dalam sebuah komunitas yang di dalamnya, mungkin aku merasa terasing. Mencebur dalam sebuah jurusan yang seperti magnet, menarik minatku untuk datang. Jurusan yang tentu saja tidak ada kaitannya dengan bidang keilmuan yang kuampu. Akidah Filsafat Islam. Sebuah jurusan yang memuat mata kuliah yang pernah masuk dalam mata kuliah yang paling kubenci beberapa tahun silam. Dan sekarang aku kena batunya. Memang kalau benci dengan level sangat mampu melahirkan cinta dengan level yang sangat juga. Aku menyerah. Ini karma yang harus kutelan. Sebab aku memang jatuh cinta pada dunia filsafat, sebuah induk dari segala ilmu pengetahuan.

"Ayo ikut saja," ajak seorang teman baruku dari jurusan itu. Aku menimang-nimang. Maju-mundur-maju-mundur-maju. Kakiku harus terayun maju. Jika aku mengaku suka belajar, harus menggenggam dasarnya.

"Insyaallah. Mulai pekan ini, ya." Pesanku pada saat itu.

Keesokan harinya, ketika hari untuk berorientasi dengan penghuni jurusan AFI Pascasarjana IAIN Tulungagung yang kudengar hanya berisi 30 orang dengan nol yang didadar semuanya adalah kaum Adam, telah tiba. Dalam hari bersejarah itu, ponselku tertinggal di rumah. Astaga. Betapa ceroboh diriku. Rumahku Blitar dan kampusku Tulungagung. Tidak mungkin aku kembali ke Blitar demi mengambil ponsel itu. Dalam kalkulasiku, tentu saja waktu dua jam akan menguap di perjalanan. Sedang perkuliahan akan dimulai pukul 13.00 WIB, tepat dua jam setelah kuliah bersama Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag rampung.

Dengan beberapa cara, alhamdulillah ada jalan. Aku bisa menghubungi kawanku itu. Kami janjian di gedung rektorat lantai satu pukul 13.00 WIB. Dahiku mengernyit. Sebuah tanya tiba-tiba muncul.
"Kok di rektorat? Mengapa tidak di kelas?"
"Kita kan istimewa kuliahnya di ruang VIP," jawab temanku.
Aku mengangguk. Sebuah senyum terpasang di wajahku. Ya memang saking banyak penghuninya. Aku tersenyum.
"Semoga lancar," monologku pada diriku sendiri.

Jadwal kali ini adalah bersama Bapak Wakil Rektor III, Dr. Abad Badruzzaman, Lc yang lebih akrab dipanggil 'Abah'.

Aku berkemas. Setidaknya mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah tersebut cukup kukenal karena semester lalu, beliau mengampu mata kuliah Studi Alquran. Semoga beliau berkenan. Dalam hati, aku masih was-was.

Sebelum pukul satu siang, aku sudah berangkat lagi ke kampus. Di sebuah sofa lantai satu, aku duduk. Seseorang dengan wajah yang familiar muncul. Aku menyungging senyuman.

"Hai, Mas Roni." Aku menyapanya.
"Sudah lama?" Dia bertanya.
"Barusan kok," ucapku.
"Ke lantai dua, yuk langsung," ajaknya.
"Yang lain mana?" tanyaku.
"Nanti biar nyusul," ucapnya. Aku mafhum. Aku ingin mengekor di belakangnya. Ya kami masih canggung. Baru saja kami kenal dari sebuah grup Whatsapp yang berisi orang-orang senasib seperjuangan perwakilan setiap jurusan di S1.

Tiba di lantai dua, kami duduk di sebuah sofa lagi. Abah masih memiliki kesibukan. Sembari menanti kawan-kawan yang lain, aku diam. Mencoba mencerna suasana. Selalu titik lemahku adalah aku tidak terlalu pandai bersosialisasi.

"Hai," sapa seorang lelaki dengan jaket kulit berwarna cokelat. Aku tersenyum.
"Ini Ilyas. Perkenalkan," ucap Mas Roni.
"Hai Mas Ilyas. Saya Zahra," ujarku memperkenalkan diri.
"Hai, Ilyas. Dari jurusan apa?"
"Tadris Bahasa Inggris," jawabku.
Kami mengobrol banyak hal. Sampai topik pembicaraan mengarah pada skripsi Mas Ilyas tentang perdukunan dalam dunia modern. Aku menyimak gaya bicaranya yang lanyah dalam berpendapat. Jangan-jangan mereka semua ahli dalam berorasi, pikiranku tiba-tiba menyimpulkan demikian.

"Ayo, masuk," Abah mem-pause aktivitas kami. Kami bertiga segera melangkahkan kaki untuk masuk dalam ruangan beliau.

Dinginnya AC menyapa kami. Kami semua mengambil tempat, termasuk aku. Duduk di sofa tamu ruang bapak warek III dan kuliah di sana. Kesan pertama pada jurusan ini yang sangat membekas. Bahkan teman-teman dari AFI malah membagikan minum yang tersuguh di atas meja beliau.

Abah tampak bersemangat. Beliau memang memiliki hubungan yang dekat dengan para mahasiswa beliau. Kuliah pun dimulai. Abah bertanya tentang kehadiranku tentu. Mas Roni menjawab dan menjelaskan kepada beliau. Begitu apresiatif respon Abah. Aku tersanjung. Senyuman tidak mau pudar di wajahku.

Kali ini, materi yang beliau paparkan adalah tentang bab Tasawuf Modern. Dalam bahasa beliau tentang rekonstruksi tasawuf. Beliau menjelaskan namanya rekonstruksi ya tidak sama dengan bangunan lama dan tidak merobohkan dan mengganti dengan sesuatu yang benar-benar baru. Tanganku menari bersama pena. Mencoba menangkap ilmu yang disampaikan oleh Abah dalam kitab catatanku.

Abah juga menyampaikan jangan melupakan gelanggang panggung dunia, bila bisa menjadi yang terdepan. Semangatku terasa terhanyut dengan gelombang dahsyat yang dituturkan oleh Abah. Meski tujuan akhirnya adalah baqa, yakni keabadian, jika bisa terus menjadi orang yang bermanfaat dengan memberikan sumbangsih berupa karya yang akan terus diulas oleh kalangan akademisi.

Abah juga mengajak kami untuk menjadi bagian dari 'Proyek Peradaban' yang ikut serta memberikan kontribusi dalam proyek besar ini.
"Meski sebutir pasir tetap akan berguna," ucap beliau. Hatiku mendidih. Tidak rugi, insyaallah aku duduk di majlis ini mendengar tuturan beliau.

Yang sangat membuat hatiku penuh bunga juga, Abah masih mengingat namaku. Selain itu, beliau juga mengingat jurusanku. Bahkan beberapa kali beliau menggunakan terma berbahasa Inggris. Satu lagi sosok dosen dan mahaguru yang masuk dalam daftar dosen terfavorit.

Banyak lagi materi yang Abah berikan kepada kami. Tanganku terus mencatat apa-apa yang beliau haturkan.

Dua jam berlalu sangat cepat. Ingin sebenarnya berlama-lama menjaring ilmu dari beliau. Semoga lain kesempatan bisa kembali menengadahkan cawan kepada beliau.

Kami keluar ruangan. Melangkahkan kaki dari ruang bersejarah tersebut. Personil tim AFI Pasca sudah lengkap. Terakhir, Mas Farid sudah bergabung bersama kami tadi.

"Keren," ucapku.
"Apanya?" Mas Roni bertanya.
"Semuanya," jawabku.
"Mbak ikut lagi, kan nanti?" ajak Mas Ilyas.
"Jam berapa, Mas?"
"Jam empat. Ruangnya biar dichat samabisa Mas Roni ntar," jawab Mas Ilyas.
"Insyaallah. Saya pulang dulu ya, ke kos," pamitku.
Kami berpisah ketika kaki kami tiba di pelataran parkir.

Angin berembus membelai hijabku. Dengan rona hati yang penuh dengan kembang bermekaran, aku menyisir jalan samping barat kampus IAIN Tulungagung bersama motor Vario putih 2015. Sebuah babak baru dimulai.

Sejak saat itu, ketika mereka, teman-teman dari AFI memiliki kuliah, aku berusaha untuk hadir dan memiliki banyak ilmu baru yang memperkaya wawasan, juga semoga mempertajam pemikiran.

Terima kasih, Abah Abad, Bapak Rizqon, Bapak Teguh, Mas Roni, Mas Ilyas dan Mas Farid karena mengizinkanku untuk masuk dalam lembar kisah kalian. Dan kalian, otomatis masuk dalam lembar kisahku.

Blitar,
12 Juni 2018

Comments