Bijak dalam Ber-gadget

Kita semua telah hidup pada masa revolusi ke 4, terhitung dari revolusi Industri yang dicetuskan dahulu pada abad ke 15, dari dunia Barat. Masa ini, biasa disebut dengan zaman milenia. Sebuah zaman yang sudah menghapuskan ruang antara jarak dan waktu, dengan teknologi yang super canggih.

Pada dasarnya, sesuatu yang dianggap baik itu ada dikarenakan keberadaan dari sesuatu yang baik itu sendiri dan sesuatu yang didefinisikan sebagai hal yang tidak baik. Dalam hal ini lebih tepat dikata bahwa kelebihan dan kekurangan pada umumnya melekat pada hampir semua lini kehidupan. Tentu saja hal ini berlaku juga dalam kedatangan teknologi super canggih ini, salah satunya smartphone. Disamping ia memiliki jutaan manfaat, tentu banyak hal negatif yang mengiringinya. Salah satunya adalah cepatnya laju penyebaran berita sampah, atau hoax yang berisi ujaran kebencian dengan maksud mengintimidasi dengan menggerakkan perilaku kaum awam yang masih kosong kecondongan dan pemikirannya.

Sayang dan amat disayangkan, jika kaum yang ibarat kertas putih itu terus dijejali satu corak warna yang dalam hal ini, mereka memang target korban dari para penguasa tidak mau melakukan perbandingan dan penggalian mendalam atas informasi yang didapatkan. Hal ini bisa mengakibatkan dampak yang amat mengerikan. Dengan sedikit polesan terutama mengatasnamakan segi psikologi, emosi dan akidah, maka wus, isi dari informasi yang disampaikan mampu menggiring seseorang untuk berjuang bahkan meski tanpa imbalan yang bersifat materi.

Lantas bagaimana cara menanggapi dan bijak terhadap berita-berita yang tersebar luas itu? Bagaimana cara memfilter mana berita sampah, mana berita yang benar-benar bisa dipercaya? Ya, tentu saja kegalauan ini muncul. Sebab memang sering konsumen berita merasai kesulitan dalam memverifikasi langsung pada sumbernya.

Salah satu penawaran solusi dalam hal ini adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya budaya literasi. Tentu bukan hanya menyadari, kemudian selesai. Dalam hal ini harus ada aksi nyata, sebagai bukti bahwa sesungguhnya, dengan praktik dan pengaplikasian budaya literasi mampu mengolah daya pikir manusia untuk lebih kritis. Olah pikir yang kritis ini tentu saja mengajak manusia untuk bijak dalam mencerna informasi. Dampak terbaiknya, seseorang tidak langsung percaya terutama pada berita kontroversial atau yang bersifat provokatif.

Budaya membaca dan menulis, bisa menekan laju hoax yang terus dicopy paste oleh jutaan netizen yang, mohon maaf, tingkat kesadaran atau kekritisan dalam berpikir masih rendah. Mengapa rendah? Jelas, karena langsung mempercayai sesuatu tanpa adanya klarifikasi. Tanpa ada perbandingan dan mengusut pintalan benang yang sudah terburai ruwet melalui berbagai pendekatan.

Bagi akademisi, seharusnya budaya literasi menjadi hal wajib yang harus digalakkan. Indonesia sebenarnya memiliki jutaan kalangan terdidik. Namun tentu saja tidak seluruhnya menyadari pentingnya berpikir kritis dan berliterasi. Oleh sebab itu, penting untuk terus melatih, mendidik dan terutama memberi contoh nyata dalam aksi untuk menggiatkan budaya baca tulis agar bangsa ini bisa memilih, bahwa sebenarnya berita yang sedang ia makan itu berita sampah atau memang berita bergizi.

Tidak semua media massa memiliki informasi yang berisi kebenaran yang absolut. Sebab kebenaran yang kini seperti air bah yang ditumpahkan dan membanjiri otak para netizen, bukan lagi sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya benar. Banyak kebenaran subjektif yang terus digoreng sedemikian rupa dan dikemas dengan kemasan yang cantik, hingga mempengaruhi kecondongan seseorang dan mencuci pemikirannya. Jadi sebelum memberikan justifikasi pada suatu berita, alangkah baiknya jika kita melihat, siapa penguasa media saat ini?

Bagaimana cara mendeteksinya? Beberapa akademisi telah membagi komunitas masyarakat dalam beberapa sisi. Misalnya saja dalam umat Muslim ya, dapat kita jumpai kalangan Islam fundamentalis, liberalis, tradisionalis, modernis dan sebagainya. Dari isi penutur seseorang, sebenarnya dapat dideteksi golongan apakah kiranya ia.

Rumit? Tidak juga. Hanya memang proses dibutuhkan dalam mencapai sesuatu. Oleh karenanya, ayo kita bijak dalam bersosial media. Sosial media memang penting, namun penting juga bagi kita untuk melakukan diskusi, mengkaji dengan orang-orang dalam dunia nyata. Jangan hanya tentang maya, namun realita juga diperlukan di sini.

Terakhir, sebagaimana anjuran baginda Rasulullah Saw, bahwa mencari guru itu penting. Hal ini digunakan untuk memverifikasi apakah pola pikir kita telah terarah dalam kebenaran objektif atau tidak. Juga kita bisa melakukan komparasi antara satu guru dengan guru lain yang berseberangan pemikiran. Dalam hal ini malah bisa memberikan pilihan pada kita untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Jadi dalam memberikan judgement, kita harus menyeimbangkan pengetahuan antara satu kubu dengan kubu yang lain. Baru boleh memberikan penilaian secara objektif. Bukan hanya menjejali diri dengan satu corak positif tanpa mau mengakui negatifnya, sedangkan yang lain hanya dilihat dari sisi buruknya tanpa mau melihat sisi baiknya. Itu baru bijak dalam menilai.

Tulungagung, 25 Mei 2018

Comments