Segenggam Tabah

Dingin menusuk hingga menembus tulang, menyebabkan rasa ngilu yang sangat. Belaian angin malam mengguncang, menampik wajah seorang gadis yang duduk diam. Matanya menembus padang hitam di angkasa. Kedip-kedip bintang tampak seperti manik-manik yang menghias gelap malam itu.

Jiwanya tercacah. Mencoba mencium aroma realita yang sedang bergelayut di depan matanya. Kehidupan seakan sedang memainkannya. Mengempas ke sana ke mari tanpa mengenal hatinya yang koyak penuh lebam dan darah.

Termenung, sendirian duduk di depan sebuah emperan toko yang sudah tidak terpakai lagi. Gadis kurus dengan wajah lunglai dan penuh dengan belepotan noda hitam itu mendekap kedua lututnya. Mencoba melawan dingin yang terus menusuk-nusuk tubuhnya. Dengan balutan kaos oblong berwarna abu-abu pudar dan celana panjang yang koyak penuh tambalan itu ternyata tidak mampu mengalahkan keganasan dingin untuk membekapnya. Namun jilbab berwarna biru pudar sedikit menghangatkan tubuhnya. Setidaknya, satu bulan sudah ia terbiasa dengan keadaan dirinya sekarang. Ia menabahkan hati. Semoga masih kuat. Karena memang gadis itu tidak memiliki pilihan, selain menelan getir realita yang ada di depannya.

***

"Bapak sudah pergi. Kita punya apa sekarang?" ucap seorang wanita paruh baya, di hadapan ketiga putranya. Makam suaminya masih basah. Pagi tadi beliau baru dikuburkan.
"Bagaimana dengan sekolahku, Ibu?" tanya si sulung. Seorang gadis yang sudah duduk di bangku kelas delapan pada salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri di kota kecil itu.
"Ibu tidak punya pekerjaan, Nduk. Sedang kita harus menyambung hidup," ucap sang ibu. Mata si sulung basah. Sekolah dan pendidikan adalah hal yang amat dicintainya. Prestasinya sering sekali gemilang. Dia adalah aikon kebanggaan dalam lomba karya ilmiah pun sastra pada sekolahnya. Beberapa kali, Arum--nama perempuan itu--menyabet juara tingkat kabupaten. Sehingga kata yang diucapkan oleh ibunya seperti sengatan listrik yang membekap seluruh impiannya.

Air mata menetes, merembes membasahi pipinya. Matanya memandang ibu dan kedua adiknya yang masih belia. Dengan cara apa mereka menyambung hidup. Sebagai anak sulung, ia memiliki tanggung jawab terhadap keluarga kecilnya. Adiknya masih bayi. Satunya baru duduk di bangku kelas empat SD. Pikirannya melayang. Ia mencoba memutar otaknya. Namun gadis belia itu masih sedikit ranum. Terlalu dini kehidupan menyentaknya dengan gaungan yang keras.

"Ibu, Arum akan memulung seperti Bapak. Coba Arum menawarkan diri pada Pak Sukaji. Semoga berkenan," ucapan serak itu teriring dari bibir mungil Arum. Dia bertekad untuk memulung seusai sekolah. Asal ia tetap bisa sekolah.
"Jangan, Nduk. Ibu akan mencoba melamar di pabrik batik. Meski mungkin minus, semoga kita bisa menyambung hidup. Bapakmu dulu berpesan, kalau bisa kamu sekolah yang tinggi. Bapakmu bangga sangat dengan semua prestasimu yang terukir dari piala-piala yang menghiasi gubuk kita ini," jawab ibunya sembari mengelus kepala Arum.
"Ibu, usia Ibu sudah memasuki kepala empat. Apa mungkin diterima?" tanya Arum.
"Doakan ya, Nduk. Tidak ada yang tidak mungkin. Doa senjata utama kita, kan? Kita juga harus berusaha," jawab si ibu.

***

Ketua RT pada lingkungan yang ditinggali oleh keluarga yatim itu memiliki program yang kreatif. Bapak RT mengumpulkan warga untuk berkreasi membentuk tim sosialisasi kerajinan tangan, menambah kecakapan ibu-ibu dan perempuan muda dalam zona rukun tetangga untuk menekan waktu menganggur para wanita yang tinggal di lingkungan tersebut.

Isna, ibu dari Arum, Husni dan Zulfikar turut serta duduk di antara kerumunan itu. Dalam pangkuannya, duduklah bayi mungil, Zulfikar dalam dekapannya.

"Jadi nanti, Ibu-ibu. Kita bisa mencoba merajut, membuat kue kering, atau membuat kerajinan tangan dari barang bekas. Jika pelatihan usai, diharapkan kita memiliki komunitas yang mewadahi agenda kita. Jika layak jual, lumayan bisa menambah penghasilan. Bagaimana Ibu-ibu?" Suara ketua RT menggema.

Isna tersenyum. Boleh juga program ini, namun harus diingat, anaknya dan dirinya sendiri butuh makan. Suaminya dahulu hanyalah seorang pemulung. Isna dan anak-anaknya tidak memiliki apa-apa kecuali gubuk kecil dan tanah pekarangan yang tidak luas. Mengandalkan pelatihan ini bukan solusi final. Ia harus memeras otak untuk bisa mendapatkan penghasilan.

Wanita itu membanting tulang dengan jerih payah yang beragam. Secuil petak tanah peninggalan Pak Bowo, suaminya ia tanami dengan beragam sayur. Bibit itu ia dapat dari Samiran, kakak sulungnya yang berprofesi sebagai petani. Samiran tentu iba melihat adiknya terpontang-panting mengasuh ketiga anaknya yang belia. Namun, Samiran hanya petani dengan sawah tidak terlalu luas. Ia tidak bisa membantu lebih untuk adiknya.

Selesai pulang sekolah, Arum memulung. Ibunya tetap di rumah, menjaga Husni dan Zulfikar kecil. Rasa hati terbanting terkoyak dengan sedemikian rupa melihat putri sulungnya melakukan pekerjaan kasar itu. Namun Isna dihadapkan pada pilihan yang sulit, amat sulit. Jika dia meninggalkan rumah dan memulung, Zulfikar serta Husni tidak ada yang merawat. Tapi, Arum juga membutuhkan biaya untuk pendidikannya. Bukan hanya Arum. Husni dan Zulfikar selalu membutuhkan uang untuk memenuhi hak mereka. Dengan doa yang terlapis-lapis, Isna selalu melepas kepergian Arum ketika ia melangkah memulung.

***

"Arum," panggil Sukaji.
"Iya, Bapak?"
"Dari kemarin hasil memulungmu hanya segitu. Coba merambah ke area yang lebih luas. Di pasar Templek itu tentu saja banyak sampah yang berserak. Kalau di perumahan, ada. Tapi kebanyakan sampah mereka ada yang mengangkut sendiri. Kalau diporak, tentu saja kau bisa berhadapan dengan satpam," ucap Sukaji. Lelaki berkulit cokelat matang dan berkumis mencuat tebal macam Pak Raden itu memang memiliki perangai sedikit kasar. Tubuhnya tambun. Namun Arum tetap patuh, karena Pak Sukaji memang bos bapaknya dahulu. Sukaji juga mengizinkan ia bekerja di sana. Arum mencoba tersenyum. Meski peluh menyembul dari dahinya. Rupa manisnya tidak karuan tertutup debu yang menggumpal.

Kaki kurusnya melangkah. Matanya liar menyelidik sekitarnya. Ketika kakinya tiba di lapangan, pinggiran toko itu penuh dengan warung-warung. Ia mendekat ke sana. Tongkat kayunya ia gunakan untuk mengambil sampah yang teronggok di pojok lapangan. Beberapa kerat kardus kumal ia temukan. Tangannya cekatan memasukkannya di dalam keranjang sampah yang terduduk di punggung bocah itu. Langkah-langkah Arum terus terayun. Ia meminta izin kepada pemilik warung untuk mengambil sampahnya. Meski memulung, ayah Arum menanamkan pengetahuan akhlak pada keluarganya.

Sebab merupakan rahasia umum, bahwa banyak orang sebelah mata memandang para pemulung. Ketika Arum mendapatkan izin, ia mengambilnya. Ketika tidak, ia berpamitan. Hati bocah itu telah tertempa dengan keras. Ia dididik oleh kehidupan.

Matahari semakin condong ke barat. Ia harus segera pulang. Sebagai seorang siswi, Arum memiliki kebutuhan belajar. Ia harus bisa mendapatkan beasiswa penuh jenjang aliyah kelak. Tekadnya itu. Setidaknya, hasil memulungnya bisa membantu ibu dan adik-adiknya.

***

Arum membawa uang hasil setoran kepada Sukaji. Tidak banyak memang. Namun cukup untuk membeli pena dan buku untuk menulis. Juga untuk membantu kebutuhan ibunya. Kakinya riang melangkah, senyum merekah ketika jarum jam menunjuk pada angka 14.30 WIB.

Pandangannya tertuju pada asap yang membumbung. Banyak orang berlalu-lalang dan menyatakan kebakaran. Kaki Arum memelan. Lokasi itu seperti berada di sekitar rumahnya. Gadis itu berlari dengan diintai ketakutan yang membayang.

Mungkinkah?

Kaki gadis itu semakin cepat berlari. Mukanya sudah tidak berupa lagi. Ketika telah berada di jalan lurus depan rumahnya, lututnya lemas. Seakan semua tulang dilolosi dari tubuhnya. Ia tergeletak di jalan. Orang-orang ramai membawa ember air dan karung basah untuk memadamkan si jago merah yang melahap gubuk keluarga kecilnya. Ada juga mobil polisi dengan sirene yang melengking.

Kekuatan terakhirnya ia ambil. Dengan gontai dan penuh dengan linang air mata, Arum mendekati kerumunan warga yang ada.

"Ibuku di mana, Ibu? Husni? Zulfikar?" tanya Arum terbata.

Gadis lusuh itu serta merta menjadi pusat perhatian. Hampir semua memandang nanar pada Arum. Seorang tetangganya yang dikenal baik dan suka membantunya langsung mendekap Arum tanpa peduli bau sampah pun tubuhnya yang kotor.

"Kau percaya pada Allah, kan Nduk? Semuanya yang ada di dunia ini milik-Nya. Dan akan kembali kepada-Nya," ucap Ibu Hanifah. Suaranya tercekat.

Hati Arum berteriak meronta. Dadanya seakan dihantam oleh batu raksasa dan meremukkan hatinya menjadi debu yang tak tersisa. Ia ingin meronta. Namun suaranya tersangkut di tenggorokan. Tenanganya menguap. Bayangan lucu Zulfikar yang terpanggang api menombak akalnya. Juga Ibunya dan juga Husni. Tubuh Arum tergetar. Ia tidak bisa menahan matanya yang meleleh mencoba menerima nyata yang ada di depan matanya.

"Tadi Mbak Isna sempat teriak pas lihat api di dapur menyala. Dia keluar. Tapi dindingnya dari anyaman bambu, ditambah musim kemarau, pasti kemripik dilahap api. Mbak Isna keingat Zulfikar sama Husni yang masih tidur di kamar. Kami sudah cegah, tetap lari mau selamatkan kedua anaknya. Eh, apinya semakin gede dan tiang genting itu roboh. Kami ndak berani masuk, Pak," terang Umi, salah satu tetangganya kepada polisi.

Sejenak, Arum linglung. Ia tidak memahami mengapa Tuhan tega mengambil seluruh keluarganya? Duka tentang bapaknya masih basah. Ditambah kepergian ibu dan kedua adiknya yang lucu. Arum bingung menghadapi kenyataan yang sangat pahit di hadapannya. Ia melepas dekapan ibu Hanifah. Dengan bercucuran air mata, gadis itu berlari. Terus berlari meski tidak tahu ke mana hendak ia melangkah. Sebisa mungkin, ia juga ingin berlari dari nyata yang begitu getir. Ia ingin menganggap semuanya hanya sebatas mimpi. Kehidupan telah membelokkan tujuannya. Gadis itu berontak. Kakinya sedikit melepuh karena setengah hari ia habiskan di jalan aspal panas. Ditambah kepergian seluruh keluarganya membuat ia tidak lagi memiliki alasan untuk mengejar impiannya.

To be continued, insyaallah

Comments