Setinggi-tingginya Cinta

Entah mengapa, aku sungguh menyukai semua hal tentang cinta. Jika cinta yang terejawantahkan, maka lisan ini akan terkatup, kepala ini menunduk, telinga ini menyimak, dan jiwa ini patuh mendengarkan lantunan tentang cinta.

Ada beberapa riwayat menyebutkan bahwa cinta tak dapat didefinisikan oleh kata. Akal manusia tak mampu menyentuh puncak tertinggi dalam dunia ruh pun jiwa. Hanya jiwa dengan jiwa yang dapat mengerti, memahami, juga melayari apa makna cinta yang sebenarnya.

Jika mengaku sebagai pengagum cinta, maka Sang Mahacinta adalah puncak cahaya yang memancarkan sinar kemilau tak terjangkau pikiran. Kemudian, cahaya-Nya memantul pada hamba-hamba pilihan, hingga berpendarlah setitik cahaya-Nya yang ternyata setitik itu saja mampu menerangi semesta raya.

Jiwa pecinta memang berbeda. Mereka menari, setiap saat dengan Sang Kekasih. Mereka tak pernah merasai apa itu sendiri. Sebaliknya, jiwa mereka selalu tergenggam oleh Sang Kekasih. Selalu bersama, dan berusaha untuk terus melakukan pengosongan terhadap dirinya, kemudian melakukan pengisian hanya dengan Yang Maha.

Sepi dalam ramai, ramai dalam sepi adalah semboyan para pecinta. Pecinta sejati akan selalu mengisi hati dengan Yang dicinta. Hingga kefanaan duniawi tak kan mampu mengusik keabadian Cintanya. Juga, kesendirian adalah kelezatan tak terkira. Sebab pada saat ini, budak cinta merasai apa itu khalwat bersama Sang Kekasih.

Yang belum mengenal Sang Cinta, barangkali akan mengenyangkan ruh-ruh mereka dengan kefanaan. Seperti Zulaikha yang meminta Yusuf karena rupanya yang menawan. Namun, ketika Zulaikha telah mengenal Sang Cinta, maka Yusuf bukan siapa-siapa lagi baginya. Sang Cinta yang memenuhi seluruh kalbunya. Hingga pantulan cinta yang setitik itu lebur atas cahaya cinta-Nya.

Bukan berarti kita tak mencintai hamba. Justru sebenarnya, dengan penuhnya hati akan cinta-Nya, akan menuntun akhlak seorang hamba yang mencerminkan sosok pecinta sejati. Semua hamba akan dicintanya lantaran mengais keridaan-Nya. Beberapa hamba juga akan dibenci lantaran mencari keridaan-Nya. Hingga konteks cinta karena Allah adalah penjabaran yang mendalam atas perwujudan kecintaan seorang hamba kepada Sang Kekasih. Bukan semata-mata karena nafsu belaka.

Ciri pecinta adalah tak gamang bila dicerca. Tersenyum bila dihina. Menangis jika dipuji. Memaafkan bila disakiti. Menebarkan keceriaan wajah sebagai manifestasi cerianya hati. Menunduk jika direndahkan. Menari ketika merindu. Tak begitu peduli dengan pendapat penghuni dunia. Namun senantiasa membawa cermin di hadapan Allah dan penghuni langit.

Susah ya? Memang. Bukan hanya susah, namun sangat susah. Mementingkan rida-Nya atas segala sesuatu adalah perkara yang membutuhkan kucuran peluh dan darah demi melawan setan-setan yang terus menabuhkan genderang perang.

Namun susah, bukan mustahil. Tetap ada peluang untuk ditaklukkan.

Pecinta, malam adalah panggung seorang pecinta yang menari bersama Sang Kekasih. Mari beranjak dan mulai menari. Menari terus meleburkan substansi diri, hingga jiwa-jiwa melayang. Terempas dari raga yang membelenggunya.

12/03/2018

Comments