Malam Raya Kedua

Aku melipat tubuhku. Mendekap dan mencoba mengais rasa hangat sebisanya. Di luar selimut, udara berkonsolidasi untuk menggigit kulitku. Sampai bibirku membiru, tanganku kuyu pucat karena dihisap oleh dinginnya malam.

Pikiranku melanglang buana. Semisal dalam suhu sangat rendah, bagaimana kelak tubuhku akan beradaptasi? Misalnya saja ketika suatu masa memiliki kesempatan untuk berkunjung ke negeri eksotis di Barat dan kenetulan ketiban winter yang memiliki kemungkinan suhu minus, mungkin kondisiku akan sama dengan Ayyas dalam Bumi Cinta ketika pertama kali menyentuh winternya Rusia. Yakni demam tinggi selama tiga hari berturut. Tak bisa keluar apartemen, bahkan tak mampu keluar dari balutan selimut.

Dalam istilah Jawa, ibu sering menyebutnya sebagai musim mbediding. Aku mengangguk. Siang panas, namun ketika petang menjelang, dingin bukan buatan. Mengharuskan aku berganti kostum ketika malam merangkak. Kostum terhangat yang kupunya.

Malam ini masih malam hari raya Idulfitri. Tubuhku penat, jika boleh jujur. Aku juga melihat banyak kawanku yang mengutarakan status 'tepar' pada beberapa akun media sosial. Hari kedua memang diisi dengan berkunjung pada rumah mbah lik dari ibu.

Sebenarnya tidak terlampau jauh rumah beliau. Hanya sekitar dua puluh menit tiba. Namun, karena harus mampir ke sana ke mari, itulah yang melahap habis waktu kami. Hingga tiba di rumah sudah pukul 14.30 an WIB.

Setelah menunggu Magrib, kami berlanjut untuk silaturahmi kepada tetangga sebelah utara rumah. Berangkat pukul 18.30 an WIB, tiba di rumah pukul 21.00 an WIB. Seharian berputar-putar, menjalin silaturahmi bersama bapak, ibuk, dek Naufal dan si bungsu, dek Alvi.

Setelah itu, baru kakiku merasakan penat. Menjalar hingga kepala dan seluruh tubuh. Terpenting hatiku tidak penat. Seharusnya aku bersyukur, sebab masih memiliki kesempatan untuk sowan kepada saudara dan tetangga bersama keluarga utuh, lengkap. Sebuah tradisi yang sudah berjalan sejak aku masih bocah ingusan, hingga usiaku menginjak pada usai 20an lebih sedikit. Jika aku mengklasifikasikan tiga sebagai angka yang sedikit adakah yang memrotes? Baiklah, baiklah, bergantung pada konteks.

Ada sebuah PR yang belum kusentuh. Tentang konferensi internasional dari kampus yang akan diselenggarakan bulan depan. Selama aku belum menyentuhnya, pasti ia menggentayangi. Tidak boleh tidak, harus ada runutan planning yang jelas dan matang untuk itu.

Besok, agendanya masih ke Ndoko, Ngriwuk, kemudian Kesamben yang sudah mepet dengan Kepanjen, kemudian Wlingi dan sekitarnya. Jika hari raya kedua adalah saudara dari pihak ibu, besok adalah saudara dari pihak bapak. Ah baiklah, cukup untuk hari ini. Saatnya mengistirahatkan mata dan tubuh yang mulai meminta haknya.

Selamat malam, Sahabat.

Comments