Segenggam Tabah (Babak ke-2)

Seekor anjing kampung berjalan di jalan yang menghadang pandangan gadis itu. Suara cekikikan pun makian orang-orang jalanan memenuhi gendang telinganya. Arum diam. Dia tak peduli lagi dengan gegap gempita yang ada di dunia, di sekitarnya. Baginya, Tuhan sudah membuangnya, memusuhinya.

Dingin semakin mencengkeram, menghunus tubuh kurusnya. Jemarinya semakin erat menggenggam kedua lututnya. Pandangannya datar pada bintang yang menoleh, mengejeknya. Bahkan bintang juga tak peduli dengan dirinya yang sendiri, pikirnya. Ia sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Tak memiliki apa-apa lagi.

Seperti beberapa hari yang sudah biasa ia lewati, Arum menghabiskan malamnya dengan tatapan tawar tanpa rasa. Seakan-akan ungkapan 'hidup segan mati tak mau' melahap dirinya. Namun ia mau melawan Tuhan. Melawan takdir getir yang menggerogoti isi hatinya. Ia menguatkan diri, menabahkan diri dan menunjukkan bahwa ia bisa melawan Tuhan.

Malam itu, setelah rampung mencatat, Arum merenungi nasib dirinya. Sejenak, matanya terpejam. Hidungnya mencium aroma busuk dari sampah dan busuknya kehidupan yang menjebaknya. Seusai itu, tubuh kurusnya ia hempaskan di atas tikar robek dan membalut dirinya dengan sarung lusuh. Matanya terpejam.

***

"Di mana Arum?" suara sumringah membuncah dari lisan seorang lelaki paruh baya itu setelah sedikit bumbu basa-basi ringan ia taburkan dalam percakapannya dengan lelaki muda berkacamata yang duduk sembari membawa sebuah map berisi dokumen-dokumen hasil kerjanya.

"Dia ada di kompleks Turi, Pak. Sehari-hari, dirinya tinggal di sana. Ada kubangan sampah di sana. Bosnya sekarang namanya Reno. Dia pemimpin para pemulung. Saban hari, Arum setor hasilnya di Reno. Oh iya, Pak. Arum masih suka mencatat. Ini foto salah satu catatannya. Hampir setiap hari, dirinya menulis apa yang ia alami dalam catatan ini. Hal ini dibuktikan dari tanggal yang muncul pada tiap babak baru. Maaf belum bisa semuanya kami foto. Namun itu sampel salah satunya. Akan kamui usahakan untuk mengcopy seluruhnya. Arum menyembunyikan catatan ini di sebuah gubuk dekat pembuangan. Di kolong gubuk itu, ia menyimpannya," jawab Jauhari, salah satu tim penyelidik yang disewa Mujito, nama lelaki sekaligus guru Arum itu.

"Baik, Pak Jauhari. Terima kasih laporannya. Saya tunggu copian hasil catatan Arum ya? Jika malam, dia tidur di mana?" lanjut Mujito.

"Di sebuah emperan toko bernama Mulia jalan Aryo Blitar No. 78. Toko itu bercat hijau, Bapak. Mulai jam sembilan malam, ia duduk di sana. Saat itu juga, Arum mulai mencatat. Sekitar dua jam ia habiskan untuk berkutat dengan pena dan buku tulis. Pukul sebelas malam, ia menyudahi. Kemudian membenamkan dirinya dalam sarung lusuh dan tertidur di sana sampai pagi pukul empat. Ia sangat teliti dalam menggunakan waktunya, Pak. Maaf kami baru bisa melapor sekarang. Padahal selama dua pekan kami sebenarnya sudah mendapatkan jejak Arum yang pertama. Kami hanya mau memastikan dan mencoba menguak informasi yang lebih akurat dan detail tentang Arum. Sampai kami bisa memberikan laporan lengkap untuk Bapak," tambah Jauhari.

"Baik, Pak Jauhari. Saya percaya sepenuhnya kepada Bapak. Asalkan Arum bisa dilacak keberadaannya, tidak apa. Benar, kan Pak. Dia memang istimewa. Hanya butuh sentuhan arah agar jalannya benar. Cukup, Pak Jauhari. Terima kasih laporannya," ucap Mujito kepada Jauhari.

Jauhari segera undur diri. Dia berdiri dari kursi kayu jati ukiran yang dipelitur indah itu. Mujito juga berdiri. Tangannya menjabat tangan Jauhari. Setelah itu, dengan pandangannya, Mujito mengantar kepergian Jauhari yang segera beranjak pergi dari halaman sejuk penuh tanaman hias dan rumput hijau yang terpangkas rapi, dan meluncur dengan mobil Sedan Civic berwarna hitam mengkilat. Mujito masuk, mengambil berkas dokumen hasil laporan Jauhari padanya.
K
"Alhamdulillah, sudah ketemu, kamu Arum," ucap Mujito pada dirinya sendiri.

***
"Aku"

25 Mei 2018
Aku lari dari rumah hangus itu. Tak peduli dengan tanah yang ada. Biar saja. Biar Pakde Samiran yang merawat. Kulupakan saja Ibu Hanifah yang kudengar mencariku. Aku hanya memiliki satu alasan. Lukaku mengucurkan darah dengan begitu derasnya ketika memungut kenangan demi kenangan indah bersama bapak, ibu, Husni dan Zulfikar. Lebih baik aku berlari. Mencoba memenggal kisah masa laluku dengan kehidupanku yang sekarang. Meski entahlah, bagaimana nasibku kelak. Impianku tercerabut paksa dari hidupku. Ah, saking penuh dengan goresan pun sayatan luka pada hatiku, aku tidak lagi merasakan sakit. Mungkin hanya sebatas hambar, tawar. Mungkin karena aku sudah terbiasa. Dan, bagaimana kabar-Mu, Tuhan? Takdir yang mana lagi yang akan Kau berikan padaku?


10 Juni 2018
Tidak ada yang menemaniku kecuali buku dan pena. Bagiku, tiada hal yang bisa melenggangkan hati dan pikiran kecuali berkutat dengan kedua hal itu. Mereka adalah sahabat sejatiku. Saban hari, aku bercerita pada mereka. Mereka selalu patuh dan mendengarku. Didengar saja, aku sudah cukup. Tak perlu memberikan nasihat apapun. Karena yang kubutuhkan adalah sosok teman. Ah, bukankah menulis adalah salah satu hal yang juga bisa menjadi obat hatiku? Self healing, kata Pak Mujito. Baik, aku mengaku. Menuliskan perihal tentang beliau, hatiku dilanda gerimis. Seluruh impianku kembali meraung-raung, mengoyak jiwaku. Aku ingin menjadi penulis seperti beliau. Namun, bisakah? Sedang seluruh catatanku telah hangus menjadi abu. Mengering bersama abu ibu dan kedua adikku. Ah, bagaimana kabar mereka di sana? Tuhan jahat, kan. Bapak, ibu, Husni dan Zulfikar berkumpul bersama tanpa aku. Ah, masa Tuhan sejahat dan setega itu padaku? Membiarkan aku sendirian menjalani hidup yang panas. Sepanas api yang memanggang keluargaku.

11 Juni 2018
Hariku ini kujalani seperti biasanya. Memulung, makan ditemani si Belang, kucing kampung yang suka mengorek makan di bak sampah, dan tak lupa, telingaku harus membeku karena mendengar cerita tentang masa lalu dari mulut bau Badrawi, si Kumal yang katanya pernah menduduki puncak kejayaan gilang gemilang hingga dirinya menjadi sosok pemulung. Si Kumal itu aneh. Dia yang paling menyebalkan dari pemulung yang lain. Dia paling suka berkisah padaku, sampai detil. Entah itu imajinasi yang terbayang dalam pikirannya yang mulai terputus saraf-sarafnya, atau memang begitu realitanya. Meski aku yang menjadi tempat favoritnya berkisah, lelaki kumal itu sering tidak berperasaan padaku. Jatah sampahku tiba-tiba diambil. Dikoyak. Ia juga yang paling sering mengganggu dan mengejekku. Katanya aku pendiam. Biar saja pendiam. Memang begini aku. Diam di lisan, cerewet lewat kata yang tertulis di atas kertas. Manusia jarang yang bisa kupercaya. Lebih baik aku bercerita dengan tulisan, karena ceritaku pasti didengar, dan ia tidak akan selingkuh dariku. Si Kumal hanya tidak tahu, bahwa sebenarnya aku memiliki sahabat terbaik. Yang terus membantuku menyembuhkan luka yang tergiris karena takdir. Karena itu, aku tidak pernah mau bercerita tentang diriku padanya, atau pada siapapun. Inilah aku. Seorang pemulung. Itu fakta yang harus kuterima. Dan sebuah fakta yang harus kutenggak lagi, sampai hari ini, Tuhan masih belum peduli padaku. Apa aku menulis 'belum'? Apa aku berharap Dia akan peduli padaku? Mengapa air mataku bercucuran?

Sampai di situ, Dinda mengusap air mata yang membasahi pipinya. Dia menangis. Matanya menatap wajah suaminya yang sedang menyelami kedua matanya, mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran istrinya.

"Abi, ajak dia, Bi," hanya itu ucap Dinda.
"Insyaallah, sebentar lagi, Mi. Jauhari sudah bertindak. Kita harus punya rencana yang matang, agar proses ini lancar," jawab Mujito sembari ujung jemarinya mengusap air mata Dinda.
"Mungkin, memang dia jatah kita. Semoga," harap Dinda.
"Semoga Allah rida, Mi. Takdir-Nya selalu yang terindah dan yang terbaik," jawab Mujito.

***

To be continued, insyaallah.

Comments