Dekapan(mu)

Gemuruh melanda hati. Menyisakan titik-titik gerimis yang terus turun. Semakin lama, debet yang ada semakin deras. Kuyup. Tak menyisakan satu sisi pun yang mengering. Semuanya terkepung oleh titik-titik air yang membanjiri ruang dalam hati.

Mataku sembab. Bukan kali pertama, memang. Aku mengakuinya. Mungkin ini kali kesekian ratus. Ketika realita mencambuk dan menghantam pias hati yang terus mencoba bertahan.

"Mau sampai kapan?"
Ibu membelai rambutku. Lisanku membisu. Aku tidak berani mengatakan apapun. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak bisa. Seluruh kata tercacah dan terurai. Melemas berguguran di balik akalku.

Aku tidak tahu, Ibu. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang terus terlontar padaku, bisik hatiku.

"Mbak, kasian suamimu nanti lo," ucap salah seorang sahabat. Dia selalu membelok ketika aku memiliki indikasi akan membincangkannya. Membantuku untuk menghapus sebuah jejak yang terlalu lama memfosil di dalam hidupku.

"Andai kalian tahu. Aku tidak akan menyiakan pilihan dari Sang Maharaja. Siapapun pilihan-Nya. Berulang kali, aku sudah mencoba membuka pintu ini. Namun nyatanya, masih belum saatnya. Tetap belum. Dan, ketika masa ini, aku terjerembab jatuh untuk mengenang kembali."

Aku menyerah. Memang jiwaku masih terpasung pada masa itu. Namun, oh berjuta namun. Urung lisanku mengutarakannya.

"Kamu belum ikhlas." Sebuah suara yang lain muncul. Menebas kesadaranku.

"Dia tidak pergi karena manusia. Dia pergi karena panggilan-Nya. Mengapa tak kau sandarkan kepada Pemilik Semesta?"

"Astaghfirullah," tergugu aku mengunyah katanya. Ya. Aku belum ikhlas.

"Setidaknya kau sudah terdidik. Tetaplah menjadi bunga yang istimewa. Bunga yang mewangi dan bersinar, menyinari sekelilingnya yang mungkin sedang dilanda gulita. Hentikan semua ratapanmu. Beliau tidak akan pernah mau mendengar kesah dari lisanmu. Masih ingat kan? Karena iman, beliau memilihmu. Bila hilang iman itu, hilang pula cintanya padamu. Doa. Bukankah doa adalah senjata terampuh. Coba kamu mengapa mencintainya? Karena'rupa? Harta? Nasab? Pangkat? Atau semata-mata karena-Nya?"

Aku mengambang di antara senyum dan tangis. Teraduk-aduk menyatu. Menguarkan rasa baru dalam kalbu.

"Tangguhlah di hadapan manusia. Hanya rapuhlah di hadapan-Nya."
Terngiang lagi sebuah nasihat indah yang merdu mengalun dalam memoriku.

"Aku terlalu sering mengeluh pada manusia. Ndak pernah manut dan selalu mbergudul. Maaf." Lisanku bertutur.

Ilahi,
Bukankah perjumpaan ini rencana-Mu?
Begitu pula perpisahan ini
Ampuni kami, ampuni kami
Dalam bentangan takdir, hamba-Mu meniti

Comments