Tuhan dan Manusia: Sari Pemikiran Prof. Mulyadhi Kartanegara
Pernahkah kita sejenak memikirkan, siapa kita? Mengapa kita
ada di dunia? Untuk apa kita berada di sini? Nanti kita akan mati, dan itu
sesuatu yang pasti. Lantas selepas kematian, apa yang akan terjadi pada kita? Bagaimana
kita nanti? Mengapa terkadang, hidup amatlah sulit? Terutama tentang kewajiban
ini itu yang menuntut kita untuk mengerjakannya? Mengapa semua harus seperti
ini? Apakah sejak dahulu, kehidupan manusia seperti ini?
Jika sederet pertanyaan demi
pertanyaan di atas terlontarkan, sebenarnya kita sedang memikirkan pertanyaan
mendasar para filsuf. Mereka menanyakan tentang kehidupan, dan menafsirkannya
dengan dasar serta pengalaman yang berbeda, sehingga muncullah banyak pemikiran
ini dan itu sebagai varian dari olah pikir akal manusia. Namun, tidak
semata-mata dengan menanyakan itu, kita mendadak menjadi filsuf, meski
sejatinya, kita terlahir dan berproses untuk itu.
Ketika masih berada dalam tahap
anak-anak, kita menjadi sosok filsuf. Sebab selalu mempertanyakan ini itu. Namun,
setelah menjadi dewasa, pemikiran kita terikat oleh sistem yang sudah mapan di
dalam masyarakat, jadinya langsung menjawab ‘memang seperti itu’, tidak lagi
mempertanyakan mengapa sistem ini tumbuh dan berkembang di sini, dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Mungkin di tingkat dewasa, kita lebih mengarah
ke golongan realis, bukan lagi cangkir kosong seperti ketika masih berada dalam
tahap anak-anak.
Membahas hidup tentu tidak akan
ada habisnya. Terutama tentang hal-hal yang ‘menuntut’ kita untuk berada di
dunia yang cukup rumit seperti ini. Namun tidak mungkin, Tuhan Sang Mahawujud,
mengirim kita tanpa tujuan. Tentu saja, Allah mengirimkan kita di dunia,
menjadikan kita manusia, bukan rumput, bukan sapi, bukan pohon, melainkan
manusia dengan tujuan yang mulia. Bukankah Allah hendak meninggikan derajat
kita? Sebab manusia bisa lebih baik dari para malaikat, namun bisa juga lebih
buruk dari setan. Di sini, iradahNya yang
terpancar dalam iradah kita saling
sinkron. Tergantung sinyal hati kita. Apakah hati kita bersih, sehingga mampu
memancarkan sinyalNya yang Mahadahsyat, atau hati kita kotor. Jangankan 4G atau
5G, jika reseptornya kotor, mungkin akan E atau bahkan sering menghilang. Dengan
begitu, sejatinya Allah memberikan kita pilihan, tinggal kita menghendaki diri
kita ke dalam fase yang mana, hendak memilih mulia dalam pandanganNya, atau
memilih hina dalam pandanganNya?
Membahas tentang Tuhan, mungkin
kita bertanya-tanya tentang bagaimana wujud Tuhan, terlebih dalam pemikiran dewasa
ini yang dituntut untuk serba empiris. Dalam salah satu karyanya, yakni Lentera
Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia, Prof. Mulyadhi Kartanegara
memaparkan uraian wahdat al-wujud yang
digagas oleh Ibnu Arabi. Beliau mengatakan bahwa: “Sekalipun wujud yang tampak
ini, yakni semesta raya banyak dan beragam, namun sejatinya wujud itu hanyalah
satu, yakni Allah Swt.” Namun bagaimana kita mengatakan semesta yang empiris,
yang jelas keberadaannya ini, bisa dilihat, disentuh, didengar sebagai sesuatu
yang tidak ada? Ibnu Arabi menjelaskan bahwa wajah hanya satu, sedangkan
cerminnya seribu. Sesuatu yang ada di cermin, tampak ada, namun sejatinya
tidak. Prof. Mulyadhi memberikan analogi sederhana namun mengena, yakni
perwujudan Allah dan semesta seperti ketika kita berada di dalam ruang dengan sepuluh
cermin, maka akan ada sepuluh bayangan, dengan posisi dan sudut yang berbeda,
sebab terpengaruh dari sudut pengambilan yang berbeda. Namun, jika demikian,
apa kita bisa mengatakan bahwa wajah kita sebelas dengan satunya yang asli?
Tentu tidak. Sebab wajah kita sejatinya satu, dan lainnya hanya bayangan. Begitu
juga dengan semesta dan Allah. Allah satu, namun cerminanNya bisa sangat bervariasi.
Dan dari Gus Bahauddin Nur Salim, disampaikan bahwa sejatinya Allah menampakkan
sifat-sifatNya di dunia ini untuk kita, untuk kita kenal, untuk panutan dalam
hidup. Allah memiliki sifat wajib, yakni Iradah, berarti berkehendak. Hidup
kita berada dalam kehendakNya, dalam pengawasanNya, dalam perputaran takdir
serta ketentuanNya. Meski begitu, Allah tetap memberikan pilihan kepada kita. Mau
berusaha, atau hanya berpangku tangan. Selepas berusaha, selesai berikhtiar,
tugas kita selesai. Masalah hasil, itu adalah ketentuanNya.
Menjadi manusia tentu tidak
lepas dari iradah Allah. Namun mengapa
Allah menciptakan manusia? Allah menciptakan manusia, salah satunya tentu
sebagai khalifah di dunia. Meski mulanya penciptaan manusia menuai protes dari malaikat‒Gus
Baha menyampaikan, yang memprotes tentu kalangan malaikat kelas rendah, bukan
kelas malaikat Jibril, sebab sekelas malaikat Jibril tentu yakin akan iradah
Allah, dan tidak mungkin mempertanyakan kehendak Allah, sebab Allah Mahatahu
segala sesuatu, dan sekelas malaikat Jibril diberkahi pengetahuan itu olehNya‒,
namun kemudian Allah mengajari Nabi Adam tentang nama-nama benda di sekitarnya,
yang oleh Prof. Mulyadhi disebut sebagai cikal bakal ilmu pengetahuan, kelebihan
dari Allah untuk manusia. Manusia diberkahi akal dan pikiran untuk bisa
mengenal Allah. Allah bahkan mengajarkan langsung kepada Nabi Adam As tentang
pengetahuan, seperti difirmankan olehNya dalam Alquran, yakni “Dialah yang mengajarkan nama-nama kepada
Nabi Adam” [QS. 2: 31]. Prof. Mulyadhi juga berpendapat, meski Nabi Adam As
sudah tidak ada, lantas Allah yang memberi pengetahuan kepada manusia, melalui
firmanNya, “Bacalah! Dan Tuhamu yang
mulia, yang mengajari manusia dengan pena, mengajarkan manusia apa yang tidak
ia ketahui.” [QS. 96: 4-5] Di sini jelas Allah mengejawantahkan keutamaan
berilmu, yang merupakan salah satu kelebihan dari manusia. Dan manusia
mendapatkan ilmu itu dariNya langsung.
Ada sebuah ungkapan menarik,
yakni siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya. Meski sederhana, namun
untuk mencapai itu membutuhkan perjalanan panjang berkelok-kelok. Namun ada
rumusan dari Prof. Mulyadhi yang menjabarkan tentang tugas manusia kepada
dirinya sendiri melalui tiga pilar, yakni: 1) memelihara kesehatan tubuhnya.
Menjaga kesehatan penting, terutama dalam hal makanan gizi seimbang dan olah
raga. Sebab melalui keduanya, kesehatan bisa didapatkan. Prof. Mulyadhi
menyampaikan bahwa terlalu banyak atau sedikit makan bisa menjadi penyebab
sakit, dan terlalu banyak atau sedikit gerak menjadi penyebab sakit. Menjaga
kesehatan tentu dibutuhkan agar dalam hidup bisa memberikan kontribusi yang
baik, dan ketika kita hendak memberikan kontribusi, tentu bermula dari
kesehatan fisik terlebih dahulu; 2) menuntut ilmu untuk kesempurnaan jiwanya.
Dalam pandangan Ikhwan al-Safa, ilmu adalah nutrisi jiwa. Sebagaimana tubuh
memerlukan makanan, jiwa pun memerlukan makanan yang gizi, yakni ilmu
pengetahuan. Tanpa ilmu, jiwa bisa kelaparan, lemas, bahkan mati, meski
tubuhnya masih hidup. Penting bagi kita untuk terus menyuplai jiwa kita dengan
pengetahuan, agar ia berfungsi dengan baik, agar kehidupan kita berjiwa, tidak
hanya hampa dan kosong, tanpa arah dan tujuan; 3) menerapkan ilmu untuk
kesempurnaan akhlaknya. Poin terakhir ini adalah aksi dari poin sebelumnya. Bahwa
selain berilmu, kita memerlukan untuk aplikasi dalam kehidupan sehari-hari,
agar terbentuk akhlak yang baik, akhlakuk karimah. Ilmu tanpa amal ibarat
seperti pohon tak berbuah. Menurut Ibnu Maskawih, tujuan etika merupakan:
“Sarana untuk memperoleh kebahagiaan. Caranya adalah dengan memelihara kesehatan mental yang kita miliki dan mengobatinya apabila sakit. Ketika jiwa seseorang sehat, ia akan bahagia, tapi kalau sakit akan sengsara. Orang yang berakhlak mulia adalah orang yang sehat secara mental dan terbebas dari segala macam penyakit, sedangkan orang yang berakhlak buruk sam dengan orang yang mengidap banyak penyakit. Maka, sebagaimana orang yang tubuhnya sehat akan meraga lega dan senang, demikianlah mereka yang mentalnya sehat akan merasa tenang dan bahagia.” (h. 212-213)
Penjabaran yang diuraikan oleh Prof. Mulyadhi tentang Tuhan dan manusia memang sangat menarik. Beliau memberikan pemaparan dalam perihal wujud Tuhan, sifat-sifat Tuhan, yang memiliki kehendak kepada kita sebagai manusia, untuk dijadikan khalifah di dunia ini. Jadi, meski dunia berubah, zaman berubah menjadi era hedonis, pragmatis dan kapitalis, abai terhadap akhlak dan melakukan hal dengan bijak, melalui karya Prof. Mulyadhi, kita kembali diingatkan tentang tujuan penciptaan kita di dunia, pengemban tugas sebagai pemimpin, pemimpin semesta, dan terutama pemimpin terhadap dirinya sendiri.
Meski hidup menyeret kita dalam
situasi yang mungkin sulit, namun perlu diingat, bahwa sesungguhnya bersama dengan kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
dengan kesulitan, ada kemudahan. Allah bahkan mengulangnya dua kali. Oleh
sebab itu, sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk terus mengkaji dan
mendalami pedoman yang Allah berikan melalui Nabi Muhammad Saw., yakni Alquran
dan Alhadis, serta ilmu-ilmu yang sudah disarikan oleh para ulama. Semoga, sisa
hidup kita bisa bermanfaat, dan mampu menjadi lentera, minimal lentera untuk
diri sendiri terlebih dahulu.
Comments
Post a Comment