Penempaan
Setelah seharian beraktivitas, alhamdulillah, akhirnya bisa rebahan. Rebahan bersama si dedek, sebab si papa, sedang kerja di luar ruangan di mana saya dan si buah hati berbaring.
Sudah dua hari, suami memutuskan untuk buka warung. Karena jam warung kopi menerapkan jam malam, akhirnya saya dan si buah hati yang diboyong ke rumah mertua, agar langsung mendapatkan pengawasan dari suami dan mertua. Kami tidur di sana, sampai pagi. Setelah Subuh, baru kami pulang ke rumah.
Saya tidak ingin mengeluhkan apapun. Sebab ini adalah lakon kami dalam berjuang. Suatu kala, kami akan menceritakan tentang bagaimana hidup pernah membawa kami, menempa kami, mendidik kami, untuk selalu tangguh terhadap benturan apapun. Mengamini ungkapan Tan Malaka, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Memang sebelum proses pembentukan, harus melewati proses pembenturan terlebih dahulu.
Jujur, jika rasional saya dominasikan, mungkin, saya akan mengeluh. Sebab, seharian waktu digunakan untuk bekerja, beraktivitas, dan belum ada waktu luang untuk sekadar istirahat. Terlebih, mengingat kondisi saya yang sedang hamil, rasanya sangat menyakitkan. Mengapa si putra/i kami tidak merasakan istirahat yang sewajarnya, padahal ia masih dalam proses pembentukan. Sedangkan saya harus memforsir diri saya untuk kerja, aktivitas, sedari membuka mata, hingga hampir menutup mata.
Rasanya, saya ingin menangis. Namun, mengapa? Bukankah semua sudah tertakar dalam kadar paling pas? Bukankah ketentuan Allah adalah ketentuan yang terbaik? Semoga, dengan proses yang seperti ini, bisa menjadi jalan, untuk si kecil tumbuh tangguh dan kuat. Terlebih, sebab saya mengurangi porsi makan, sebab lidah begitu pahit dan mual selalu terasa. Beragam cara sudah ditempuh. Saya diminta untuk minum obat mual dari bidan, dan disarankan untuk makan es krim. Namun, melihat makanan saja, rasanya sudah enek. Meski pahit, saya tetap harus memaksa makan, demi si kecil yang masih dalam proses pembentukan diri.
Lelah? Iya. Namun suami sudah pernah mendidik untuk tidak mengeluh, selelah apapun. Sering beliau menguji saya. Misalnya satu ini, yakni sepulang dari Solo, sebab tugas sekolah (saya belum tahu jika saya hamil), malamnya, si Mas menanyai, “Dek, capai?” Saya hanya tersenyum saja. Beliau mengulangi. “Dek? Mas tanya loh.” “Suami saya mengajarkan untuk tidak mengeluh atau bilang capai, Mas,” jawab saya. Beliau menjawab, “Mas hanya ngetes saja. Kalau bilang capai, biar Mas tidur di luar. Istrinya biar tidak keganggu.” Akhirnya saya masuk rumah kami, dan tersenyum bahagia, merasa lulus ujian.
Pun sekarang. Meski saya merasakan lelah, dan ingin memejamkan mata dengan segera, namun saya sudah berkomitmen untuk menulis di hari Kamis. Sebenarnya besok tidak apa. Hanya saja, saya merasa ingin. Sebab, dalam menulis, sering saya merasakan healing, proses kesembuhan dalam sisi psikologi. Akhirnya jadilah tulisan sederhana ini.
Sebagai penutup tulisan, saya yakin, Allah mencintai hambaNya dengan jalan terbaik menurutNya. Bagaimanapun proses hidup kami, asalkan rida Allah semakin dekat, mengapa tidak? Semoga Rabb berkenan menjadikan keluarga kami sebagai keluarga yang penuh berkah dan maslahah. Begitu pula kepada keluarga para Pembaca. Amin.
Tulungagung, 13 Agustus 2020
Aamiin. Semoga bumil sehat selalu
ReplyDeleteAmin ya Allah. Terima kasih Ibu Muslikah 😍
DeleteAamiin...semoga mbak Zahra dan si kecil sehat selalu...
ReplyDeleteAmin ya Allah. Terima kasih ya Bapak Agus. 😇
DeleteAamiin Ya Allah :-)
ReplyDeleteAlhamdulillah mbak zahra punya debay yeay 🤩🤩🤩♥️
Optimisme, keteguhan hati, dan kekuatan tekad bunda insyaallah menular dan mewarnai karakter ananda di dalam rahim. Mb Zahra bisa coba rebusan air kacang hijau dan kelapa muda. Pengalaman saya di trimester pertama cukup membantu. Biskuit dan kue kering juga bisa jadi alternatif. Semoga selalu sehat hingga proses persalinan🤩
ReplyDelete