Cemburu kepada Mereka yang Keras Mendidik Diri Sendiri
Saya yakin, orang yang keras mendidik dirinya sendiri akan menuai hasil. Mereka selalu menikmati proses demi proses, fase demi fase, dan terus melangkah, tidak peduli seberapa pelan, namun mereka tidak akan memilih berhenti. Sebab, tekad tujuan sudah dibidik, dan dirinya sudah berkomitmen kepada dirinya sendiri.
Saya selalu kagum kepada beliau-beliau yang mampu menerapkan Urip iku urup. Yakni memberi cahaya di sekelilingnya. Cahaya yang terpancar bukan hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan mampu menyebar, hingga di mana mereka berpijak, yang tadinya gulita, tadinya suram, harapan untuk kembali melangkah ke depannya hadir, sebab kehadiran mereka. Saya selalu merasa cemburu. Sebab telah mempraktikkan ajaran baginda Nabi Muhammad SAW, bahwa khairunnas anfauhum minnas. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bisa memberi manfaat kepada lainnya. Adakah yang lebih indah dibanding dengan itu? Mungkin diskusi kita akan lain, jika tema waliyullah yang diangkat.
Terkadang, dan cukup sering, saya cemburu kepada siapapun yang bisa berproses dengan baik. Sebab sekecil apapun langkah yang terayun, sejatinya setiap proses membutuhkan perjuangan, yakni melawan dirinya sendiri, serta memberangus alasan-alasan yang menjadikannya stagnan. Saya sangat cemburu dengan beliau-beliau yang bisa melawan musuh terberatnya, yakni dirinya sendiri.
Namun kecemburuan tidak boleh hanya sekadar cemburu tanpa aksi nyata. Bukankah kita patut berpacu dan berlomba dalam kebaikan? Terutama, di sini yang saya usung adalah masalah produktivitas menulis. Sebab, saya sendiri merasakan manfaat yang benar-benar nyata dari menulis. Rasanya addicted, tidak mau keluar dari dunia kata. Di sini, semua keindahan pengetahuan tampak. Bahkan problem hidup, sering sekali terselesaikan sebab saya mencurahkan hati saya kepada kata. Tiba-tiba, terbesit pemikiran A, B sampai C sebagai solusi permasalahan. Dan selepas menulis, saya rasa saya bisa self-healing dengan sendirinya. Banyak sekali manfaat menulis. Salah satunya, menyehatkan hati dan pikiran.
Rasa-rasanya, saya ingin concern kembali ke buku. Dahulu sudah bisa menerbitkan buku, masa sekarang tidak? Seingat saya, saya mengirimkan naskah ke Quanta bulan Agustus. Dan sebab setiap hari menulis, dalam satu bulan saya bisa merampungkan naskah siap kirim. Bukankah ini masih Agustus awal? Mengapa tidak memulai lagi?
Masalah kesibukan, saya rasa setiap orang selalu sibuk. Terlebih, pembimbing kami, Dr. Ngainun Naim, M. HI. Beliau tentu memiliki jadwal yang benar-benar padat. Namun, tulisan demi tulisan beliau selalu ada setiap hari. Bahkan, beberapa kali dalam sehari. Saya benar-benar malu jika beralasan ini itu, apalagi alasan sibuk tidak menulis jika berhadapan kepada sang Guru. Beliau memberi contoh langsung, tidak hanya memerintah. Sosok guru dan pemimpin idaman serta ideal.
Tentang menulis, saya mendapatkan inspirasi luar biasa kemarin. Yakni, Apapun yang terjadi kepada saya, sebagai seorang penulis, saya akan tetap menulis. Meski naskah saya tidak baik, tidak diterima, saya akan tetap menulis. Sebab sebagai penulis, tugasnya ya menulis. Apapun yang terjadi. Selain itu, ada motivasi menulis yang mendukung statemen tersebut. Yakni, seorang profesional dalam menulis adalah seorang amatiran yang tidak pernah berhenti berproses. Rasanya saya seperti ditampar. Mengapa banyak sekali alasan ini itu untuk tidak menulis? Padahal sejatinya, alasan adalah jurang pemisah antara cita dan realita.
Tidak boleh lagi ada alasan untuk tidak menulis. Bukankah beliau yang ahli merupakan sosok yang tidak pernah berhenti, dan keras mendidik dirinya sendiri. Sebagai seorang guru, mungkin mendidik anak didik dengan keras, dalam arti melatih kedisiplinan dan tanggungjawab boleh. Namun sosok guru memang harus memberi teladan. Sebelum memerintah, mereka sudah melakukannya, memberi contoh dalam perilaku. Bukan hanya memerintah. Sebab perilaku adalah contoh yang mengendap dalam hati anak didik. Jika hati sudah tersentuh, maka perilaku yang dicontohkan guru akan otomatis diikuti anak didiknya.
Sudah lama saya memutuskan untuk mencoba menjadi cahaya, di bidang dunia kata. Sesosok cahaya yang bisa menjadikan terang sekelilingnya, melalui kata. Namun, sebab excuses yang dibuat sendiri, selalu gagal. Meski begitu, trial and error telah memberi pengalaman tersendiri. Selanjutnya adalah perlu aksi serta komitmen.
Saya tidak ingin menjadi sebatas seseorang yang hanya bercita-cita. Saya ingin merealisasikan semua. Semoga proses ikhtiar ini dimudahkan dan menjadi wasilah maghfirah, serta rahmat Allah kepada para guru, keluarga, para pembaca dan saya sendiri. Sebab yang saya yakini, salah satu bekal yang akan dibawa di dunia akhirat adalah, ilmu yang bermanfaat. Bukankah selama kita menulis, dan tulisan kita mampu memberikan manfaat kepada lainnya, bisa menjadi jalannya berkah untuk para guru yang mengajarkan kita, dan sebagai cahaya tidak terbatas kepada kita?
Tulungagung, Aug 2nd, 2020
Dalam hal ini sama mbak,. Melihat orang lain seakan begitu bersungguh-sungguh dalam menjalani tiap proses. Sedangkan diri sendiri seolah terlalu nyaman dalam satu titik,.
ReplyDeleteNah, mari menindaklanjuti kecemburuan itu Mas.
DeleteAku sedih membacanya. Aku pengen segera melahirkan bayi, yang kusebut buku. 🤧
ReplyDeleteSudah mengandung, sebentar lagi lahiraan
DeleteKeren, menebar energi positif...
ReplyDeleteTerima kasih Pak Agus 😁😁😁
DeleteKeren, menebar energi positif...
ReplyDeleteTerima kasih, Pak Agus 😁😁😁
Delete