Self Contract: Switch-on Yourselves


Bagi saya pribadi, saya benar-benar beruntung bisa mengenal Bapak Dr. Naim. Terlebih, bisa meraup ilmu, meneguk ilmu dari aliran ilmu yang beliau tuangkan. Sebab, seorang guru yang mengajari muridnya untuk menulis dan membaca adalah seorang guru yang memberikan kunci dalam membuka pintu dunia, mengenal beragam rupa kejadian yang dihadirkan oleh kehidupan, dan memberikan jalan, di mana dan bagaimana sang murid mampu mendapatkan kunci penyelesaian ketika masalah datang. Saya merasakan manfaat yang sangat luar biasa dari ‘patuh’ terhadap saran dan ‘dawuh’ beliau untuk membaca dan menulis.
Di sini saya tidak hendak menekankan pada bidang narsistik bahwa saya sudah baik dalam bidang literasi. Tidak. Sangat tidak. Saya masih berproses, terus berproses, dan jika dikategorikan, tentu saya masih dalam level penulis pemula. Terbukti, guncangan hidup yang saya alami semasa 2019 membuat saya vakum dari dunia menulis. Kala itu, hidup begitu berat. Jangankan memikirkan kebermanfaatan untuk orang lain. Untuk sekadar hidup saja, saya tidak memiliki cahaya. Harapan-harapan sempat padam. Saya lupa bahwa saya sudah membentuk diri sedemikian rupa di masa sebelumnya. Namun saya tidak menyesalinya. Cukup bahagia dengan fase demi fase, proses demi proses yang dihadirkan oleh hidup. Banyak mutiara indah yang saya dapatkan selepas menyelami samudra problematika hidup kala itu.
Saya malu sebenarnya terhadap diri saya sendiri. Bagaimana bisa saya meninggalkan, bahkan memporak-porandakan bangunan yang saya bangun sendiri? Namun, sesal tinggallah sesal. Cukup aktivitas pengenangannya. Saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk kembali merekonstruksi mimpi yang pernah dan masih ditorehkan.
Beruntung, Allah masih mengizinkan untuk keep in touch kepada Dr. Naim. Terbukti saat ini mengikuti beliau di salah satu GWA Komunitas Menulis dan GWA Sahabat Pena Kita. Saya benar-benar bersyukur masih diberikan kesempatan untuk melihat indahnya literasi melalui cahaya semangat dari beliau. Sebab beliau tidak hanya berteori dan mengajak, namun memberi teladan langsung. Setiap hari selalu saja ada catatan beliau yang menghidupkan kembali semangat untuk berliterasi. Sedangkan memberi teladan merupakan pendidikan terbaik, sebab seorang guru adalah role model bagi para muridnya.
Saya mengingat betul nasihat Dr. Naim kala pertama kali saya menatap diri beliau. Di gedung Pascasarjana IAIN Tulungagung, tahun 2017, kala itu belum ada kursi dan bangunannya belum semegah sekarang, kami lesehan, dan beliau memberikan kelas Workshop Self Healing bersama HMJ BKI. Saya berkesempatan untuk berdialog bersama beliau, dan yang saya tanyakan adalah perihal vibes by environment yang sangat memengaruhi produktivitas menulis. Jadi saya akan semangat jika lingkungan saya mendukung. Namun saya akan meredup, jika lingkungan saya gulita. Beliau menjelaskan dengan sangat singkat, yakni, sepatutnya kita bisa mengubah environment, lingkungan yang ikut kita, bukan malah kita yang ikut-ikutan lingkungan. Ciptakan, jangan ikut arus. Itu nasihat beliau. Masih teringat, dan membatu dalam alam bawah sadar saya.
  Seketika, wajah saya menunjukkan mimik sumringah. Yang mulanya bingung dengan fenomena tersebut, saya merasa tercerahkan. Teringat dengan sebuah nasihat yang pernah saya dapatkan, “Jika sekelilingmu gelap, curigailah dirimu. Jangan-jangan engkaulah cahaya yang akan meneranginya.” Saya kembali merenungi nasihat Dr. Naim, masih ada relevansi dengan nasihat tersebut. Saya sudah mendapatkan nasihat itu jauh-jauh hari, namun belum bisa menyelaraskan dengan konteks. Ribuan terimakasih patut dihaturkan kepada Dr. Naim, sebab memberikan mutiara yang sangat berharga dalam hidup.
Mungkin yang ingin saya tekankan, jika saat ini kita mengalami euforia sebab suntikan semangat yang tidak henti dari Dr. Naim, dan itu memang wajar, tidak apa. Namun, mari kita memulai untuk menyalakan lentera kita sendiri. Sulit, sangat sulit memang. Sebab perjuangan Dr. Naim dibanding dengan perjuangan kita, mungkin sangat jauh. Beliau bisa menjadi ‘cahaya’ sebab mengalami fase yang luar biasa. Benturan demi benturan terus diterima, yang akhirnya ternyata malah membentuk sedemikian indahnya.
Kita, yang merupakan murid dari beliau mengemban tugas untuk melanjutkan perjuangan Dr. Naim dalam meneruskan giat literasi. Mari membuat self contract yang isinya komitmen, meski tanpa disuruh, mari memiliki kesadaran, kemauan dan aksi untuk menulis. Meramu hal-hal indah sehari-hari atau ilmu baru dalam bentuk tulisan. Terus berusaha untuk istikomah terhadap diri sendiri. Terus mendidik diri sendiri dengan keras, sebagaimana ungkapan Dr. Naim dalam The Power of Writing tentang Ali Audah atau Hamka. Selepas selesai dengan diri sendiri, siapa tahu, cahaya kita bisa memberikan manfaat bagi sekitar kita, seperti beliau. Istikomah memang sulit. Namun, mari memanfaatkan momentum luar biasa ini untuk merajut sebanyak-banyaknya, menyelam sedalam-dalamnya dalam samudra literasi. Semoga, kelak kita bisa seperti beliau, yang sudah dalam fase mahabbah dalam keilmuan, terutama perihal literasi.
 Saya mengingat nasihat Jack Ma. Semakin kita ingin membantu orang, semakin luas bantuan kita kepada jaringan yang lebih luas, rezeki akan datang dengan sendirinya, kebermanfaatan hidup akan terasa. Sebab kita bekerja atas nama kemanusiaan. Orang lain mendapatkan imbas atas kinerja kita. Mungkin nasihat ini bisa diambil konteksnya oleh Pembaca dengan paparan sebelumnya.

Salam
Tulungagung, 12 Juli 2020

Comments

  1. terimaksih mb Zahra share ilmu dan pengalamannya. keren memang mb Zahra ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkenan berkunjung, Ibu Zulva. Belajar dari Ibu juga. 🤗

      Delete

Post a Comment