Mencari Ku, Mencari Mu
Di kala beberapa hal datang dengan tiba-tiba, tanpa diundang, tanpa perantara, begitu saja, seperti kehadiran maut yang sering memberi kejutan, seperti kehadiran seseorang dalam hidup, padahal sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti kehilangan sesuatu, yang tidak pernah terbesit akan pergi, kesemua itu, sejatinya menuntun kita untuk condong pada dua sisi besar dalam hidup, bahwa suka duka, tawa tangis, panas hujan, mendung pelangi, memang kodrat alam yang menunjukkan, hidup memang terdiri dari hal-hal itu. Hal-hal yang kadang kita merasa memiliki adidaya dalam mengembangkan segala sesuatu, padahal sejatinya ada Penggerak di luar diri kita. Hal-hal yang kadang menyudutkan kita untuk diam, tidak memiliki pilihan lain selain menerima, dan melanjutkan hidup dalam kepasrahan. Hal-hal yang kadang membawa kita pada jurang duka maupun kebahagiaan. Beginilah hidup. Kita tidak mungkin bisa menciptakan dunia yang ideal, sebab ini hanya dunia. Ada seribu kepala, maka akan ada seribu keinginan. Dan semua tentu tidak mungkin tanpa persetujuan, tanpa kompromi kemudian memiliki visi serta tujuan yang sama.
Seperti aku sekarang. Aku berdiri
di atas ambang suka dan kepasrahan. Sebab begitu mudah diriku kuserahkan kepada
angin duka dan bahagia. Aku memang menyerahkan jiwaku kepada mereka secara
sengaja, sehingga tidak heran jika mereka mudah mengombang-ambingkanku, sesuai
dengan keadaan.
Kadang aku merasa sangat letih
dengan kehidupan. Mengapa hidup seperti ini? Mengapa aku lebih merasa
bersemangat ketika masih dalam fase belajar, terlebih ketika duduk di bangku
S1? Atau sebenarnya, aku sedang di dalam fase, di mana aku jauh dari Rabbku. Dalam
pikiran dan hatiku hanya target ini target itu dan kesemuanya, apakah
jangan-jangan hanya sebuah kesemuan semata?
Sering hatiku merintih, terus
melantunkan kalimat, ‘Ya Allah, Engkau di mana?’ Mengapa hanya kekosongan yang
aku rasakan? Padahal nikmat-Nya selalu kureguk. Aku bernapas. Aku bernaung dari
terik dan hujan di dalam rumah yang sangat nyaman. Aku bisa makan dengan
kesediaan beras yang cukup dan lauk yang bergizi. Aku bisa tidur di atas kasur
empuk, yang bisa membuatku pulas. Aku memiliki pekerjaan yang bisa menjunjung
tinggi prestise diriku dan keluargaku.
Aku memiliki banyak murid, dan mereka menyayangiku. Namun mengapa, sangat sulit
untuk mengatakan, bahwa semuanya terasa gelap. Tidak ada cahaya. Bahkan untuk
berjalan saja, aku perlu meraba sekitarku. Apakah aku tersesat dalam kebohongan
duniawi semata, dan itu berarti bahwa aku ini sebenarnya berada dalam titik
terjauh dari Rabbku.
Untuk menjawab kegundahan yang
saat ini aku rasakan, untuk menemukan diriku kembali, meski dalam kegelapan,
untuk kembali mencari setitik cahaya yang bisa digunakan sebagai penerang dalam
hidup yang fana ini, membuka-buka buku karangan ulama, menelaahnya, dan
mensinkronkan antara ilmu yang terpapar dan realita yang kualami, merupakan
salah satu jalan untuk bisa kembali menujuNya. Tidak dipungkiri, jika hati
tidak sering disiram oleh hikmah-hikmah yang menyejukkan, bisa menyebabkan matinya
hati. Seperti tanaman yang senantiasa tumbuh subur, iman membutuhkan air hikmah
untuk selalu menghidupkan hati.
Berangkat dari keputusasaan,
berangkat dari bersimpuh kepada-Nya, memohon maghfirahNya, menyadari bahwa mungkin, aku satu-satunya hamba paling
hina, hanya saja, Allah masih menutup aib itu, akhirnya kudapati hikmah. Suamiku
sering merangkul, ketika aku masih mengutamakan ketamakan ego. Meski aku tidak
mengkultuskan beliau, namun aku juga mengakui, bahwa aku salah, dan paparan
beliau lebih tepat. Suamiku selalu mengingatkan, untuk tidak menggebu-gebu
dalam menggenggam semuanya, terutama duniawi. Beliau selalu mengatakan untuk
menikmati proses, dan terus berproses. Bahkan dalam diskusi singkatku dengan
suami dan seorang teman baik, yang keilmuannya jauh di atasku, mengatakan untuk
tidak berhenti belajar. Tidak merasa bisa, dan satu lagi, untuk terus
menghidupkan perasaan serta hati, bukan malah mematikannya. Melakukan sesuatu
melalui pertimbangan perasaan, melalui hati terlebih dahulu, baru direlasikan
dengan pikiran. Bukan sebaliknya.
Ketika mendengar ucapan itu,
rasanya aku seperti tersengat. Apakah aku memang dengan sengaja mematikan
hatiku? Jangan-jangan aku tersesat oleh pengetahuanku sendiri. Pertanyaan yang
sedari tadi aku lontarkan memang bernuansa kepanikan. Namun, bukankah Allah
mengirim kita dalam suatu keadaan, untuk mendidik kita? Jangan-jangan aku
memang sudah berhenti men-charge diriku
sendiri dari mutiara-mutiara hikmah, sehingga semua terasa begitu gelap dan
sulit. Terlebih, ketika berkelana dalam proses pencarian Allah, bukankah aku
harus terjun dalam samudra diriku terlebih dahulu? Mengapa masa lalu yang
mungkin bisa kubanggakan dan kutangisi tidak bisa menjadi kaca spion yang
seharusnya membantuku selamat untuk meniti jalan ke depannya? Bukankah
seharusnya melalui sejarah yang pernah kuukir dalam kisahku sendiri, suka duka,
tangis tawa, semuanya, mampu dijadikan pedoman untuk melenggang ke depan dengan
selamat?
Bukankah seharusnya memang
seperti itu?
Tulungagung, 26 Juli 2020
Luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih Bapak ☺
ReplyDeleteTulisanya luar biasa.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda ❤
Delete