'I am Sarahza' dan Konteks Realita


Semenjak mengenal istilah membaca ngemil yang dilontarkan oleh Dr. Naim, saya cukup sering mempraktikkan membaca ngemil tersebut untuk sedikit buku yang saya miliki. Salah satu yang saat ini dalam proses pengemilan tersebut adalah karya dari penulis 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, berjudul I am Sarahza.

Satu-satunya pertimbangan saya memilih buku itu di antara ribuan buku yang ada, sebab saya penasaran, mengapa buku ini memiliki cap Best Seller. Apa keistimewaannya? Ditambah dengan gambar janin yang meringkuk di dalam rahim seorang ibu, suatu kondisi yang ingin segera saya realisasi saat ini. Melalui beberapa pertimbangan tersebut, akhirnya saya meminangnya.

Hanum dan Rangga memulai kisah ini dengan adegan pertengahan. Yang tentu membuat saya mengernyitkan dahi, apa maksudnya? Namun saya mafhum, bahwa ini adalah cara untuk menimbulkan rasa penasaran pembaca. Ditambah dengan latar bersalju, plus bahasa yang tidak saya kenal, saya pasti menebak, latar kisah ini ada di Eropa. Sebab USA tentu menggunakan bahasa Inggris.

Belakangan saya tahu, bahwa kisah mula itu terjadi di Austria, Wina dan Vienna merupakan beberapa latar yang menjadi tempat lokasi cerita. Saya menyimak satu demi satu halaman. Menarik, ini kesan yang saya dapatkan.

Kisah ini menceritakan tentang Hanum, seorang perempuan yang sedang menyelesaikan studi akhir di FKG UGM. Dia mengisahkan awal pertemuan dengan Rangga, yang merupakan sosok yang akan menjadi suaminya. Meski Hanum mengambil studi kedokteran, namun sebenarnya cita-citanya merupakan menjadi seorang presenter TV. Itu adalah karier yang dia cita-citakan. Namun mengapa Hanum mengambil studi kedokteran gigi? Sebab itu adalah cita orang tuanya. Dia ingin membaktikan diri kepada kedua orang tuanya, dan terpaksa, mengubur cita-cita terbaiknya.

Singkat cerita, Hanum lulus. Dia menikah dengan Rangga. Orang tua Hanum, Bapak Amin Rais mau menerima pinangan Rangga sebab dia merupakan lelaki yang bertanggung jawab. Ketika dia ditanya, kamu kapan siap menikahi putri saya? Jawaban Rangga mantab, dia bisa besok langsung menikahinya. Lelaki seperti ini yang dicari sosok orang tua. Seseorang yang bisa memberikan kepastian dan bertanggungjawab selepasnya, berjanji mencintai putrinya jiwa dan raga.

Hanum berhasil menjadi presenter TV nasional. Dia mereguk popularitas dan eksistensi di tengah kariernya. Akhirnya, Hanum mendapatkan apa yang ia citakan. Di tengah kebahagiaan itu, Rangga memberikan kabar bahwa dia mendapatkan scholarship ke Austria, melanjutkan studi ke sana. Di tengah deru kebahagiaan, Hanum terdiam. Dia tidak ingin melepaskan karier yang selama ini ia inginkan begitu saja. Akhirnya Rangga menerima keputusan untuk Long Distance Relationship.

Sosok Rangga di sini merupakan sosok yang mengayomi, humoris dan tegar. Dia tidak pernah menampakkan kegundahan hatinya di depan Hanum, istrinya. Meski dalam hatinya menjerit lantaran ia merasakan sesuatu yang mungkin melukainya, ia tetap ingin tegar. Saya langsung memikirkan suami saya. Apakah jangan-jangan para lelaki hebat seperti Rangga dan suami saya—beliau merupakan sosok lelaki yang luar biasa dalam kacamata saya—memang sengaja menyediakan bahu kepada tangis perempuan, hanya untuk melupakan tangisnya sendiri? Saya merunduk dalam untuk hal itu.

Ayah Hanum memberikan wejangan yang membuat saya luluh. Beliau menyampaikan, “Num, sekarang dengarkan kata Bapakmu. Bumi Allah itu luas. Berkarya bisa di mana saja. Jadi perempuan pembahagia suami itu lebih konkret daripada apapun yang kamu kejar sekarang ini. Kamu pikir orang-orang bahagia dengan berita yang kamu bawakan? Kamu pikir produser TVmu itu terenyuh dan terharu kalau penampilan kamu luar biasa di layar? Mungkin Bapak dan Ibuk bangga lihat kamu di TV. Kamu hebat ketemu sama orang penting, terkenal, mewawancarainya. Kamu jadi terkenal di seluruh Indonesia. Tapi Bapak dan Ibuk menangis setelahnya. Karena di balik senyum dan kebahagiaanmu, ada suamimu yang kau buang jauh-jauh. Num, mungkin kamu mengejar menjadi wanita terhormat versimu. Tapi kamu membengkalaikan suamimu dalam keadaan tidak terhormat.” (h. 63) 

Ada sesuatu yang menyusup dalam diri saya ketika membaca teks tersebut. Hal itu yang selalu berkecamuk dalam pemikiran saya, menjadi wanita terhormat dengan jalan yang saya pikir  akan membawa saya pada kehormatan. Namun, di sisi lain, saya seorang istri, yang mendapat pilihan lain dari suami saya. Apakah menjadi perempuan memang harus seperti itu? Di mana nilai-nilai feminis yang selama ini saya yakini? Namun, logika saya juga mengatakan, pilihan yang ditawarkan oleh ayah Hanum merupakan sesuatu yang memenangkan batin. Saya mendapatkan pencerahan baru dari wacana tersebut.

Singkat cerita, Hanum memilih meninggalkan kariernya. Dan membuat prospek bersama suaminya di Austria. Dengan berat hati, akhirnya ia berani memilih untuk meninggalkan karier, impiannya, untuk sebuah keluarga. Sedang suaminya telah lulus program Ph. D dan diminta untuk mengajar di sana.

Apa keterkaitan kisah Hanum dan gambar janin? Siapa Sarahza?

Hanum dan Rangga memiliki kesulitan dalam memiliki keturunan. Sarahza merupakan sosok yang masih berada dalam alam ketiadaan. Dia masih berada dalam lauhul mahfuz. Dalam sudut pandang yang digunakan di buku ini, sering juga mencuplik tentang Sarahza, Rangga dan Hanum. Ketiganya bergantian. Jadi sering, Sarahza mengisahkan tentang ayah ibunya di alam dunia, sedangkan ia melihat di alam tak berwujud sana.

Karena kesulitan memiliki putra, akhirnya mereka, Hanum dan Rangga melakukan inseminasi. Tiga kali inseminasi, hasilnya gagal. Sarahza melihat usaha kedua orang tuanya untuk mendapatkannya. Namun, lonceng Lauhul Mahfuz belum juga berdenting memanggilnya. Banyak calon bayi yang belum merasakan dunia, namun oleh malaikat diantar kembali ke surga. Sarahza sering merenungi, apakah Allah mengizinkannya berjumpa dengan orang tuanya di dunia? Ataukah Allah mengajaknya kembali di surga?

Sampai di situ bacaan saya. Saya belum merampungkan seluruhnya. Namun, dari separuh novel ini saya sudah mendapatkan banyak sekali pelajaran. Bahwa kita manusia memiliki iradah. Bahwa iradah, dan doa merupakan kekuatan yang bisa memberikan pancaran cahaya luar biasa kepada calon anak-anak kita di surga. Bahwa cahaya mereka bergantung dengan iradah kita juga.

Sebagai pengantin baru, saya sering mendapatkan pertanyaan, apakah sudah isi? Dengan tersenyum getir nun pahit, saya mengatakan belum. Saya paham dengan basa-basi pertanyaan itu. Namun untuk apa dilontarkan jika ternyata menyakiti hati yang ditanya? Lebih baik diam dan mencari topik lain untuk dibicarakan. Sebab hal privasi seperti itu cukup riskan dan sangat sensitif. Suami pun memiliki iradah atau kehendak memiliki anak selesai pandemi ini. Saya hanya diam. Diam untuk terus berdoa, dan semoga Allah memberikan ketetapan terbaik untuk kami. Dalam angan pun terkadang berpikir, apakah anak-anakku sedang menatap kami di sana? Di langit?

Tulungagung, 2 Juli 2020

Comments

Post a Comment

Popular Posts