Bersyukur, Menikmati Hidup dan Terus Bejuang
Saya paling senang mengajak diri saya
untuk beruzlah, merenung dan bermonolog kepada diri saya sendiri. Tujuannya untuk
mendapatkan hikmah dalam setiap kejadian yang dihadirkan oleh hidup. Agar ketenangan,
kebahagiaan hadir memenuhi ruang kalbu, dan menjadi bekal untuk perjalanan
hidup selepasnya.
Di masa pandemi ini, saya
melihat banyak sekali dampaknya pada setiap aspek kehidupan manusia. Salah satunya
dan yang paling mendasar adalah bidang ekonomi. Kebetulan, selesai saya
menikah, pandemi Covid-19 merambah secara luas di seluruh Indonesia.
Tulungagung sebuah kota di mana saya tinggal selepas menikah mendapatkan dampak
yang cukup signifikan. Otomatis, sebagai pengantin baru, dan kala itu, saya
belum terikat dengan instansi manapun, mendapatkan kesulitan dalam perihal
perekonomian. Sebab suami saya pedagang warung kopi, yang merupakan salah satu
pedagang UMKM.
Wilayah kampus diliburkan. Target
pemasaran suami saya yang merupakan mahasiswa mengalami penurunan drastis. Saya
yang belum bekerja, menjadikan kami mengalami masa sulit. Namun satu hal yang
selalu dididik oleh suami saya adalah, ketika kami masih bisa makan, bisa cukup
dalam setiap kebutuhan, patut bagi kami untuk mensyukurinya. Banyak di luar
sana yang juga mengalami hal serupa. Bahkan mungkin permasalahan yang mereka
hadapi lebih pelik. Patut bagi kami untuk bersyukur, sebab Allah memenuhi
janji-Nya, bahwa Allah selalu menjamin rezeki setiap hamba-Nya, setiap hari.
Rasa sejuk mulai hadir dalam
kalbu. Rasanya tiba-tiba hati menjadi semakin lapang. Benar ucap mas suami. Kami
masih memiliki persediaan beras, yang merupakan parsel hari raya Idul Fitri
dari beberapa lembaga yang saya ikuti. Dan itu sangat cukup untuk kami, dalam
beberapa bulan ke depan. Demikian minyak goreng, sembako dan lain sebagainya. Alhamdulillah,
kami masih diberikan nikmat untuk mengingat nikmat itu semua. Meski mungkin
sederhana, namun saya benar-benar mensyukurinya.
Tiba-tiba, suatu hari, ada
relasi dosen yang meminta untuk menerjemahkan jurnal. Saya cukup bahagia, sebab
imbal jasa tersebut bisa digunakan sebagai penambal kebutuhan mendesak lainnya.
Misalnya bahan bakar untuk motor, ataupun gas LPG. Saya tidak pernah menarif
harus berapa menerjemahkan jurnal. Pertimbangan saya, saya banyak belajar dari
menerjemahkan. Otomatis, seluruh komponen jurnal akan saya baca, dan
dialihbahasakan. Itu bisa menjadi tambahan ilmu bagi saya. Dan ternyata, betapa
membahagiakan, beberapa dosen yang meminta saya menerjemahkan memberikan rupiah
yang cukup untuk bekal kami beberapa hari ke depan. Saya bersyukur sangat untuk
itu.
Hari berganti, bulan berlalu. Allah
memang Maha menepati janji. Saya akhirnya mendapatkan peluang untuk masuk ke
sebuah instansi pendidikan. Di sana saya berperan sebagai guru, dan diberi
amanah sebagai wali kelas. Tiga bulan pertama memang masa saya untuk magang. Namun
betapa beruntung, saya mendapatkan banyak sekali relasi dan rekan sejawat. Sehingga
perlahan, saya membuka private class untuk
kelas bahasa Inggris di luar jam sekolah.
Saya memang pemimpi. Dan sampai
sekarang, saya masih menggenggam mimpi-mimpi itu. Meski realita mewujudkan
dengan cara yang luar biasa, namun saya yakin, apa yang Allah siapkan, terlepas
dari apa yang kita usahakan, sebutkan dalam tiap munajat, merupakan hal-hal
yang sangat indah.
Saya ingin meniru suami saya.
Meski di awal saya kurang sependapat dengan pemikiran beliau yang cenderung, legowo, nrima ing pandum, sebab dalam
pemikiran saya, kita bisa merealisasikan apapun yang kita mau, dengan usaha
yang berlari di atas rata-rata, berusaha di atas usaha orang lain, kita tentu
bisa. Namun saat ini, saya ingin mencoba menikmati hidup. Menikmati apapun yang
dihadirkan oleh hidup, dengan beragam kejutan yang ia berikan, dengan beragam
keindahan panorama yang ia suguhkan.
Mengikuti pemikiran suami saya
membuat saya merasa lebih lapang. Rasanya, bahagia selalu datang bertubi-tubi. Saya
selalu mengatakan kepada suami, bahwa saya ingin kaya uang. Namun beliau
mengatakan, “Jangan ingin kaya harta, inginlah hidup berkecukupan. Kaya boleh,
tapi kaya ilmu, kaya sahabat, kaya teman, kaya kesabaran, kaya kebahagiaan,
kaya keluarga, kaya keberkahan, dan insyaallah, uang akan datang dengan
sendirinya. Namun, jika ingin mengejar uang, sebanyak apapun uang yang didapatkan, setinggi apapun jabatan yang diterima akan terus kurang, kurang dan kurang. Jangan mau menjadi budak dunia."
Saya tidak tahu, betapa Allah
ternyata amat sayang, dengan mengirimkan pendidik sekaliber suami saya untuk
saya, yang penuh hina. Perlahan, saya ingin seperti beliau. Beliau yang selalu
melapangkan hati seluas-luasnya ketika ada problematika dalam hidup. Beliau yang
selalu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa beliau kaya akan kesabaran, sehingga
meski mungkin, ada beberapa problem hidup yang cukup rumit, beliau selalu
yakin, suatu saat, akan ada mutiara indah yang dihadirkan selepasnya.
Catatan ini dibuat sebagai
perenungan, bahwa sebenarnya nikmat-Nya begitu banyak kita terima. Hanya mungkin,
sebab dibutakan oleh nafsu, semua nikmat-nikmat itu menjadi terluput. Manusia memang
dibekali dengan nafsu ketika mereka hidup di dunia. Namun, bukankah mereka juga
memiliki pilihan, hendak mengenyangkan nafsunya, atau mengekangnya dengan jalan
riyadhah? Itu semua dikembalikan
dalam diri kita masing-masing. Semoga setiap jengkal perjalanan kita berjuang untuk
menelusuri kehidupan, menjadi perantara agar semakin dekat kita kepada Sang
Pencipta alam semesta. Amin.
Tulungagung, 16 Juli 2020
Comments
Post a Comment