Fenomena Share List Vocabulary, Private Chat, dan Pemaksaan Share di Story



Pentingnya memahami wacana serta melek literasi memang benar-benar dibutuhkan di era meledaknya arus informasi saat ini. Banyaknya informasi-informasi yang tidak edukatif, menjebak, penipuan yang merugikan banyak orang seakan-akan sudah menjadi hal biasa. Manusia melakukan banyak cara untuk sekadar meraup untung sebanyak-banyaknya dengan jalan semudah-mudahnya. Krisis adab, moral, etika, pengetahuan menjadi problem yang semakin melambung. 

Yang hendak saya tekankan di sini adalah, fenomena banyaknya story WA yang mengatakan, “Daftar Vocabulary. Kalau mau, silakan chat pribadi.” Dari judulnya cukup menggiurkan. Karena memang orientasinya positif dan edukatif. Melihat story tersebut, saya memilih untuk mengirim pesan pribadi kepada si empunya story untuk sekadar memberikan apresiasi. Dan kebetulan dia murid saya di sekolah. 

Pujian saya lambungkan kepadanya. “Sudah dibacakah daftarnya, Nak? Kita memang butuh belajar terus ya. Kamu dapat akses itu dari mana?”

“Ustazah mau kah?”

“Boleh, dikit saja ya. Tidak usah banyak-banyak. Kamu biar hemat data.” Tujuan saya hanya mengambil sampel dan tidak lupa, menghemat kuota. 

Tiba-tiba saya dikirimi banyak sekali file dokumen, gambar yang membutuhkan kuota cukup besar.  Padahal sudah saya katakan, sedikit saja. Karena sudah dikirimi, saya mengucapkan terima kasih. Namun respons yang saya dapatkan selepas mengucapkan terima kasih ternyata tidak sesuai prediksi saya. Tiba-tiba, saya dipaksa untuk membagikan file tersebut di story dengan dalih ‘amanah'.

Saya merasa ditipu. Padahal hanya seperti itu. Alhasil, saya jelaskan kepada si anak tentang akad, persetujuan.

Menilik merebaknya fenomena seperti itu, saya rasa itu melanggar nilai-nilai normatif. Alasannya, pertama, yang diberi merasa ditipu. Kedua, bisa jadi, karena si pemberi merasa ditipu oleh rantai pertama yang ia dapatkan, ia akhirnya enggan membuka, membaca file yang ia bagikan dan tawarkan di story nya. Jadi intinya, dia membuang kuota, dan itu mubazir, sebab motifnya menjadi mencari korban lain, senasib dengannya. Ketiga, tidak ada akad sebelumnya. Ini melanggar aturan dalam perihal memberi dan menerima. Tidak boleh ada paksaan dalam memberi dan menerima, apalagi sampai ada yang merasa dirugikan oleh salah satu pihak. Keempat, membawa nilai-nilai keagaaman dan fanatik buta dalam memahami agama juga berdampak tidak baik. Allah memberikan akal kepada kita untuk digunakan dan dijadikan bahan pertimbangan dan melangsungkan hidup. Tidak serta merta karena berlabel 'amanah', lantas kita tidak mengkajinya lebih dalam lagi dan menelan bulat-bulat, tidak dikunyah-kunyah terlebih dahulu. 

Sampel percakapan yang saya bagikan di atas merupakan percakapan antara saya dan anak didik kelas 7 SMP naik ke kelas 8. Namun, yang saya sayangkan, beberapa mahasiswa juga melakukan hal seperti itu, membagikan di story mereka. 

Saya tidak merasa paling benar. Saya akan menerima kritik dan argumen sepanjang memang itu bisa dipertanggungjawabkan. Namun di sini, tujuan saya bukan untuk adu argumen, melainkan mengajak para Pembaca untuk melakukan analisis dalam bertindak. Jika dalam nurani kita merasa tidak nyaman, mari mengajak akal untuk berkolaborasi, mencari alasan mengapa nurani kita merasa kurang nyaman ketika melakukan hal tersebut. Bukan malah mencari mangsa lain untuk menjadi orang yang senasib sepenanggungan. 

Kita putus mata rantai itu bersama. Entah siapa pelopornya, meski memang, mungkin ada tujuan baik di baliknya, namun banyak kandungan tidak baik pula. Apakah story tersebut semacam prank atau apa, saya yakin, rekan-rekan tanpa melakukan promosi tersebut bisa mengakses dengan mudah dalam mesin pencarian Google. Saya sendiri sering memanfaatkan Google untuk membantu proses studi. Dan file yang berisi keilmuan sangat berlimpah. Bergantung kita mau membaca dan mengkajinya atau tidak. 

Di era semakin terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan, era di mana arus informasi membuncah bak banjir bandang yang datang secara tiba-tiba, patut bagi kita untuk pandai memfilter informasi yang layak atau tidak layak kita gunakan, disesuaikan dengan nilai dan norma agama, sosial, budaya dan adat yang sudah diajarkan oleh pendahulu kita. Identitas kita jangan sampai terkikis. 

Lantas, bagaimana mempertahankan itu semua? Dengan belajar. Memperbanyak wacana, sehingga pikiran semakin luas. Dan melatih dengan menganalisis serta merangkum formula dalam bentuk catatan. Menulis bisa melatih daya critical thinking kita, sebab dalam menulis, kita memproses input yang kita terima untuk kemudian diproduksi menjadi output kita, produk kita. 

Mari tidak lelah belajar. Terus belajar terus berusaha memahami fenomena-fenomena yang ada di abad 21 ini. Kita memerlukan adab di abad 21. Zaman disrupsi, zaman di mana arus perubahan terjadi dengan begitu kuat, dan banyak membuat manusia merasa bingung dengan perubahan yang cukup berbeda dari era sebelumnya. Bersikap bijak adalah pilihan yang tepat untuk survive dalam era ini. 

Tulungagung, 10 Juli 2020

Comments

Post a Comment

Popular Posts