Ruh Saya Membaca dan Menulis, Mas
Sebelum istirahat tidur siang,
saya menangis. Tepatnya ketika saya dan suami selesai salat Dhuhur berjamaah,
saya menangis. Suami diam menatap saya, bertanya-tanya, apa yang membuat
istrinya sesenggukan. Akhirnya, saya menjelaskan kepada beliau, sesuatu yang
melukai diri saya, sampai saya merasa bersalah kepada diri saya sendiri.
Akhir-akhir ini, saya memang
disibukkan dengan beberapa agenda. Agenda sekolah, tentu salah satunya,
sedangkan yang kedua adalah agenda pribadi, mengajar private di beberapa anak
dengan jadwal sepulang sekolah, sampai larut malam. Kesibukan itu membuat saya
lupa untuk terus memupuk diri, menunjukkan bahwa saya masih manusia yang
membutuhkan untuk belajar, dan terus melakukan perbaikan atau upgrading. Sebab dalam pengetahuan yang
saya miliki, jika melakukan sesuatu berulang-ulang, tanpa ada sesuatu yang
baru, yang bisa didapatkan di hari itu, bisa membuat saya engah dan jenuh,
bahkan seperti mesin. Otomatis melakukan ini dan itu. Dan bukankah orang yang
beruntung adalah ketika hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih
baik dari hari ini? Jika tidak bisa melakukan prinsip itu, rasanya sangat
melelahkan. Timbullah pertanyaan. Untuk apa saya masih hidup? Jika pikiran itu
sudah tumbuh, rasa tubuh, pikiran dan hati benar-benar lelah. Sedangkan ruh
saya untuk selalu memiliki positive
thought adalah dengan terus membaca, berdiskusi, mendengar penuturan orang
berilmu, dengan memperhatikan input gizi pemikiran, pengetahuan, serta olah
rasa, dan output, bagaimana saya mengolah pengalaman dan bacaan yang saya
dapatkan kala itu. Sedangkan lingkungan saat ini mengharuskan saya untuk switch on my own self. Maka, membaca
adalah solusi yang paling solutif untuk terus meng-upgrade diri.
Kemarin adalah hari Kamis. Sesuai
jadwal, saya memiliki kewajiban untuk menulis di Sahabat Pena Kita cabang
Tulungagung. Namun sebab sejak pagi sampai malam ada saja agenda yang
melibatkan fisik, saya cukup kelelahan, dan akhirnya tidak bisa setor. Jangankan
menulis. Waktu untuk membaca benar-benar berkurang. Saya harus mengeluarkan
banyak output‒mengajar, namun nutrisi yang masuk dalam diri saya begitu minim. Sehingga
rasanya menyesakkan. Terlebih jika tidak ada pandangan baru.
Saya mungkin memang masih
memasuki dalam fase adaptasi. Dahulu, waktu luang merupakan hal yang saya
miliki setiap saat. Sehingga banyak waktu digunakan untuk melahap buku-buku
yang berjajar memenuhi rak buku saya. Meski buku saya tidak bisa dikatakan
sedikit, namun belum bisa dikatakan banyak, belum semuanya saya baca dan saya
rampungkan. Sesekali saya membaca menggunakan metode ngemil, metode membaca
yang diarahkan oleh Dr. Ngainun Naim, M.HI. Selama ada waktu, saya membacanya.
Namun, sebab kesibukan yang
semakin menghimpit, akhirnya saya merasa bersalah, berdosa, bahkan hampa. Mengapa
hidup saya menjadi seperti ini? Bahkan saya merasa kehilangan diri saya
sendiri. Saya tidak mengenali diri saya sendiri, sebab melupakan bagian esensi.
Saya menjelaskan kepada Mas,
bahwa ruh saya adalah membaca, dan menulis. Tanpa keduanya, saya seperti mesin,
bukan manusia. Akhirnya, jadwal yang saya miliki beliau rombak. Beberapa target
deadline yang membutuhkan untuk dirampungkan, beliau minta untuk segera
diselesaikan. Jadwal private class hari ini diliburkan satu, dengan
mempertimbangkan energi, kebutuhan, waktu, dan mendesak tidaknya.
Selepas rampung menangis, sebab
saya merasa mendapatkan solusi dari beliau‒saya memang benar-benar cengeng dan
manja kepada suami‒saya berterimakasih kepada Mas suami. Beliau menawarkan
untuk tidur siang terlebih dahulu, apa mau membaca dan menulis? Saya memilih
tidur terlebih dahulu. Beliau membawa ponsel saya, untuk mengatur waktu saya
agar tidak habis digunakan untuk meladeni ponsel. Akhirnya, sebangun dari
tidur, saya mengambil buku. Membaca salah satu karangan Ernest Hemingway dengan
judul For Whom The Bell Tolls. Suasana perjuangan dengan mengisahkan Pablo,
seorang Gerilyawan yang berjuang untuk hidup dengan alat-alat konvensional
sedangkan musuhnya sudah memiliki persenjataan modern, membuat saya terpacu dan
terpicu untuk mengembalikan spirit perjuangan. Akhirnya pikiran cukup padang,
dan hati kembali tenang, sebab saya kembali menjadi diri saya.
Jujur, jika saya tidak membaca
atau tidak menulis dalam waktu sekian lama, saya merasa sedang dalam tahap down-grade. Rasanya saya menjadi dungu,
dan itu mematikan potensi saya sendiri. Berbeda ketika saya sudah membaca, atau
menulis. Apapun yang saya baca, saya mendapatkan wawasan baru. Bagaimanapun
bentuk tulisan saya, saya berterima kasih kepada diri saya sendiri sebab saya
mau berproses. Saya tidak merasa pintar selepas membaca dan menulis. Hanya saja,
yang hati saya rasakan tenang, dan pikiran saya menyala.
Semoga bisa kembali mengatur
waktu dengan baik, dan istikomah dalam menekuni dunia membaca dan menulis. Amin.
Tulungagung, 31 Juli 2020
Luar biasa.
ReplyDeleteTerima kasih kunjungannya Pak Agus
DeleteMembaca dan menulis adalah nutrisi otak dan hati. Keren tulisannya mb.
ReplyDeleteBenar sekali Ibu Nur. Kita selalu membutuhkan nutrisi untuk pikiran kita. Terima kasih apresiasinya Ibu.
DeleteTulisan keren
ReplyDeleteTerima kasih sangat Mas Imam
DeleteMenjadi terinpirasi dari kak Zahra
ReplyDeleteSaya juga banyak terinspirasi dari tulisanmu Dek
DeleteBagus sekali....semangat
ReplyDeleteHehe. Terima kasih Bundaaa
Delete