Mutiara Pertama dalam Pernikahan
Saya cukup bingung, hendak
memulai kisah ini dari mana. Sebab jika ditarik benang merah, akan sangat
panjang, dan cukup kusut. Perlu waktu, perlu jerih payah, perlu kemauan dan
tentu, kesabaran untuk kembali memintal benang merah ini menjadi benang yang
lurus, tidak berantakan.
Ujian saya terberat selepas
menikah adalah, konflik dengan ibu mertua. Saya akui, itu adalah hal paling
berat, dan saya tidak memiliki pengetahuan serta pengalaman apapun sebelumnya
tentang itu. Sebetulnya saya takut jika menuliskan tentang beliau. Ada ketakutan
yang menjalar, jika banyak orang mengetahui bagaimana kehidupan pribadi saya
selepas menikah. Terlebih, saya cukup sangsi jika ternyata ketika mengisahkan
tentang kisah ini, sama saja dengan mengumbar aib keluarga di luar. Namun,
setelah mendapatkan titik temu, titik yang merupakan jawaban atas doa-doa yang
dipanjatkan, oleh saya, orang tua saya, dan tidak lupa, suami saya, saya
mendapatkan mutiara yang sangat indah. Benar-benar indah. Keindahannya unik dan
berbeda dari beberapa mutiara yang saya dapatkan sebelum-sebelumnya.
Saya Zahra, bisa tergolong dalam
kategori pengantin baru. Sebab baru Maret kemarin, saya menikah. Terhitung sudah
empat bulan saya alih status dari gadis menjadi istri. Dalam usia pernikahan
yang cukup ranum ini, saya mendapatkan ujian yang begitu berat. Saya mengatakan
berat, sebab saya terjebak dalam pemikiran saya sendiri, dalam norma-norma,
nilai-nilai yang saya yakini saya benar. Saya abai terhadap beberapa realita
yang tersuguh di hadapan.
Sebagai seorang perempuan yang
telah bersuami, saya tentu memiliki mertua. Ibu mertua adalah seseorang pekerja
keras, dengan jalan beliau. Beliau berdagang, dan selalu repot serta sibuk di
dalam ruang dinas beliau, dapur. Kehidupan seperti itu sangat berbanding
terbalik dengan kehidupan saya sebelumnya. Ibu saya ibu rumah tangga. Kami hanya
memasak jika memang membutuhkan. Hal itu tentu saja berbeda dengan kehidupan
baru yang saya masuki. Ibu lebih suka menghabiskan waktu di dapur, dengan
segala kerepotan beliau. Repot secara fisik. Sedangkan saya, saya bukan seorang
perempuan yang terus menerus menghabiskan waktu hanya untuk urusan dapur. Saya memiliki
visi misi tersendiri yang ingin saya realisasikan. Sampai di sini, ada
ketidakcocokan antara kami berdua.
Sebetulnya, ketika bapak
menitipkan saya kepada ibu mertua, beliau sudah berkata, bahwa saya tidak
menyukai pekerjaan rumah. Meski memang saya ingin memastikan rumah saya bersih
dan selalu nyaman untuk ditinggali, namun saya memiliki target dan tujuan lain,
yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan rumah. Saya lebih suka berkutat
dengan buku, belajar, melakukan hal-hal yang saya anggap spektakuler dan bisa
mengalirkan ilmu yang saya pelajari. Ibu mertua mengiyakan pernyataan bapak.
Beliau memahami passion saya. Dan ibu
tidak meminta saya melakukan ini itu yang terlalu berat. Hanya mengutus
beberapa hal yang bisa menghindari saya dari rasa malu terhadap mertuanya. Nilai-nilai
adab, bagaimana pantasnya seorang menantu kepada mertuanya.
Ketika mengerjakan pekerjaan
fisik, saya mudah lelah. Sehingga beberapa proyek yang sudah saya
gadang-gadangkan gagal sebab fisik sudah lelah, tidak mendukung untuk berpikir.
Saya cukup sebal dengan keadaan itu. Bagaimanapun, berdagang itu menyita waktu
dan tenaga. Sedangkan saya ingin bisa lebih dari ini. Dan saya tidak bisa
mengatakan tidak, jika ibu mengutus. Ini memang sebuah bukti bahwa saya cukup
pengecut. Ini percikan konflik pertama saya dengan ibu mertua.
Paling parah adalah ketika
ramadan. Ibu menyita waktu suami saya sepenuhnya. Beliau tidak memiliki waktu
untuk saya. Bara kebencian mulai menyala di dalam diri saya. Bentuk kemarahan
saya, sering saya sampaikan kepada suami. Namun kami malah berujung dengan
pertengkaran. Padahal suami dan saya tidak pernah bertengkar sebelumnya. Sebab perkara
ibu, kami memiliki pengalaman bertengkar. Meski setelahnya, kami selalu
berbaikan kembali. Dalam benak saya, ini lakon saya. Meski saya tidak pernah
bertengkar dengan suami, namun ternyata problem yang muncul dari eksternal,
dari ibu mertua. Semakin membara kebencian yang ada dalam diri saya. Saya pun
berontak. Saya tidak mau diajak ke rumah ibu mertua. Saya menghindar konflik.
Sebab selepas datang dari sana, saya selalu menangis. Dan kadang, respons suami
saya membela ibu. Saya merasa tertekan dan merasa sendirian. Berkisah kepada
ibu dan bapak di Blitar, sepertinya hanya akan menambah kekhawatiran beliau
berdua. Saya pun hanya diam. Diam menahan tekanan yang begitu memilukan. Saya tidak
memiliki tempat lain untuk bersandar, kecuali kepada Allah. Saya hanya meminta
kebaikan. Sebab Allah selalu memberikan kebaikan, sesuatu yang jauh lebih baik
dari apa yang saya pinta.
Suami saya merupakan sosok yang
sangat penyabar, penyayang, pemaaf, lemah lembut, dan romantis. Melihat konflik
yang tidak berkesudahan, di antara dua perempuan yang beliau cinta, ibu dan
istri, beliau mulai membujuk saya untuk mengunjungi ibu dan bapak di utara. Saya
pun memahami posisi beliau. Pasti sangat sulit menjadi beliau. Bagaimana
mungkin dua perempuan yang beliau cinta berseteru, dan beliau akhirnya membagi
waktu dan diri kapan untuk ibu kapan untuk istri.
Saya mengikuti saran beliau. Akhirnya
saya ikut ke rumah ibu mertua. Dengan gaya yang diceria-ceriakan, saya akhirnya
mendekati ibu. Respons yang saya harapkan tidak saya terima. Beliau bermuka
masam dengan kehadiran saya. Saya padahal sudah datang, mengapa beliau malah
bermuka masam? Itu pikiran saya pertama. Sepulang dari rumah ibu, saya
menangis. Hanya saja, saya tidak menampakkan pada suami. Saya takut jika beliau
tidak berkenan. Sebab selama ini, beliau selalu membela ibu, dalam pandangan
saya.
Esok harinya, saya berkisah
kepada suami. Sebab cukup menyesakkan. Saya merasa tertekan dengan ujian kali
ini. Akhirnya saya baik-baik mengatakan kepada suami. Beliau merespons dengan
argumen,
“Mungkin ibu bermuka masam sebab
lelah, Dik, kamu tahu pekerjaan ibu, beliau juga semakin renta, dan beliau
cukup jarang kamu kunjungi. Coba kamu kunjungi sesering mungkin. Semakin sering
kamu mengunjungi, semakin beliau mengurangi seperti itu.”
“Tapi beliau bermuka masam, Mas,”
saya menjawab, sembari menahan keperihan yang menjalar.
“Orang kalau bermuka masam, dan
selanjutnya kamu tinggalkan, apa yang dirasakan oleh beliau? Seperti ketika
kita ada konflik kemarin, dan saya meninggalkan kamu, kamu bilang tidak suka
dilakukan seperti itu, kan? Padahal saya kembali. Saya hanya ingin kamu dingin,
tidak panas lagi. Kalau kamu ingin saya seperti itu, perlakukan sesuai dengan
apa yang kamu katakan. Jangan malah pergi dan tidak kembali lagi. Menghidar.”
Ungkapan suami saya masuk dalam
logika dan perasaan saya. Saya meluruh.
Keesokan harinya, selepas ke
sekolah, menyelesaikan mandat dari ibu kepala, kami mampir membeli es cincau di
lapangan Ringinpitu. Saya teringat dengan ibu dan bapak mertua di rumah.
“Mbak, minta tolong dibungkus
dua, ya.”
Suami saya tampak senang. Beliau
pun juga bertanya, memancing saya.
“Tak turunkan di rumah? Mas yang
mengantar esnya?”
“Tidak, Mas. Adik ikut
mengunjungi Ibu,” ucap saya.
Kami pun tiba di rumah. Ibu sedang
sangat repot dengan tugas ‘dinas’nya. Saya menyalimi tangan beliau. Dan beliau
hanya menerima es yang saya berikan, tergeletak di dekat tempat duduk ibu. Saya
berkisah, ini itu untuk memantik senyuman ibu. Namun sayang, ibu tidak
merespons saya. Muka beliau tetap masam. Bahkan saya merasa diabaikan, tidak
dianggap. Beliau merespons semua pembicaraan dengan suami saya, bahkan temannya
yang berkunjung. Namun beliau tidak merespons saya. Seketika, ketika beliau
keluar dapur, air mata menganak sungai di pipi. Saya menangis. Benar-benar
sangat sakit diperlakukan seperti itu, terlebih oleh ibu mertua.
Suami saya bingung. Dan beliau
memahami. Akhirnya, selepas pekerjaan sedikit membantu ibu rampung, beliau
mengajak saya pulang. Saya mengisahkan beberapa hal, dan meminta untuk tidak
dibahas lagi. Sebab sangat perih luka yang masih basah, kemudian digaruk-garuk.
Keesokan harinya, suami saya
mengisahkan tentang pertanyaan tetangga yang menanyakan saya kepada ibu. Ibu menjawab,
‘Sudah ke sini. Dia tadi mengajar di rumah. Tadi saya sudah dibantu.’ Itu jawab
ibu. Mas berkisah dengan semangat kepada saya tentang bagaimana ibu
memerlakukan saya. Namun semakin beliau berkisah, saya semakin perih.
“Mas, tolong jangan bahas itu
terlebih dahulu. Lukaku benar-benar masih basah. Adik mohon.” Saya meminta
kepada suami. Beliau seketika mengganti topik. Kami tetap menjalankan aktivitas
tanpa mengingat-ingat perkara itu.
Namun, jujur. Perih sungguh amat
perih ujian kali ini. Saya hanya bisa bersimpuh, memohon kepada Penguasa alam
semesta terhadap ujian saya. Saya meminta kelapangan, dan saya menerima semua
ini. Ini semua diujikan kepada saya, berarti saya memang benar-benar pantas
untuk berada di kelas ini. Hanya itu yang selalu saya dengungkan dalam pikiran.
Allah menjawab doa-doa saya,
melalui perantara suami saya. Beliau memang seorang lelaki yang memiliki nilai
romansa tertinggi yang pernah saya kenali.
Pagi tadi, ketika saya sedang
asyik masyuk membaca kamus Oxford Advance yang baru datang, beli online,
tiba-tiba bapak Blitar menelepon.
“Nanti tolong ke sini bisa?
Habis Dhuhur berangkat,” ucap beliau. Saya kaget. Tidak biasanya bapak meminta
saya untuk datang saat itu juga. Kekhawatiran melanda benak saya.
“Bapak ada apa? Mengapa kok
tiba-tiba sekali?”
“Datang saja. Bapak ada
keperluan, Nduk. Bisa kan? Tidak repot, kan?” tanya beliau.
Sebenarnya saya ada meeting hari
ini, tugas dari sekolah untuk mengikuti Zoominar, pelatihan penggunaan aplikasi
khusus yang digunakan untuk bahan ajar, dari National Geographic Learning pukul
13.00-16.00. Sebab tidak biasanya bapak mengatakan penting, bahkan jauh-jauh
memanggil saya untuk datang ke Blitar saat itu juga, akhirnya saya menyanggupi.
Selepas suami saya tiba di rumah,
setelah mengantarkan ibu mertua belanja, saya mengatakan kepada beliau bahwa
bapak menelepon, meminta saya ke rumah saat itu juga. Suami saya merespons
dengan gercep, beliau mandi, dan
ganti baju, menyiapkan bahan bakar untuk bekal ke Blitar. Sementara saya
persiapan, dan kami salat Dhuhur bersama.
Tiba di rumah Blitar, bapak
sedang makan siang, sedangkan ibu sedang rewang di rumah ketua RW sebab besok
akan ada acara Bersih Desa di Kelurahan Blitar. Bapak mengatakan,
“Sebentar ya. Tak habiskan
dahulu makannya.”
Saya mengangguk dan mengatakan
tidak apa-apa.
Setelah habis, selepas ibu tiba
di rumah, tiba-tiba bapak dan ibu mengajak saya berbincang, berempat dengan
suami saya. Saya berfirasat, ini akan ada sangkut pautnya dengan konflik yang
saya hadapi.
“Bapak, Ibu, dan Dik, ini saya
mohon maaf. Saya tadi menelepon Bapak, biar menelepon kamu, ke sini. Sebab saya
ingin kamu tahu, bagaimana posisi kamu dan Ibu.”
Saya cukup kaget dengan
pernyataan suami saya. Ternyata ini semua skenario beliau, untuk menyelesaikan
konflik ini.
Saya mengisahkan dengan air mata
bercucuran tentang bagaimana sikap ibu mertua terhadap saya di depan ibu dan
bapak. Saya mengutarakan beberapa pendapat yang tidak saya setujui dari suami
saya dan ibu. Saya mengisahkan seperti gadis kecil yang dirampas permennya
kepada bapak dan ibu, dua malaikat pelindung saya. Suami saya ikut menjelaskan
dalam perspektif beliau. Kami masih belum mendapatkan titik temu. Hingga bapak
menyampaikan,
“Nduk, kamu sudah dibekali
dengan ilmu. Ilmu yang kamu punya itu digunakan. Kamu bisa menghadapi konflik
macam apapun, melalui ilmumu. Sudah sekolah sedemikian tinggi, sudah dibekali
dengan begitu banyak, sepatutnya kamu lebih bijak dalam berpikir dan bertindak.”
“Dik, kamu tentu tahu. Ibu itu cuma
lulusan SD. Beliau semasa masih gadis cuma membantu kakung dan uti, itu
kehidupan sehari-hari beliau. Tidak heran jika sekarang, rezeki beliau dikais
dari berdagang. Kamu seharusnya bisa menempatkan diri, dengan siapa kamu
berinteraksi,” tambah mas suami. Air mata saya mengalir deras, menganak sungai.
“Sebagai anak, sebagai seseorang
yang sudah belajar sampai seperti itu, patut buat kamu untuk mengalah, Nduk. Mengalah
untuk tidak mengutamakan kebenaran menurut versimu sendiri. Kebenaran itu tidak
seharusnya diutamakan, namun bagaimana kita bisa menggapai titik bahagia, meski
dengan melalui pengorbanan mengalah, terlebih itu Ibumu sendiri,” tambah ibu.
Hati saya luluh.
“Mas pengin lihat bagaimana kamu
mengerjakan tesis dahulu, Dik. Ibu menunggui kamu, kamu dibelikan kue ini itu
biar semangat mengerjakan tesisnya. Ibu tidak masalah kan kamu tidak membantu?
Malah diperhatikan gizimu. Berpikir dengan keras, membutuhkan gizi yang baik.
Apa seperti itu bukan wujud sayang?” Tangis saya semakin menjadi. Saya menyadari
kekeliruan saya. Saya pengecut, saya lari dari masalah, menghindarinya, dan
tidak menyelesaikannya.
“Komunikasi itu penting, Nduk. Kalau
memang kamu tidak bisa membantu Ibu, kamu katakan. Perbaiki komunikasimu dengan
Ibumu. Itu kuncinya biar kamu tidak menahan perih sampai melukai dirimu
sendiri,” timpal ibu. Ibu malah membawa teori komunikasi. Sebuah teori yang
saya gunakan untuk suami saya. Di awal saya mengatakan itu kepada suami saya.
Dan kali ini, saya melanggarnya.
“Mengalah, Nduk. Kamu sudah
cukup ilmunya buat bekal kehidupanmu. Itu semua dipakai, jangan dibengkalaikan,”
Bapak menambahkan.
Perlahan, gumpalan awan hitam
yang selama ini bergelayut mulai pergi. Langit biru dan cerah, ditambah dengan
awan gemawan di langit hati mulai tampak. Saya merasakan kelegaan yang luar
biasa. Beban yang selama ini menyeret saya pada kedukaan perlahan pudar. Kami mengakhiri
percakapan itu, dengan saya menjabat tangan suami saya, meminta maaf kepada
beliau.
“Tahu kan bagaimana nasihat Ibu
dan Bapak di Blitar?” Beliau membuka percakapan ketika kami dalam perjalan
pulang. Saya mengangguk, dengan menekan dagu di bahu beliau.
“Mas melakukan itu sebab kamu
posisinya belum tepat, Dik. Makanya, karena kita yang selalu berbicara belum
menemukan titik terang, kamu yang selalu menekan keegoanmu, akhirnya Mas
mengalah. Mas meminta tolong Bapak dan Ibu untuk menyampaikan. Bagaimanapun,
beliau Bapak dan Ibumu, dua orang yang benar-benar memahamimu.”
Aku tercenung lagi, mengangguk.
“Jadinya kamu bertemu beliau
kan, bertemu Bapak, Ibu dan adik-adikmu?” Beliau terus berbicara, menunggu
respons saya.
“Kamu romantis, Mas. Terima
kasih,” ucap saya menyimpulkan surprise beliau hari ini.
Sepanjang perjalanan pulang, Mas
terus mengingatkan saya tentang kebaikan-kebaikan ibu mertua, sebagai wujud
bukti beliau mencintai saya. Sampai saya merasa malu telah berlaku seperti itu.
Mas juga menekankan nasihat ibu Blitar, tentang mengalah, dan tidak memburu
kebenaran versi ego yang selalu saya genggam dengan erat. Saya mendekap perut
buncit beliau, menahan dagu di bahu beliau, sembari menikmati kesejukan malam,
dan langit kelam yang cerah.
Saya memutuskan untuk
mengunjungi ibu mertua malam ini, dan menyelesaikan konflik ini. Terlalu lelah
menggenggam mendung kelabu ke mana-mana, padahal matahari ingin segera
memberikan cahaya yang membantu kehidupan dalam relung hati.
Saya pun sungkem kepada ibu
mertua. Meminta maaf kepada beliau. Beliau menagih janji saya, untuk merawat
beliau dengan penuh cinta. Beliau bahkan mengingatkan, bekerja keras seperti
itu, untuk mengasuh Mas suami dan saya. Kami yang dicarikan. Beliau juga
merasakan kepahitan sebab perilaku yang saya kerjakan. Beliau menangis. Saya
benar-benar meminta maaf kepada ibu mertua. Saya salah selama ini. Terlalu mengedepankan
ego dan dibutakan oleh kebencian. Padahal beliau amat sayang. Bahkan setiap
hari, selepas suami membantu ibu, ibu selalu membawakan sayur mayur untuk
makanan saya dan suami. Kebaikan-kebaikan itu terhijabi oleh kekotoran benci
yang merasuki relung hati saya. Saya bersimpuh, memohon maaf kepada ibu. Beliau
pun memaafkan, dan beliau saya dekap, saya cium, sebagaimana perlakuan saya
kepada ibu di Blitar.
“Bu, kalau saya nakal, mohon Ibu
berkenan mencubit saya.”
“Saya tidak berani mencubit. Biar
Ibunya di Blitar yang mencubit kamu,” ucap Ibu.
“Tapi Ibu juga Ibu saya.
Selayaknya seorang Ibu yang berani mencubit anaknya ketika mereka nakal. Ibu
adalah Ibu saya.”
Beliau tersenyum. Beban berat
itu pun, akhirnya terlepas, dari kami berdua. Kami membuka lembaran baru, dan
mengisinya dengan hal-hal baru, yang lebih cerah, tidak lagi kelabu.
Tulungagung, 09 Juli 2020
Kisah yg mengharukan.
ReplyDeleteTerima kasih Ibu Muslikah. Tapi memang untuk mendapatkan mutiara langka dan indah, membutuhkan pengorbanan yang tidak mudah, ya Ibu.
DeleteDowo
ReplyDeleteLain waktu direvisi bagian yang belum tepat ya Mamas suami tercinta. 😄
DeleteInsyallah semua akan indah pada waktunya Mba Zahra...saya punya cerita yang hampir tentang ketidakcocokan passion dengan mertua, tapi seiring waktu berjalan mutiara keindahan itu perlahan saya temukan. Dari situ saya banyak belajar, Dik...Harus sabar dulu nggih.
ReplyDeleteSaya punya sedikit cerita juga, boleh kita bertukar cerita lewat blog hehe
Terima kasih responsnya Mbak Eka, senior saya yang sangat inspiratif. Siap Mbak. Betapa indah ya kelokan kisah dalam berumah tangga. Saya ingin mendengar kisah Mbak Eka juga. 🥰
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteSaya ingin berbagi kisah juga sama Mba Zahra hehe
Deletehttp://blogane-ekasutarmi.blogspot.com/2020/07/memahami-kehendak-nya-sebuah-kisah.html
Salam kenal mb Eka. Mbrebes mili. Betapa pembaca bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh penulis. Dahsyat tulisannya.
ReplyDeleteSalam kenal Ibu Nur. MasyaAllah, terima kasih sangat atas respons Ibu dan apresiasinya. InsyaAllah kita berproses bersama dalam literasi ya Ibu. Senang mengenal Ibu dengan karya-karya Ibu yang luar biasa. 🥰
DeleteAlhamdulilah semua terselesaikan dengan baik... Emang mengalah itu diperlukan mbk...
ReplyDeleteTerima kasih.
Deleteluar biasa kekuatan tulisanya. pernikahan memang akan mempertemukan beberapa perbedaan yang nantinya akan menjadi pelangi yg indah. karena adanya perbedaan tidak membolehkan kita menyamakan satu dg yg lainnya karena itu sudah suratan Yang Kuasa. keren mb Zahra kisah mengharukan yang pasti akan sangat bermanfaat bagi banyak pasangan lain yang jg mengalami.
ReplyDeleteTerima kasih sangat, Ibu Zulva. Inggih Ibu. Amin. 🥰
Delete