Sahabat Rasa Saudara
Saya pernah mendengar ungkapan menarik ketika kuliah, yakni kita semua sedang belajar dalam universitas kehidupan. Dan seluruh manusia yang kita temui merupakan dosen serta staf dalam universitas tersebut. Saya sangat tertarik dengan ungkapan itu menilik saya gemar sekali membahas sesuatu yang dihadirkan oleh hidup.
Detik berganti, bulan berlalu. Pengelanaan saya menggiring saya untuk mengenal orang-orang yang lebih banyak, dengan masing-masing karakter yang berbeda. Saya mendapatkan banyak sekali pengalaman dan pengajaran. Kebahagiaan dan kedukaan datang silih berganti. Saya kagum kepada beberapa orang yang dikirimkan untuk menjadi pendidik saya dalam hidup. Salah satu yang terbaik dari yang paling baik adalah suami saya. Satu pertimbangan saya memilih beliau menjadi suami adalah karena beliau orang yang matang, dewasa, dan mampu melampaui pemikiran saya. Kepahitan hidup yang beliau alami, pengalaman beliau di masa lalu, membentuk beliau menjadi orang yang bijak. Saya mengagumi beliau. Dan dengan modal keyakinan, saya memilih beliau. Sebab rasa tenang dan sebagian besar logika saya bisa dipatahkan dengan argumen sederhana beliau.
Dalam kehidupan kami, saya dikenalkan dengan teman-teman beliau. Beliau pernah menapaki dunia yang belum pernah saya mendapatkan pengalaman di sana. Dan dari teman-teman Mas, saya mendapatkan banyak sekali pengajaran. Pengajaran tentang kehidupan yang begitu indah dan menyejukkan. Sesuatu yang bisa diterima oleh pemikiran saya, sekaligus hati saya.
Salah satu sahabat terbaik yang dimiliki oleh Mas suami adalah Mas Tomi. Saya dahulu benar-benar membenci Mas Tomi sebab perangai dan perkataannya kasar. Saya tergesa-gesa menyimpulkan, padahal dia adalah sahabat terbaik yang dimiliki oleh suami. Sedangkan seharusnya dalam mengenal saya mencurigai mengapa orang seperti Mas Tomi bisa menjadi sahabat terbaik suami saya? Bukankah dalam melihat seseorang, patut bagi kita untuk melihat dengan siapa dia berkawan?
Di bulan Juni ini, Mas Tomi cuti. Otomatis dia pulang ke Tulungagung. Dari Manokwari pulang ke Tulungagung. Memang cukup berbahaya pulang di masa pandemi seperti sekarang. Namun dari perusahaan, Mas Tomi sudah menjalani rapid test sebanyak tiga kali dan masing-masing dikerjakan di Sulawesi, Surabaya dan Tulungagung. Hasilnya negatif. Kemudian dia menjalani karantina mandiri.
Saya berusaha untuk mengenal secara langsung sahabat suami saya. Sebab selama ini, saya cukup bisa beradaptasi dengan teman-teman Mas. Dan karena dia sahabat suami, saya ingin mengenal dengan baik.
Kesan pertama, kami cukup canggung. Saya juga canggung sebab tidak ada obrolan. Akhirnya, kami, suami saya, saya dan Mas Mbul sering ngopi bareng keluar. Lewat pertemuan-pertemuan itu, saya mendapati sosok Mas Tomi yang lain. Dia hampir mirip suami saya. Orangnya easy going, santai, konyol, royal dan tentu membuat saya terpingkal-pingkal. Dalam pikiran saya, saya langsung mencubit diri saya sendiri. Bahkan sering, Mas suami menggoda sekaligus menyindir, “Masih benci sama Tomi? Masih bilang orangnya kasar?” Ketika dengan lembut si Mas berkata seperti itu, saya langsung menyerah, minta maaf kepada Mas suami sudah memandang dengan satu mata.
Hari berganti hari. Kami masih sering ngopi, nongkrong bareng dan bahkan main-main ke pantai. Kemarin, Mas Tomi ada tugas ke Surabaya. Suami saya diajak untuk mencari mobil sekaligus sopirnya. Dengan pertimbangan yang banyak, Mas suami menyarankan Mas Indri, senior di Kalidawe, tempat KKN Mas suami dahulu yang sudah menjadi saudara beliau. Malam hari, Mas Indri datang ke gubuk kami, sembari membawa mobil. Tidak lama, Mas Tomi datang membawa motor Mas. Kami berbincang seru. Ternyata ada salah satu rekan kerja Mas Tomi yang perlu dijemput di Trenggalek. Akhirnya, Mas Indri dan Mas Tomi mengajak saya jalan-jalan dahulu ke Trenggalek. Sebab Mas Indri minta Mas suami menemani ke Surabaya.
Sebelum itu, Mas Tomi juga pernah berjanji untuk membelikan jam tangan couple untuk suami dan saya. Sebelumnya, Mas suami pernah dibelikan jam, entah saya lupa brandnya apa. Yang jelas, itu bukan barang murahan. Saya paham selera Mas Tomi. Dan sebelum kami berangkat, Mas Tomi memberikan jam tangan untuk kami. Saya berterima kasih sangat untuk itu.
Sebab ukurannya yang terlalu besar di pergelangan, saya akhirnya bilang Mas suami untuk memotongkan jam. Mas Tomi ternyata menawarkan diri untuk memotongkan. Dia ternyata serba bisa. Akhirnya jam kami sudah pas dan siap pakai. Dia yang membelikan, dia yang memotongkan. Saya merasa gemas sendiri dengan hal tersebut.
Meski beberapa hari di sini, kehadiran sahabat dari suami saya memberi banyak pengajaran. Saya sering membicarakan tentang pemikiran saya yang sepihak kepadanya. Saya mengelak ketika Mas suami mengatakan ‘Kamu belum kenal Tomi'. Saya benar-benar masih belia untuk memahami kehidupan. Dan dari mereka, saya belajar.
Mas Tomi pernah merasakan kepahitan hidup yang sangat mengerikan. Begitu getir dan membuat saya larut dalam kisah yang disampaikan. Semua mengalir dari masalah keluarga, keuangan, pertemanan, tawuran, main-main ke klub malam, melancong ke Jakarta sampai Papua. Saya sungguh kagum dengan pengalaman tersebut. Dari membenci, saya menjadi kagum. Sungguh benar ungkapan ini. Jangan terlalu membenci sesuatu, sebab lain waktu kita jadi mengaguminya.
Waktu bergulir, dan kini Mas Tomi sudah berangkat ke Surabaya. Saya mendapatkan info dari Mas, yang sering menyebut Mas Tomi dengan panggilan beb dan pacar itu, bahwa dia sudah menjalani rapid test, menunggu hasil saja.
Mas tampak sedikit murung. Bahkan sepertinya Mas kehilangan sahabatnya. Saya saja yang bukan siapa-siapa merasakan kehadiran Mas Tomi, meski sesaat dan baru saja saya mengenalnya. Terlebih suami saya.
Hari ini tidak seperti biasanya. Beliau meminta saya untuk menemani beliau di warung. Saya ikut saja. Sebab nilai rapor sudah rampung, dan tinggal menunggu proses input nilai khas. Tampak dalam sorot mata suami saya merindukan sahabatnya. Dia harus kerja, mengais modal untuk hidup, di pulau nun jauh.
Saya hanya diam menatap kisah ini. Sembari ditemani rintik hujan yang membasahi bumi Tulungagung. Mungkin sebasah ini hati suami saya.
Comments
Post a Comment