Ketika Idealisme Takluk pada Realita
Entah kejutan apalagi yang hendak Allah berikan kepada saya. Selepas usaha yang pernah saya kembangkan, pun doa yang saya panjatkan tiada henti, saya sangat meyakini bahwa Allah Maha Mendengar doa, Mahakuasa, Maha menentukan. Saya memiliki cita yang tak kunjung padam, yakni seseorang yang berkutat dengan ilmu sepanjang waktu. Seseorang yang mengabdikan kehidupan dan dirinya kepada umat melalui ilmu. Seseorang yang ingin memiliki lentera dalam kehidupan di dunia dan pasca kematian dengan ilmu. Namun, sekali lagi, saya hanya mampu meminta. Selepas usaha yang saya lakukan dan selepas doa-doa yang saya panjatkan, saya memang harus menerima realita. Sebuah realita yang mungkin membelok dari tujuan awal sebagai akademisi. Sebuah realita yang mengikat saya kepada suatu kontrak seumur hidup. Sebuah realita bahwa saya membutuhkan finansial, membutuhkan waktu, cinta dan kasih sayang untuk mengayomi keluarga, membutuhkan kesadaran untuk mengesampingkan keegoisan diri dan mengabdi kepada suami serta anak-anak kelak, menjadi istri sekaligus ibu.
Ada rasa tidak adil yang saya
rasakan sebagai seorang perempuan. Mengapa saya tidak diizinkan meraih
mimpi-mimpi itu? Salahkah jika seorang perempuan mengabdikan diri kepada
keilmuan? Bukankah sudah saya temui banyak sekali sosok figur perempuan yang
bahkan menjadi ratu dalam sebuah kerajaan megah? Tribhuwana Tungga Dewi,
misalnya. Sayangnya, saya tidak memiliki referensi kisah beliau tentang
bagaimana beliau mengurus suami dan anak-anaknya. Ataukah mungkin seperti ciri
khas ratu-ratu, bahwa beliau menyerahkan tugas asuh kepada pengasuh kerajaan? Namun
realita menampar saya bahwa saya bukan ratu. Saya hanya perempuan biasa yang
memiliki idealisme tak kunjung padam tentang mimpi dan idealisme itu cukup
sulit dipertemukan dengan realita yang saya hadapi.
Menjawab seluruh kegundahan
tersebut, bukankah sepatutnya saya sangat bersyukur? Saya telah didapuk dalam
sebuah instansi yang akan menjadikan saya sebagai pegawai tetap dengan tingkat
kesejahteraan yang sangat menggiurkan. Lantas, sebenarnya apa yang hendak saya
capai? Apa yang sebenarnya saya inginkan? Apakah saya ingin prestise
masyarakat? Apakah saya sedang menggilai kehormatan dan nilai yang dipandang
masyarakat? Ataukah saya gundah dengan doa dan harapan orang tua yang tiada
henti dipanjatkan setiap malam? Ilahi, mengapa pikiran-pikiran itu begitu
berat, menumpuk menjadi satu.
Saya memiliki banyak sekali
mimpi. Saya ingin melanjutkan studi di sebuah universitas tinggi, abroad, melanjutkan jenjang studi
selanjutnya. Beberapa projek sudah saya cicil untuk persiapan hal tersebut. Namun,
setiap suami mengatakan, bagaimana dengan anakmu kelak? Rasa hati kembali
tersayat. Kepala terasa pening dan pusing. Apakah saya memang memikirkan itu
semua sehingga rasanya kepala seperti ditimpuk sesuatu yang cukup berat?
Saya kembali merevisi tujuan
hidup saya. Saya ingin memberikan kontribusi dalam hidup. Itu sudah final dan
tidak perlu mendapatkan negosiasi apapun dari hal-hal lain yang datang kepada
hidup saya. Sebab, Allah tentu memiliki tujuan mengapa kita dihidupkan. Saya mengingat
nasihat Abah Wakil Rektor III IAIN Tulungagung, Dr. Abad Badruzaman, Lc, M.Ag
ketika saya ikut menjadi mahasiswa selundupan dalam kuliah filsafat teman-teman
AFI S2, yakni ‘Ikutlah berkontribusi dalam projek peradaban. Meski sebutir
kerikil yang bisa kita berikan, itu lebih baik. Tetap usahakan terus
berkontribusi untuk umat.’ Beliau adalah Abah kami, mahasiswa IAIN Tulungagung.
Jelas keilmuan saya juga bersanad dari beliau. Maka, sedikit banyak arah
pemikiran saya mengikuti beliau, dan saya benar-benar ingin merealisasikannya. Lantas,
apakah satu-satunya cara untuk berkontribusi adalah dengan jalan menjadi
akademisi? Itu yang terus berputar-putar, tidak mau berhenti.
Ada beberapa resiko jika saya
menjadi pegawai tetap. Pertama, saya memiliki kontrak seumur hidup di sana,
bertandatangan di atas materai Rp6.000,00. Itu berarti, saya terikat hukum dan
secara langsung, saya tidak bisa melanjutkan mimpi-mimpi yang pernah saya rajut
dengan rapi dahulu. Namun, hasil yang akan saya terima dari segi finansial
mampu sedikit banyak menyamai apa yang ingin saya raih. Pun, saya mendapatkan
tunjangan pendidikan untuk anak, sehingga saya yang akan menjadi seorang ibu akan
mengawasi langsung tumbuh kembang anak. Saya tidak akan menghabiskan waktu
banyak untuk projek-projek kenaikan pangkat sebagaimana seorang akademisi. Waktu
untuk keluarga akan mendapatkan prioritas. Dan kemungkinan, saya bisa meraih
karier sekaligus keluarga.
Dalam pertimbangan kasar saya
yang lain, jika saya memilih untuk berhenti, itu berarti saya menunggu sesuatu
yang belum pasti. Memang, manusia selalu membutuhkan kepastian. Dalam hal ini,
saya pun yakin, jika bekerja dengan penuh kesungguhan dan kerja keras akan
memberikan hasil yang luar biasa pula. Namun jika prioritas karier saya
utamakan, bagaimana dengan keluarga saya? Apakah saya bisa memberikan prioritas
kepada keluarga? Hidup untuk apa jika keluarga saya cukup berantakan? Belum lagi
ada kesibukan ini itu. Saya sangat yakin, saya bisa meraih apa yang saya
impikan, namun dengan resiko yang sangat mahal, keluarga yang menjadi taruhan.
Dari sini, saya mendapati mengapa
sangat tidak adil menjadi perempuan? Toh jika kami saling berbagi tugas, dan
saya disibukkan dengan karier, ada rasa kehilangan momentum bersama anak. Sedangkan
anak adalah amanah, dan saya benar-benar ingin mendidik anak menjadi seseorang
yang lebih dari kami, kedua orang tuanya, baik dari segi dunia maupun akhirat. Bagaimana
saya mendidik anak jika saya disibukkan dengan kegiatan lain?
Di sinilah, saya mulai menjabat
mimpi-mimpi saya. Saya berterima kasih kepada mereka, sebab menjadikan saya
seorang idealis yang selalu membidik hal-hal dalam hidup. Berkat mereka pun,
saya sudah menjelajahi dunia baru yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Saya
mendapatkan ilmu baru, guru baru dan tentu, relasi baru.
Saya akan berdamai dengan
realita. Realita yang memberikan banyak sekali kejutan indah dan bermakna. Saya
sangat mengamini, apapun yang terjadi dalam hidup saya, tidak lepas dari
pengawasan dan ketentuan Allah. Jika Allah sudah memilih, maka itu adalah
pilihan terbaik. Akan ada banyak sekali hikmah indah di balik ini semua. Nasihat
suami juga masih terngiang, jika saya memasuki instansi baru ini, meski saya
tidak menjalani hidup sebagaimana mimpi-mimpi saya, maka saya akan mampu meraih
target-target yang memiliki kemiripan dengan impian saya. Entahlah, apakah itu
sebuah dogma, atau sebuah doktrin kepada saya, namun saya tetap harus memilih
dan terus merangkul realita.
Dipikir-pikir lagi, apa yang
hendak saya cari? Saat saya membutuhkan naungan untuk mengabdikan ilmu, Allah
langsung membukakan jalan. Ketika saya membutuhkan rumah yang terpisah dengan
mertua, Allah langsung memberikannya, rumah dari ibu mertua, khusus untuk suami
dan saya. Ketika saya membutuhkan sosok imam yang bisa memahami saya sepenuh
hati dan jiwa, Allah kirimkan Mas suami, seseorang yang bahkan melebihi
ekspektasi saya. Maka, apakah saya kurang bersyukur? Apakah berat menerima
ketentuan Allah dengan mensyukurinya?
Baiklah, atas apapun yang terjadi
dalam diri saya, saya akan meletakkan segalanya kembali kepada-Nya. Tidak mungkin
saya dikirimkan kepada suatu tempat, di tengah-tengah suatu kaum, tanpa Allah
memberikan hikmah terindah di baliknya. Untuk kedepannya, kejutan lain yang
Allah siapkan kepada saya, biarlah itu tersembunyi dalam tabir takdir, dan
biarlah kehidupan ini berjalan sebagaimana mestinya. Atas apapun pilihan yang
ditentukan, semoga itu menjadi jalan meraih berkah dan cinta dari-Nya. Pun,
bukankah kontribusi tetap bisa digencarkan, meski melalui jalan yang cukup
berbeda.
Kita datang di dunia ini atas
titah dan ketentuan-Nya, dan kepada-Nya pula, kita akan kembali. Semoga pilihan
ini bisa menjadi jalan terbaik dalam hidup kami dan keluarga kami.
Menginspirasi mbak zahra... alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Mas. ☺
Delete