Kontemplasi





Entah bagaimana hidup ini berlangsung, apabila kita tidak memiliki sandaran dan pedoman dalam menjalaninya. Membayangkan teks-teks agama tidak ada, rasanya begitu mengerikan. Jika teks keagamaan saja masih ada, ternyata manusia banyak yang memilih jalan bebas haluan dan hambatan, terlebih jika tidak ada.

Tentu kita juga tidak dapat menjamin jika teks agama mampu dipahami secara utuh dan tepat. Sebab ada banyak cabang-cabang aliran dalam satu agama. Seperti menyusuri jalan. Begitu banyak cabang, meski tujuan kita sama. Layaknya hidup memang seperti itu.

Saya sendiri mengakui bahwa saya adalah seorang hamba yang lemah tiada daya. Terutama untuk hal ihwal hati dan perasaan. Mindset saya terlanjur dipatok dengan saya hidup dari, oleh dan untuk cinta. Jika cinta yang sudah menjamah serta mengobrak-abrik istana hati, kemungkinan besar ia akan luluh lantah. Dari beberapa pengalaman, saya mengalami itu.

Proses yang paling menyedihkan adalah ketika saya dalam tahap penulisan tesis. Terlampau idealis, akhirnya saya mengambil judul di luar kemampuan. Sebab saya begitu yakin kepada diri saya sendiri, bahwa saya mampu. Mana ada sesuatu yang tidak mungkin jika dikerjakan dengan kesungguhan? Namun ternyata, realita berkata lain. Saya terjatuh dalam jurang keputusasaan. Hidup seakan menyeret paksa saya untuk berada di titik nadir. Saya tidak peduli lagi dengan semua mimpi yang telah terajut rapi. Benang-benang yang sudah dipintal itu, dengan segera saya usut kembali. Tercerai-berai, berantakan. Sangat berantakan.

Semua itu bermula dari kepatah hatian saya kepada sosok yang saya yakini mampu membangun saya menjadi sedemikian rupa. Saya menemukan jati diri yang ternyata masih bersembunyi dari bayang-bayang beliau. Saya belum bisa berdiri menggunakan kaki saya sendiri. Saya masih butuh dipapah dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan kejutan-kejutan.

Sebab saya mengalami kekecewaan, lantas saya mengadu diri dengan nasib dengan Tuhan. Tuhan yang mulanya begitu lekat saya imani, ternyata tega mengambil seseorang yang sangat saya butuhkan. Mengapa kisah saya harus seperti itu? Setitik saja, mungkin saya sudah menggapai semua yang terbakar dalam ambisi. Namun ternyata skenario-Nya berkata lain. Saya memutar haluan.

Yang mulanya dikenal sebagai seseorang yang cukup agamis, saya berbalik arah. Saya ingin mengenal dunia lebih lekat. Saya ingin menemukan misteri kehidupan, hingga saya menemukan jalan dengan lantaran buku dan filsafat. Saya ingin menapak pada sisi gelap yang belum pernah saya datangi. Hingga semua pencarian makna kehidupan itu berujung pada kekosongan, kehampaan. Ruang duniaku menjadi begitu sempit dan sesak. Saya terlalu bebas.

Titik tertinggi yang pernah saya raih, kehormatan, kecantikan, kepandaian, kemolekan, kesantunan dan kesalehan perlahan memudar. Kala itu, mana saya peduli? Apa peduli manusia dengan kehidupan saya? Padahal, bangunan itu sudah megah berdiri. Memberikan decak kagum kepada siapa saja yang menoleh.

Saya hancur. Sayangnya, kehancuran itu datang ketika saya harus benar-benar berjuang mengerjakan tesis. Studi saya terdampak. Relasi sosial saya terkena imbas. Terlebih, masalah datang bertubi-tubi. Ada fitnah yang begitu kejam disemburkan oleh salah satu teman di kampus. Dan itu menambah saya penuh dengan tekanan. Saya tidak tahu, ke mana harus mengayunkan arah. Sedangkan semua pintu tertutup. Keremukan mencekam. Keretakan hati berada di mana-mana.

Dalam jurang keputusasaan, sajadah terbentang. Tidakkah malu jika saya harus kembali kepada-Nya? Bukankah jika kita datang merangkak kepada-Nya, Dia datang berjalan? Bukankan jika kita berjalan menuju-Nya, Dia berlari? Dengan baluran rasa malu yang teramat sangat, saya menunduk, berpasrah sepasrah-pasrahnya. Kepada siapa lagi saya menggantungkan semua himpitan ini jika bukan kepada-Nya? Siapa lagi Zat yang menjadi sandaran tiap hamba jika bukan Rabb?

Perlahan, kelapangan menyusup dalam kalbu. Gelap yang merajai hati terusir oleh kemurahan-Nya. Kehidupan yang tadinya porak-poranda, kembali mendapatkan momentumnya. Saya kembali bangkit, secara perlahan. Kala itu juga, Allah mengirimkan suami untuk saya. Seorang suami yang sangat sabar menghadapi saya. Suami yang lebih sering mengerti dibanding dengan ketidakpedulian. Suami yang kepadanya, saya rela lahir batin menyerahkan diri.

Kami berkomitmen, dan tesis saya rampung dalam kurun dua bulan. Sebuah tesis setebal kurang lebih mendekati angka 600 halaman berhasil saya rampungkan. Sebab studi saya adalah Discourse Analysis, maka data saya sudah tersedia dari dokumentasi. Saya tidak memerlukan penjadwalan dengan instansi di lapangan.

Kisah itu begitu manis. Saya berhasil rampung, biidznillah dengan bantuan batin dan moral dari Mas. Saya mulai melakukan kesalahan yang hampir sama. Entah ini murni kesalahan saya dalam mencintai, atau memang ketika saya mencintai, saya akan benar-benar melakukannya dengan sepenuhnya.

Padahal telah tersebar sebuah rumus hidup yang diformulasikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau pernah mengalami segala kepahitan dalam hidup, dan bahwa dari semua kepahitan itu, berharap kepada manusia adalah yang paling pahit.

Saya mencintai suami saya. Saya benar-benar mencintai beliau. Dalam kisah cinta ini, ada banyak sekali harapan yang saya tuangkan kepada beliau. Saya menganggap beliau adalah seorang malaikat, bukan manusia. Sebab Mas memang seseorang yang sangat memanjakan saya. Saya benar-benar bahagia menjadi istri beliau.

Dalam hidup, tentu saja semua hal diciptakan berpasang-pasangan. Jika ada kebahagiaan, di situ ada kekecewaan. Kadang saya terlalu berharap beliau selalu memahami segala gundah hati saya. Saya terlampau egois. Bahkan jika dibalik, apakah saya bisa memahami beliau, membahagiakan beliau? Jika membahas ini, air mata berlinang. Sebagai seorang pecinta, tentu saya akan sangat merana jika suami saya merasakan sakit. Lebih sakit lagi jika ternyata saya melihat seseorang yang saya cinta terluka. Itu adalah perkara yang lebih menyakitkan dari apapun.

Dalam hal ini, saya mulai merenungi. Hidup membutuhkan berbagi dan komunikasi. Saya ingin hidup ini berjalan dengan baik dan menuai kebaikan. Atas apapun yang telah terjadi, semoga saya bisa memetik hikmah indahnya. Bukankah Allah telah memberikan semua yang saya pinta? Bukankah semuanya sudah terbaik?

Berkontemplasi adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk merenungi kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa agar hidup ini menuai makna. Pun, dalam hidup, kita membutuhkan sandaran yang bersifat transenden. Kepada siapa kita meminta jika bukan kepada-Nya? Kepada siapa kita kembali jika bukan kepada-Nya?


Comments