Perjuangan



Pagi ini, saya memulai hari dengan sajian yang sangat istimewa. Sebab semalam begadang mengerjakan tugas lemburan hingga larut, akhirnya saya bangun kesiangan. Suami tidak membangunkan sebab beliau mafhum bahwa saya sedang libur salat dan beliau mafhum mungkin saya kecapaian. 

Ketika saya membuka mata, cahaya matahari sudah menembus, mengusir pekat di kamar. Saya melihat suami sudah tidak ada di samping. Sembari mengumpulkan nyawa, saya menatap pintu ruang dapur terbuka. Cukup kaget sebab ternyata suami sudah masak. Ada rasa malu sekaligus bahagia. Meski Mas tidak mempelajari feminisme, tapi beliau mempraktikkan nilai-nilai tersebut.

Memasak bukan hanya pekerjaan perempuan. Terlebih jika perempuan dan laki-laki berbagi peran dalam karier. Kami pun juga berbagi peran dalam perkara rumah tangga. Misal jika saya mencuci baju (dengan mesin cuci tentunya), Mas yang menjemur, nanti setelah kering saya yang melipat. Atau misal saya yang memasak, Mas yang cuci piring. Begitu seterusnya. Namun tidak berarti pula saya tidak menyukai memasak. Bagi saya, memasak adalah hal yang sangat menyenangkan. Terlebih ketika melihat suami sangat lahap menyukai hasil masakan. Dalam segi psikologis memasak memberikan dampak positif untuk saya pribadi.

"Mandi dahulu sana," ucap beliau ketika saya berdiri mendekap beliau. 

"Terima kasih, My Big Baby." Saya tersenyum nyengir dan segera mengambil handuk untuk mandi.

Selang beberapa menit, beliau sudah menunggu di ruang makan. Makanan sudah tersaji, dan Mas menyuapi saya. Bunga-bunga seperti mendapatkan momentumnya untuk bermekaran di hati. Saya bersyukur memiliki beliau. Selepas itu, kami bersiap, berangkat untuk mengunjungi ibu di rumah utara. 

Pagi ini sudah dimulai dengan hal yang baik. Maka saya ingin menghabiskan hari dengan hal-hal yang produktif. Menindaklanjuti pilihan hari saya untuk menulis tulisan wajib di hari Kamis, kali ini saya ingin sedikit membagikan hal-hal yang saya dapatkan dari mengikuti agenda Serial Medayoh Online dengan narasumber Bapak Dr. Naim tadi malam. Sebab, ada banyak hal baru yang saya dapatkan dari agenda tersebut.

Bapak Naim memulai dengan menyebutkan trilogi penting dalam menulis, yakni pertama Keyakinan, kedua Pengetahuan dan ketiga Tindakan. Keyakinan mampu melampaui keterbatasan. Sebab jika seseorang sudah meyakini bahwa ia mampu menulis, ia mampu menembus media nasional bahkan internasional, ia akan benar-benar mampu menembusnya. Saya sangat mengamini ungkapan tersebut. Kita harus bisa melatih diri sendiri, memaksa diri sendiri untuk percaya bahwa kita pasti bisa. Sebab disebutkan bahwa There is a will, there is a way. Dan hal tersebut bukan hanya sebuah isapan jempol belaka. Melainkan sudah dipraktikkan dengan berdarah-darah.

Salah satu cara kita mampu menulis, poin pertama adalah yakin. Sebab, whether you think you can or you can't , you're right. Kita manusia digiring dengan pola pikir kita, mindset kita. Apa yang kita pikirkan, secara sadar atupun tidak akan menggiring kita untuk melakukan sesuatu. Jika dalam diri sudah ditanamkan sikap yakin, maka tindak-tanduk, behavior yang kita lakukan berhari-hari akan memberikan jalan untuk menggapai tujuan. Oleh sebab itu, penting sekali untuk menanamkan keyakinan dalam diri ketika hendak menulis.

Kedua adalah pengetahuan. Pengetahuan, bagi saya adalah segalanya. Hidup bisa lebih mudah jika kita memiliki pengetahuan. Misalnya saja, ketika kita hendak melakukan perjalanan abroad, alangkah baiknya jika kita memelajari Cross Cultural Understanding untuk memahami budaya daerah yang akan kita tuju. Tiba di sana, ketika kita telah menggenggam pengetahuan, hal itu akan jauh lebih memudahkan dibandingkan dengan kita yang belum tahu apa-apa terhadap budaya serta kehidupan baru, baik di bagian iklim, makanan dan gaya hidup. Hal itu akan sangat jauh berbeda jika kita tidak memiliki modal pengetahuan untuk melancong ke sana. Oleh sebab itu, pengetahuan adalah hal mendasar yang dibutuhkan manusia untuk survive di tengah kehidupan.

Demikian dengan menulis. Mari kita memenuhi pengetahuan tentang literasi. Apa saja kiranya yang kita butuhkan untuk menulis? Dr. Naim memberikan contoh di bagian ini dengan jargon, skripsi yang baik adalah skripsi yang jadi. Sespektakuler apapun, jika sebuah karya hanya masih sebatas konsep dalam pikiran, maka sebenarnya ia belum baik. Jika sesuatu sudah jadi, maka itu lebih baik. Semakin banyak pengetahuan yang kita terima, maka semakin baik pula. Wawasan semakin luas. Semakin banyak sudut pandang yang bisa kita gunakan untuk melihat satu objek. Dan keindahan lain akan kita terima jika kita mampu menemukan sudut lain dalam melihat objek yang sama sekalipun.

Trilogi ketiga yang disampaikan oleh Dr. Naim adalah tindakan. Jika kita seorang penulis, maka kita harus menulis. Mana ada penulis yang tidak menulis? Jadi, meski kita memiliki keyakinan mendalam, pengetahuan yang banyak, jika tidak diberi sentuhan tindakan, rasanya tidak mungkin sebuah karya akan terlahir. Saya benar-benar mengamini ungkapan beliau. Sebab action adalah penentu akhir yang melahirkan karya tulis.

Di era milenial seperti saat ini, menulis bisa dilakukan dengan media apa saja. Dr. Naim memberikan contoh menulis buku dari media WA Story. Beliau sengaja memberikan nomor di setiap paragraf esai yang beliau tulis untuk memudahkan pengumpulan dokumen selanjutnya. Inovasi yang beliau miliki benar-benar patut untuk diteladani.

Selain beberapa poin di atas, hal lain yang menjadi catatan saya adalah kisah perjuangan Dr. Naim dan Bapak Maghfur selaku moderator dari Kampus Desa Indonesia. Ternyata keduanya adalah sahabat lama yang menjadi saksi hidup perjuangan berdarah-darah beliau berdua di masa lalu. Dr. Naim tidak dilahirkan dari keluarga akademisi. Oleh sebab itu, beliau adalah seorang yang memulai semuanya dari nol. Dr. Naim bahkan dahulu sempat babak belur sebelum artikel beliau berhasil menembus media Jawa Pos. Dr. Naim selalu mengirimkan artikel dua minggu sekali, selama kurang lebih satu tahun. Jika dikalikan sudah berapa jumlah artikel tersebut? Dan selama kurun waktu tersebut tidak ada satu pun artikel beliau yang diterima. Hingga suatu waktu beliau mendapatkan telepon bahwa artikel beliau diterima. Perjuangan seperti itu, dapatkah kita mengikutinya?

Kemudian juga ketika beliau memiliki naskah buku. Dr. Naim berkali-kali ditolak penerbit. Beliau menyebutkan dengan guyonan khas beliau, jika beliau punya malu, maka beliau tidak akan mengirimkan lagi, Namun ternyata, sebab keyakinan serta semangat yang beliau miliki, beliau berhasil menembus penerbit dan menjadi sosok yang benar-benar luar biasa seperti sekarang. Dan jangan dikira beliau tidak menulis artikel jurnal. Apakah meskipun mungkin catatan yang beliau bagikan setiap hari kepada kita dapat dikategorikan sebagai sebuah catatan yang sederhana untuk kemudian beliau juga harus memamerkan artikel jurnal ilmiah dan buku serius yang beliau tuliskan? Bahkan untuk tahun ini saja, ada tujuh tulisan yang dikembalikan kepada beliau. Beliau tidak menyebutkan berapa jumlah yang diterima. Saya langsung mengerdil ketika beliau menyampaikan itu. Sebab projek ini itu selalu kalah dengan urusan-urusan pribadi dan alasan-alasan lain. Padahal kita tahu, let's stop making excuses. 

Banyak sekali hal menarik yang disampaikan dalam acara tersebut. Salah satunya adalah ketika ada yang mengatakan 'mengapa tidak menulis di media berbayar?' Atau ketika membimbing menulis tidak dipatok honor? Prestise honor dan kenaikan pangkat memang penting, namun ada juga hal-hal lain yang lebih penting. Dr. Naim menyampaikan bahwa dengan menulis, beliau menjadi memiliki banyak teman, banyak relasi. Dan dengan membantu orang lain, hal tersebut bisa membuat beliau lebih bahagia. Bukankah jika kita membantu sesama, maka Allah Swt akan membantu kita?

Dari beberapa paparan di atas, maka, apakah kita masih berkenan untuk mempertahankan alasan-alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam berkarya? Mari kita mulai dari yang paling sederhana. Beliau memberi contoh, tidak perlu banyak-banyak. Cukup 5 paragraf sehari. Setahun sudah mendapatkan berapa paragraf kira-kira? Bagaimana jika kita disibukkan kegiatan lain? Soal sibuk, sebenarnya hal itu adalah soal prioritas. Dr. Naim menyampaikan, meski kita menganggur sekalipun, sangat mungkin kita tidak jadi menulis. Sesibuk apapun, jika memang kita memberikan prioritas dalam menulis, kita akan menulis. Beliau juga menegaskan bahwa apa yang saya peroleh di masa depan tergantung dengan apa yang saya tanam sekarang. Hidup tidak hanya melulu diwakili dengan rasional dan pragmatis. Namun sisi kebermanfaatan dalam setiap isi tulisan, biarlah orang lain yang menilai.

Dr. Naim, dalam pandangan saya mengamalkan petuah dari Gus Dur, yakni sibuklah menanam kebaikan, tanpa menghitung-hitung apa yang akan kita dapatkan kelak. Setiap tulisan selalu memiliki masanya sendiri-sendiri. Beliau memberi contoh ayah dari Gus Mus, yakni Kiai Bisri Mustofa. Beliau menulis karya dengan judul Imamuddin yang merupakan karya fikih level dasar, dan terbit di tahun 1957, namun karya itu masih eksis hingga sekarang. Meskipun Kiai Bisri telah wafat sejak tahun 1979. Usia keilmuan beliau mampu menembus ruang dan waktu.

Dr. Naim juga memberikan contoh untuk membuat To Do List setiap hari. Membagi waktu dan mencatat kegiatan apa yang sekiranya akan dihabiskan di hari tersebut. Ini adalah hal yang berusaha saya praktikkan, meski belum tiba di level harian.

Ada banyak ilmu-ilmu baru yang saya dapatkan dari pertemuan tadi malam, bersama bapak ibu dosen yang berlatar dari berbagai macam kampus di seluruh Indonesia. Merupakan sebuah kesempatan emas untuk saya sebab diperkenalkan kepada beliau-beliau.

Semoga beberapa rangkuman dan sari-sari ilmu yang berhasil saya jaring bisa menuai kemanfaatan. So, will you write anything right now?


Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih kembali sebab menjadi inspirator terbaik untuk saya, Bapak Naim.

      Delete
  2. Yah, sayang sekali saya enggak sempat ikut berpartisipasi dalam program kelas online karena sinyalnya yang tidak mendukung. 🤧

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga sinyal tidak menjadi kendala mengais ilmu ya Bang. Pasti ada banyak buku-buku Njenengan yang menunggu dibaca dan diresensi, hehe

      Delete
  3. Replies
    1. Terima kasih, Bapak. Namun belum ada apa-apanya dengan karya-karya Bapak yang luar biasa.

      Delete
  4. Terima kasih sangat Mbak Zahra. Senasib dengan Mas Dewar, sayang sekali saya juga terkendala untuk gabung. Dengan catatan Mbak, saya serasa ikut kelas onlinenya. Semoga kelak diadakan lagi programnya dan saya berkesempatan hadir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya Allah. Mari sama-sama menggenggam dalam berproses ya Mbak Anis 🤗🤗
      Semoga lain waktu bisa sama-sama hadir di seminar lain hehe.

      Delete
  5. Satu kata "keren" mbak. Sebab menulis adalah ekspresi terdasyat. Hhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Mas Kamim. Saya juga penikmat catatan-catatan Njenengan 😃

      Delete
  6. Keren sekali kata perkata,. MB Zahra. terimkasih sdh share ilmunya

    ReplyDelete

Post a Comment