Dipaksa Dahulu Baru Terbiasa



Saya menyambut gembira dengan aturan baru yang dibuat oleh Bapak Dr. Naim di GWA Komunitas Menulis IAIN Tulungagung. Memang, seringnya, kita lebih dahulu meminta dipaksa agar bisa menjadi kebiasaan. Dengan adanya jadwal mingguan yang jelas untuk mengirim tulisan, setidaknya kita memiliki komitmen dan bertanggungjawab terhadap opsi yang diambil. Selain itu, kalau tidak dipaksa seperti itu, kemungkinan besar kita akan terlena dan lengah, sehingga lupa untuk mencatat hal-hal istimewa atau pengalaman penting lainnya.
Saya jadi mengingat ungkapan Abah Zain, pengasuh Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Blitar. Kala itu ada seminar di sekolah. Abah Zain kebetulan adalah ayah walikelas saya ketika masih duduk di jenjang MAN. Sebab berlakunya peraturan baru terkait salat dhuha di sekolah sebelum memulai pelajaran, ada rekan saya yang bertanya, ‘Apakah boleh memaksakan niat seseorang? Bukankah seharusnya kita berangkat dari niat dahulu? Bagaimana jika ternyata kita tidak memiliki nilai ikhlas dalam menjalankan ibadah Dhuha sebab dipaksa?’ Kurang lebih seperti itu pertanyaan yang diajukan oleh rekan saya. Abah Zain menjawab dengan mantab, bahwa sebaiknya semua dibiasakan dahulu. Siapa tahu karena sudah terbiasa, lambat laun kita menjadi ikhlas sebab merasakan manfaat lahir batin dari ibadah tersebut. Siapa tahu juga kita jadi mendapatkan hidayah. Sampai sekarang, masih terkenang jawaban beliau.
Keping memori tersebut cukup relevan dengan kasus kita hari ini. Manusia akan selalu memiliki banyak alasan. Terlebih jika dirinya tidak terikat dengan sesuatu, alias melakukan sesuatu secara independen. Alasan demi alasan akan terus dimunculkan untuk mengelak dari pekerjaan produktif yang memang membutuhkan perjuangan, seperti menulis. Hanya ada beberapa orang pilihan, makhluk langka saja yang mampu menjadi pelopor, melawan dirinya sendiri untuk terus berproses maju. Tinggal kita memilih untuk masuk dalam klaster yang mana. Jika tidak dipaksa seperti aturan baru yang dihadirkan oleh Bapak Naim, kemungkinan GWA ini akan tenggelam dan hanya beliau yang rutin mengirimkan artikel setiap harinya, serta segelintir saja yang istikomah menulis.
Seharusnya kita sangat bersyukur sebab dikenalkan dengan beliau, pakar literasi dan kita bisa bersanad langsung kepada beliau keilmuannya. Tidak banyak sosok yang bisa menjadi penggebrak yang istikomah seperti Bapak Naim. Beliau tidak hanya berteori, melainkan memberikan contoh langsung.
Catatan ini saya buat sebagai pencambuk diri. Saya menyadari kepasifan saya selama berada di grup ini. Semoga dengan adanya aturan baru tersebut bisa menjadi lentera untuk kembali aktif dan bersemangat dalam menulis. Meski mungkin awalnya sulit sebab dipaksakan, namun mari kita yakin, bahwa proses ini akan sangat berguna di kemudian hari. Mari menikmati proses demi proses, sebab nikmatnya hidup akan terasa setelah kita lelah berjuang. Dan mari mengingat-ingat kembali, bahwa istikomah lebih baik daripada karamah. Salam literasi.

Tulungagung, 3 Juni 2020

Comments

  1. Seperti biasa, selalu gurih gurih nyoy tulisan mbak eka ini. Mengalir seperti kenangan. Mengalun serupa hujan. 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah saya jadi minder dikomentari oleh sastrawan ilmuwan sekeren Andi. Huhu

      Delete
  2. tulisan ini akan bisa mengingatkan banyak org yg membacanya untuk jg menulis.

    ReplyDelete

Post a Comment