Mendekap Malam
Malam semakin larut, dan mata
enggan mengatup. Entah mengapa, malam ini terasa begitu sulit untuk tidur. Segalanya
sudah dipersiapkan dengan baik, doa-doa sudah dirapalkan, suasana dingin dan
sejuk sebab guyuran hujan juga sudah hadir menyelimuti tubuh, namun mengapa aku
masih urung untuk tidur? Apakah karena tadi siang, tidurku lumayan pulas?
Entahlah. Daripada bingung hendak apa, daripada melihat gawai saja, tanpa ada
tujuan yang cukup jelas, lebih baik bangun sebentar, membaca sedikit, dan
membuka laptop. Zoya sudah pulas, dan itu berarti saat yang paling tepat untuk
memeluk kata.
Pertama kali mendengar film
Ayat-ayat Cinta, aku masih duduk di bangku SMP kelas tujuh, sekitar tahun 2007.
Dan ketika itu, sahabat-sahabatku menyewa CD ori di tempat penyewaan CD di Kota
Blitar. Mereka merasakan euforia yang luar biasa selepas menonton. Sayangnya,
aku tidak bisa ikut pada saat itu. Namun, aku masih bisa mengenali bagaimana
dahsyatnya karya itu versi novel. Aku dan beberapa sahabat memang menjadi
anggota perpustakaan Bung Karno dan hampir setiap pekan kami menghabiskan waktu
untuk meminjam serta mengembalikan buku di sana. Singkat cerita, aku meminjam
novel Ayat-ayat Cinta. Dan sebuah doa mulai terpanjatkan, awal mula kisah itu
pun dimulai.
Aku sangat mengagumi seorang
yang berilmu dan seorang yang saleh. Tiada yang lebih mengagumkan bagiku,
selain seorang lelaki yang berilmu, berakhlak, menjaga pandangan, dan saleh. Mungkin
memang usia SMP adalah usia pencarian jati diri dan ranum-ranumnya untuk mulai
mengenal lawan jenis. Akan tetapi, aku benar-benar terkagum dengan rasa kagum
yang sangat terhadap sosok Fahri di Ayat-ayat Cinta. Seorang Fahri yang demi
mengejar keistikamahan rela menerjang badai Sahara yang sangat panas, agar
mendapatkan rida dan sanad dari gurunya, Syaikh Utsman. Sebuah karakter
sempurna yang dipahami oleh seorang perempuan berusia belasan tahun. Akan tetapi,
benarkah di luar sana ada kisah seperti itu? Adakah seorang Fahri yang hidup di
dunia nyata? Sedangkan aku, tinggal dan belajar dari sekolah umum. Tanpa mengesampingkan
keutamaannya, namun sekolah umum begitu jauh rasanya dari mengenal bab yang
berkaitan dengan keagamaan.
Terinspirasi dari Ayat-ayat
Cinta, aku ingin bisa belajar keislaman di negeri para Nabi tersebut, Univ.
Cairo. Akhirnya, aku mengambil MAN Kota Blitar sebagai pilihan utama untuk
jenjang SMA. Cukup sulit mendapatkan izin dari ibu, sebab latar belakang ibu
memang dari keluarga dengan sekolah umum. Namun karena kekeuh, aku akhirnya
mendapatkan tiket izin untuk masuk di sana. Bapak mendukung, sebab bapak juga
pernah belajar di pesantren. Dan aku masih ingat, bahwa satu sekolah, satu angkatan,
yang mengambil MAN Kota Blitar sebagai pilihan utama hanyalah namaku. Yang lain,
teman-teman mengambil sekolah umum.
Duduk di bangku aliyah, aku giat
belajar, meski ritmenya fluktuatif dan sering naik turun. Bagiku belajar memang
sebuah hal yang sangat menyenangkan. Alhamdulillah Allah memberikan nikmat ini,
nikmat mencintai belajar, semoga hingga akhir hayat, aku tetap mendapatkan
titipan nikmat belajar, amin. Meski aku tidak pernah mempelajari bahasa Arab,
karena aku ingin bisa belajar di Cairo, aku giat mempelajarinya. Dan biiznillah,
aku paham dan bisa, meski sangat dasar dan sangat minim.
Dari sini aku belajar, bahwa
ketika kita duduk di lingkungan yang islami sekaligus, sesungguhnya tidak lepas
dari hal-hal yang tidak islami. Mungkin karena minimnya pengetahuan, akhirnya
aku merasakan kekecewaan, dan perlahan, cita-cita itu memudar.
Ketika Kang Abik kembali
menerbitkan novel fenomenalnya, aku antusias. Dan kisah itu adalah kisah
seorang pemuda, Azzam dan Anna Althafunnisa. Doa-doa terapalkan, semoga Allah
membuat kisah terindah dan menjumpakanku dengan pemuda saleh seperti Azzam atau
Fahri. Dan doaku terkabul. Allah menuliskan skenario paling indah dalam kitab
kehidupanku.
Hati yang kosong, hati yang
bingung hendak dibawa ke mana, menemui pujaannya. Seorang yang sangat saleh,
yang senantiasa mengingatkan kepada Rabbnya, mengajak untuk mencintai rasulnya,
menjalankan syariat-Nya, dan sopan serta berakhlak kepada orang yang lebih tua.
Pada kala itu, aku merasa diriku melebihi Anna Althafunnisa, atau kisah ini
melebihi kisah yang dituliskan oleh Kang Abik.
Perkenalannya kepadaku, beliau
adalah salah satu putra seorang kiai. Seorang perempuan cupu sepertiku, yang
tidak tahu menahu tentang syariat-Nya, menjumpai seorang putra kiai? Apakah
Allah sedang bercanda? Melebihi itu, beliau, bersumber dari salah satu kakak
tingkat sewaktu duduk di bangku MAN yang kebetulan mengenal beliau, Mbak Ulin,
menyampaikan bahwa beliau masih tergolong dalam golongan ‘Alawiyyin. Bagaimana
bisa? Namun sungguh, beliau adalah seorang yang sangat saleh. Aku bersaksi atas
kesalehannya, dan kedalaman ilmunya. Beliau juga bukan golongan yang membaiatku
menjadi nauzubillah teroris, dan garis keras. Sebaliknya, melalui tuturannya
yang lembut, aku mengenal betapa Mahalembutnya Allah, betapa baginda Nabi
Muhammad Saw., begitu mencintai ummatnya.
Beliau mengikat hatiku, dengan
ikatan tanpa sentuhan, dengan ikatan tanpa pertemuan. Bahkan, sampai saat ini,
aku belum tahu bagaimana rupanya. Hanya gambaran yang aku dapatkan dari Mbak
Ulin, wajahnya sangat kearab-araban. Tubuhnya tinggi besar, berjanggut tipis. Mungkin
jika aku tahu rupa beliau, aku akan benar-benar gila kepada beliau. Makanya,
sampai sekarang, tabir itu masih tertutup. Dan kekosongan hati yang sekian lama
menganga, telah terisi dengan pilihan terbaik-Nya.
Sebelum berita kepulangan beliau
tiba, kami sempat jarang berkomunikasi sebab beliau berdakwah di pelosok Riau. Ungkapan
yang beliau sampaikan adalah, ‘Umi
baik-baik di sana. Abi di sini berjuang, meyakinkan warga desa untuk mencintai
Rabbnya, jauh dari fasilitas kota. Alhamdulillah.’ Beliau juga sering
sekali memberikan nasihat tentang zuhud, tentang menerima, rida dan ikhlas
terhadap segala ketentuan Allah. Seperti, ‘Zuhud
itu letaknya di sini, di hati. Ibaratnya, seorang pengemis tidak memiliki
apa-apa selain baju yang menempel di tubuhnya dan cawan, yang ia gunakan untuk
minum ataupun makan. Jika suatu saat cawan itu hilang, ia masih menyesalinya,
maka itu bukan zuhud, sebab belum ikhlas, belum rida dengan ketentuan Allah.’
Beliau juga mengingatkan, bahwa ‘Perpisahan
itu bukan tentang jarak dan waktu. Bukan pula tentang hidup dan mati. Perpisahan
itu tentang surga dan neraka.’ ‘Jika
tidak di dunia kita berjumpa, mungkin kita bisa berjumpa di sana, di surga.’
Dari beliau, aku juga belajar tentang seorang lelaki yang sangat menghormatiku
sebagai seorang perempuan. Aku tidak pernah merasakan cukup, sebelum mengenal
beliau. Namun tatkala bersama beliau, aku merasakan cukup. Segalanya sudah
sangat cukup. Cukuplah beliau yang memuliakanku sedemikian tinggi. Beliau tetap
yakin, meski aku sering lalai dan bertabiat buruk, beliau tetap yakin, kelak,
suatu masa, akulah yang paling salehah, akulah perempuan yang paling baik,
untuk menyempurnakan agama beliau. Di mana lagi aku menemui seorang lelaki
sekelas beliau? Seumur hidup, aku belum pernah menjumpai seorang lelaki saleh
yang sangat menyejukkan sebagaimana beliau.
Segala yang beliau bekalkan,
adalah kunci untuk menjalani hidup. Kehadiran beliau, juga tidak lepas dari
takdir-Nya yang sungguh tidak pernah aku berpikir sebegitu dahsyat rencana-Nya
untuk mengenalkanku kepada-Nya. Memang benar ungkapan Ibnu Qoyyim, ‘Jika engkau
tahu bagaimana Allah mengatur hidupmu, engkau akan meleleh sebab jatuh cinta
kepada-Nya.’ Sebelum berpamitan pun, Abi juga menyampaikan, ‘Perjalanan yang
satu ini sepertinya panjang sekali. Aku ingin memastikan bahwa engkau
benar-benar telah bahagia, selepas kepergianku kelak.’
Entahlah, menjalin ikatan selama
empat tahun, tanpa kepastian, tanpa tahu rupa dan tanpa pertemuan, memang
bukanlah sebuah hal mudah. Namun, aku yakin, Tuhan memiliki rencana paling
indah di balik semuanya. Aku merasakan perubahan yang sangat luar biasa, dari
sebelum dan selepas mengenal beliau. Jika memang, apa yang beliau lakukan
merupakan salah satu jalan dakwahnya, aku sudah rida dan ikhlas. Takdir tidak
mungkin menemui jalan yang salah. Aku bersyukur pernah mengenal beliau secara
intim. Toh sekarang, suamiku juga seorang lelaki terbaik, terbaik yang pernah
kutemui. Kesabarannya tiada tandingan dalam menghadapiku yang sangat keras
kepala. Bagaimana beliau memuliakanku juga hal yang sangat luar biasa. Bagaimana
beliau bertutur lembut kepadaku, juga salah satu kejutan indah yang lain, yang
Allah hadirkan.
Memang, kehidupan sering
menghadirkan kejutan-kejutan indah. Namun, sesungguhnya, apabila hati selalu
dididik untuk berhusnuzan kepada segala ketetapan-Nya, maka sesungguhnya, kita
sedang merenangi samudra kebahagiaan tanpa dasar.
Mengenai kebenaran siapa beliau,
wallahu alam, biarlah tetap menjadi rahasia langit, apabila Allah memang
menghendaki tabir itu tertutup. Namun jika kemudian Allah berkenan untuk membukanya,
biarlah ia terbuka. Terpenting, banyak maslahah dan minim madharat ketika kisah
itu hadir. Tentang beliau, alhamdulillah, aku sudah membuka pintu ikhlas, dan
sebuah senyuman mampu hadir tatkala mengingat kisah itu. Sebuah hal indah lain,
yang Allah hadirkan, setelah aku sengaja menjauh dari-Nya, dan terkubur dalam
kubang keputusasaan tatkala aku tidak menerima takdir-Nya. Namun kini, semuanya
kembali bermekaran.
Tiada sesuatu di dunia ini, selain Dia.
Tiada kekasih abadi, selain Dia.
Tiada yang bisa memahami selain Dia.
Kepada siapa kita menuju, ketika dunia terasa begitu melelahkan?
Kepada siapa lagi, selain kepada-Nya?
Adakah kekasih yang lain selain Dia?
Blitar, Sabtu, 25 September 2021
Meleleh Mbak Za. "Takdir tidak mungkin menemui jalan yang salah." Baarakallah fiinaa..
ReplyDeletePeluk sayang buat saudariku terkasih ini 🤗🤗🤗
ReplyDelete