Desiran Rindu
Jika patah hatimu karena manusia, mungkin engkau masih memiliki celah untuk membenci dan melupakannya. Namun jika patah hatimu sebab Tuhan merindukan kekasihmu, apa yang bisa engkau perbuat selain menerima?
Membuka lembaran ini masih menyisakan nyeri di dalam hatiku. Walau saat ini Tuhanku sudah mengirimkan salah seorang hamba terbaik-Nya untukku. Namun ketika teringat tentang beliau, tangisan rindu tiba-tiba hadir, memenuhi dada, menyesakkan sukma. Ya Rabb, dosakah aku sebagai seorang perempuan yang telah bersuami? Sebagai seorang ibu dari buah cinta kami? Dosakah aku merindukan beliau? Salah satu kekasih-Mu?
Karena ketidakterimaan itu, aku pernah sengaja menjauh dari segala tentang-Nya. Begitu ngilu tatkala aku selalu mendapati beliau dalam setiap hal tentang-Nya.
Beliau selalu mendidikku untuk mematuhi Rabbnya. Segala didikan terbaik kudapatkan dari beliau. Mulai dari patuh dan taat pada Allah; meneladani dan mempraktikkan segala yang diajarkan oleh Rasul-Nya yang mulia; berusaha menjadi hamba terbaik-Nya dengan selalu mementingkan sudut bagaimana Allah memandang, bukan demi terlihat baik di depan manusia; ikhlas, rida, dan zuhud terhadap segala ketentuan-Nya.
Pada problem fikih pun selalu kutanyakan pada beliau. Mulai hal-hal sederhana, sampai hal yang rumit selalipun. Beliau sangat berhati-hati dalam menjawab. Jika memang masih ragu, beliau minta izin membuka kitab, untuk memastikan. Dan empat tahun bersama bukanlah hal yang singkat untuk menyisakan kenangan terbaik dalam hidup.
Aku mencandui beliau, sebagaimana kata beliau, aku adalah candunya. Beliau adalah seorang yang begitu sempurna di mataku. Tidak pernah aku menemukan seorang lelaki seperti beliau, yang sangat taat pada Rabbnya, cinta pada Nabinya, dan memuliakanku seakan-akan aku perempuan terbaik di dunia ini. Bersama beliau membuatku merasa cukup. Aku bahkan tidak peduli bagaimana dunia memandang. Selama masih bersama, aku selalu mengagumi bagaimana beliau bisa sesalih itu, dan begitu memuliakanku.
Namun tiba-tiba, 1 April 2016 silam, kabar tentang kepulangan beliau tiba. Matahari seperti berhenti bersinar. Bumi seperti berhenti berputar. Duniaku seakan runtuh, sebab kami pun sudah mematangkan segala persiapan terbaik, untuk kehidupan bersama.
Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Sebuah kehendak yang sangat sulit dipahami oleh seorang perempuan berusia 21 tahun. Sebuah kehendak yang pilu, bagiku. Dan aku melupakan segala didikannya, ajarannya, hingga, tentu bisa ditebak, bagaimana akhirnya.
Dan kini, 2021, ketika perpisahan itu sudah sampai pada jarak lima tahun, perlahan, aku mulai mengupas satu demi satu hikmah indah-Nya terhadapku. Sesungguhnya apa yang kuhadapi saat ini, pernah beliau bekalkan kepadaku. Seharusnya aku tidak menjauh dari-Nya. Sebaliknya, aku harus semakin mendekat kepada-Nya.
Suamiku pun, adalah pilihan terbaik-Nya. Adakah pilihan terbaik selain pilihan-Nya? Mas suami juga bukan sembarang orang. Didikannya hampir sama, hanya beda versi. Jika beliau lebih pada agamis, maka mas suami lebih pada Kejawen, dengan selalu melibatkan Pengeran, Gusti Allah. Mas suami juga seorang lelaki yang tidak mau tahu apa kata manusia, terpenting beliau bahagia. Hal ini sama dengan didikan beliau, bahwa dengan bersyukur, dengan selalu ikhlas, rida, qanaah dan tawadhu terhadap segala ketetapan-Nya, biiznillah Allah akan menitipkan kebahagiaan dalam hidup. Mas suami juga menginginkan hidup sederhana, tidak mau diwah manusia. Asalkan, silaturahmi senantiasa terjaga dengan baik. Beliau, mas suami juga seorang yang sangat menjaga pandangan dari perempuan lain. Aku sangat beruntung dipilihkan seorang kekasih sepertinya.
Ah Allah, ternyata kehadiran beliau dalam lembar demi lembar hidupku sebagai pengisi ilmu, sebagai bekal untuk kehidupanku ke depannya. Itu masih satu berlian yang kudapat. Belum lagi ketika beliau mengajarkan untuk selalu ikhtiar, munajat dan tawakkal terhadap segala perkara.
Abi, itulah sapaanku pada beliau. Abi tidak pernah lelah mengingatkanku untuk selalu berjalan di lajur-Nya. Abi tidak pernah lelah mengingatkanku untuk berbakti, membahagiakan ibuk dan bapak. Abi juga selalu mengingatkanku untuk menuntaskan amanah, tugas-tugasku dengan sebaik-baiknya. Abi, sudah lama sekali aku tidak menyebut kata itu.
Aku memang dungu, mungkin. Tidak serta merta memetik hikmah indah-Nya, namun malah meratap. Padahal, Rabb selalu memiliki pertimbangan terbaik, yang sering diluputkan oleh mata manusia. Mungkin, di sisi lain, Rabb juga cemburu. Sebab aku terlalu mengagungkan beliau, aku terlalu menuhankan abi.
Dan setelah lima tahun ini, alhamdulillah Rabb memberikan jalan terbaik, membuka hati untuk ikhlas. Mungkin kemarin-kemarin aku memang tidak berani membuka lembaran ini. Sebab qalbuku selalu tertusuk oleh ketidakterimaan, tidak ikhlas, tidak legowo terhadap ketentuan Sang Mahakuasa. Namun kini, alhamdulillah, Rabb berkenan untuk membuka hatiku yang gelap pekat. Betapa Rahman dan Rahim-nya Allah.
Semoga, sanad keilmuan yang kudapatkan dari beliau bisa menjadi bekal untuk hidupku serta sekelilingku dalam hidup di dunia, dan di kehidupan akhirat nanti.
Dan, sampai saat ini, aku belum pernah menemui beliau. Bahkan sekadar rupa beliau seperti apa, aku belum tahu. Hanya gambaran yang kudapatkan dari saudara-saudaranya.
Lucu memang kisah kami. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai seseorang yang belum kutahu rupanya? Yang belum pernah kutemui sosoknya? Padahal sudah berjalan selama empat tahun, kemudian maut memisahkan. Namun kupikir lagi, aku belum pernah menjunpai Rasulullah Saw, tapi aku begitu mencintai beliau.
Terkait tabir misteri siapa beliau, biarlah menjadi rahasia-Nya. Aku tidak ingin menguak siapa beliau sebenarnya. Terpenting, kehadiran beliau dalam hidupku juga atas izin-Nya. Dan ada banyak sekali kebaikan yang aku terima dari kehadiran abi.
Berikut adalah salah satu nasihat beliau,
"Perpisahan itu bukan tentang jarak dan waktu, bukan juga tentang hidup dan mati. Perpisahan itu tentang surga dan neraka."
"Jika sekelilingmu gelap gulita, curigailah dirimu. Jangan-jangan engkau pusat cahaya itu, yang akan menyinarinya."
Surga adalah rumahmu, Abi, insyaallah. Allah pasti sangat mencintaimu di sana. Meski aku masih di dunia, dan aku menikah dengan takdirku, dengan lelaki terbaik pilihan-Nya, yang sangat mencintaiku dan aku pun sangat mencintainya, karena Allah. Aku berterima kasih sebab engkau berkenan untuk hadir, mendidikku dengan didikan terbaikmu. Terima kasih duhai kekasih Allah.
Blitar, 03 September 2021
Comments
Post a Comment