Persiapan Perform sebagai Pembicara di Kampus III, Universitas Negeri Malang
Saya tidak pernah
membayangkan jika hari ini telah saya lalui. Sebelumnya, sejak hari Sabtu, saya
memilih untuk banyak diam dan merenung. Apakah saya bisa untuk hari Selasa
nanti? Kemudian pikiran-pikiran pesimis mulai datang. Saya pun digerogoti rasa
sesal, menyesali keputusan diri sendiri yang selalu menyukai challenge
dan menantang untuk keluar dari zona aman dan nyaman. Karena saya memiliki
banyak tanggungjawab sebagai ibu, yang biasanya mengandalkan fisik lebih
banyak, kali ini saya harus mengasah otak kiri untuk bekerja lagi.
Selama ini, pikiran yang
tajam itu memang diajak untuk diam. Namun karena saya merindukan mengajar,
menginginkan pengalaman sebagai dosen tamu, dan lembaga yang memfasilitasi kali
ini adalah Universitas Negeri Malang, saya merasa terpanggil, tertantang,
terhormat, meski di balik itu, rasa takut kerap menghampiri. Akan tetapi, nasi
telah menjadi bubur. Saya telah mengiyakan permintaan tersebut. Sehingga, mau
tidak mau, otak kiri yang penuh debu dan jaring laba-laba itu harus dibersihkan,
serta diajak untuk bergerak kembali dengan kecepatan yang langsung tinggi.
Rasanya sungguh berat. Saya merasa takut dan stres.
Confidence
yang saya bangun selama ini memang cukup baik. Namun itu dahulu, semasa di
kampus. Selain brain, saya punya beauty, juga behavior
yang bisa diandalkan. Sedangkan sekarang? Term beauty sudah hilang
berganti bulat. Brain berganti menjadi beres-beres rumah. Tinggal behavior,
yang tidak boleh hilang apapun alasannya. Hanya saja, dengan mengaburnya dua
hal tersebut membuat saya kehilangan confidence. Itulah yang membuat
saya menganut paham pesimisme.
Karena begitu pesimis, saya
menghubungi papa, berulang-ulang saya bertanya. Beliau meminta saya untuk tetap
lanjut, tidak boleh dibatalkan. Diam-diam, saya menghubungi Mbak Zuraida,
senior saya namun sekelas yang skillnya sangat ahli dan baik. Sayangnya beliau
tidak bisa. Alhasil, saya menyampaikan kepada papa lagi, bahwa rekan saya tidak
bisa. Papa pun menjawab, ‘Itu adalah jatahmu. Kamu tidak akan menyesal
mengambilnya.’ Namun bagaimana lagi, saya terlanjur takut.
Kemudian, saya menghubungi
guru saya, Umi Ulin. Beliau senantiasa ada dan memberikan perspektif ilahiah
setiap saya menyampaikan masalah. Masalah apapun, ketika saya sampaikan kepada
beliau, rasanya menjadi sangat menenangkan, dan ringan. Saya pun meminta
pendapat beliau. Saya juga menyampaikan, saat masih duduk di MI, kapan saya
bisa menjadi speaker di kampus? Beliau menjawab, bahwa apa yang saya dapat hari
ini sebetulnya adalah jawaban, ijabah doa yang saya panjatkan sejak beberapa
tahun lalu. Beliau menambahkan, bahwa mereka adalah umat Baginda Rasulullah
Muhammad Saw., maka jika memang memiliki kesempatan untuk menyampaikan ilmu,
sampaikanlah. Jangan ditolak.
Malam berganti, saya tetap
gundah. Sedangkan waktu semakin mepet. Saya menghubungi Tomi. Tomi terus
memberikan support yang luar biasa. Katanya saya salah jika saya
mempermasalahkan tubuh yang bulat ini. Sebab skill tidak dipengaruhi oleh
bentuk tubuh. Ini adalah keahlian saya. Tomi meminta saya, agar tetap go, tidak
boleh dibatalkan. Ini adalah kesempatan yang luar biasa. Dan Tomi menyampaikan,
jika saya pasti bisa, pasti. Saya terharu dengan belief yang ia berikan
kepada saya. Akhirnya hati yang monga-mangu hilang, berganti rasa
percaya diri.
Namun, gundah itu tetap
saja muncul. Saya menghubungi sahabat saya, yang juga penasehat saya, Nadhifa.
Si Mbak pondok hafizah itu juga sangat mendukung. Katanya, mahasiswa S1 itu
masih kecil-kecil. Saya malah gemas karena berarti kami sudah tua. Yang pasti,
Nadhifa tahu proses saya sejak S1. Beliau menyampaikan benar-benar eman kalau
sampai ditolak, sebab saya mampu. Saya benar-benar terharu dengan kepercayaan
yang diberikan oleh orang-orang terkasih. Rasanya mereka memberikan kekuatan
luar biasa untuk saya yang merasa lemah, letih, lesu.
Jam berganti, hari berlalu.
Acaranya sangat padat. Hari Jumat saya dihubungi untuk dimintai tolong sebagai
pembicara. Hari Minggu saya ada even silaturahmi di ndalem Prof. Dr.
Ngainun Naim, M.HI bersama teman-teman Sahabat Pena Kita Tulungagung. Dan acara
pelatihan speaking dihelat di hari Selasa. Baiklah. Sesuai rencana, saya
ke Tulungagung Minggu pagi. Kemudian setelah acara, mas suami dan saya akan ke
Pantai Midodaren, menginap di vila sana untuk mengerjakan tugas. Sebab jika di
rumah, saya tidak bisa fokus sama sekali karean si kecil. Alhasil, saya
menyetujui hal tersebut.
Minggu pagi tiba. Saya
sudah bersiap untuk berangkat ke Tulungagung. Seperti biasa, saya pamit kepada
Nduk, menyampaikan jika mama kerja dan Zoya harus tidur bersama uti. Zoya,
seperti yang sudah kami latih sejak bayi, dia akan menyampaikan iya, dan saying
bye-bye, Mama dengan muka ceria dan menggemaskannya. Pikiran saya kalut,
sebab materi belum final. Baiklah. Kita lewati dahulu hari ini.
Tiba di Tulungagung, saya
memantau WAG. Di sana, yang baru hadir masih Mas Woko. Saya pun datang ke rumah
suami dahulu. Papa masih tidur. Saya membangunkannya sebentar, pamit untuk
berangkat. Papa kaget melihat saya semakin membulat. Saya pun kaget. Ternyata
memang, pengaruh natrium, garam yang kurang sehat itu memang teramat nyata.
Beberapa kali, riset pengaruh natrium terhadap kesehatan muncul di time line
platform X. Setelah membaca, ada rasa bergidik. Mau tidak mau, demi
kesehatan, saya harus stop makanan bernatrium tinggi junk food contohnya
mie instan, bakso, seblak, dan makanan yang bernatrium tinggi lainnya. Selain
membuat obesitas, natrium juga bisa meningkatkan resiko penyakit jantung,
hipertensi, kolesterol, gangguan cerebral, saraf dan penyakit-penyakit
mengerikan lainnya. Saya harus benar-benar komitmen untuk hidup sehat setelah
ini. Sudah ada treadmill di rumah, harus digunakan dengan baik. Selain itu,
konsumsi junk food benar-benar harus dibatasi bahkan sebisa mungkin
distop agar tidak candu. Dahulu, saya jarang muncul di depan publik, mau berpenampilan
seperti apa, it’s fine. Namun sekarang, hampir setiap pekerjaan
senantiasa berhadapan dengan publik. Mau tidak mau, harus mengembalikan confidence
yang sudah mengabur ini agar potensi yang sudah diasah tidak terpendam di
balik rasa ketidakpercayaan diri.
Untuk catatan kopdar, saya
ingin menuliskan di catatan sendiri nanti. Namun kali ini, saya ingin berfokus
pada momen luar biasa ketika menjadi dosen tamu di Universitas Negeri Malang.
Selesai kopdar, saya dan
papa berangkat ke pantai Midodaren. Sepanjang perjalanan, saya menikmati
suguhan pemandangan yang luar biasa indah. Bagaimana lagi, pemandangan gunung
dan pantai adalah pemandangan langka di Blitar, tempat tinggal saya. Sehingga
saat melihat betapa gagah ciptaan Allah Azza wa Jalla berupa gunung, saya
terkagum. Duduk di jok belakang, membuat saya leluasa memandang sekitar, baik
pemandangan alam maupun sosial. Sesekali saya guyon dengan papa, sesekali saya
tertidur. Tidak lupa, papa mengajak singgah ke minimarket untuk beli minum dan
camilan, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Hanya saja, tiba di Campurdarat,
Tulungagung, ada area di mana jalannya sangat rusak. Saya terbangun ketika tiba
di sana. Saya pun menggerutu. Bagaimana bisa akses menuju wisata, menuju JLS,
menuju pantai indah di Tulungagung begitu rusak. Seharusnya pemerintah lokal
mendapatkan kritik terhadap hal ini. Sebab beberapa tahun, kondisi jalan tidak
ada perubahan.
Waktu berlalu. Kami sudah
menanjak dalam waktu yang tidak sebentar. Papa menunjukkan, jika kami sudah
hampir tiba di pantai Midodaren. Di pintu masuk, ada mbak penjaga loket, masih
muda memberikan tiket. Satu orang dibanderol harga Rp20.000,00. Kemudian karena
kami naik motor, harga tiket parkirnya Rp5.000,00. Sehingga kami berdua habis
Rp45.000,00 untuk tiket masuk saja. Selain itu, karena kami berniat untuk
menginap, saya meminta brosur Semilir Hotel. Setelah itu, papa mengajak untuk
langsung menuju lokasi.
Saat turun, papa
menyeletuk, ‘Ini nanti bagaimana naiknya ke atas ya?’ Kemudian saya
menyampaikan, ‘Kalau saya jalan enggak apa-apa deh. Hanya saja mama lama,
soalnya jauh.’ Namun begitu tiba di lokasi, kami mafhum, ternyata ada fasilitas
settle car untuk pengunjung yang mau naik ke atas. Benar-benar luar biasa
fasilitas Pantai Midodaren.
Tiba di bibir pantai,
keadaan ramai pengunjung. Maklum, kami tiba pukul 14.00 WIB sehingga masih
banyak pengunjung. Namun, saya benar-benar suka dengan suguhan pemandangan
indah di depan. Sejenak, saya melupakan gundah hati.
Setelah memarkir motor,
kami melihat beberapa cottage yang menjadi ikon unik pantai Midodaren.
Karena baru pertama berkunjung, papa dan saya cukup kesulitan mencari lobby
hotel, sehingga perlu bertanya. Setelah melewati bangunan modern, pool dan
café, kami tiba di lobby. Di sana, kami memutuskan untuk menyewa Melati Room.
Setelah mendapatkan kunci,
kami mengambil motor lagi untuk diparkirkan di depan kamar. Kamar yang kami
sewa memang tidak besar. Namun fasilitasnya baik dan bersih. Ada handuk, sikat
gigi, pasta gigi, dan juga sabun. Selain itu, ada dau botol air mineral size
tanggung, kettle listrik untuk memasak air panas, dua cangkir,
sendok, empat gula sachet, dua sachet kopi, dan dua sachet teh. Interior
desainnya sangat modern. Ada AC, kamar mandi dengan air panas dan shower, TV
size 32 inch, kabinet, dua nakas, juga ranjang ukuran king sized. Selain itu,
di pojok plafon, ada arah kiblat. Saya senang sekali dengan kamar ini. Setelah menaruh
barang, papa minta dibuatkan kopi, baru kita jalan-jalan ke pantai.
Senja tiba. Karena
Midodaren adalah tempat sunrise, kami tidak bisa menikmati sunset. Matahari
tenggelam di balik gunung. Jika kami mau, sebenarnya bepergian ke Gemah Beach
juga bisa. Hanya saja, kami terlalu lelah. Menatap riak-riak ombak di Midodaren
sudahlah cukup bagi kami, tidak perlu mengejar sunset. Sebelum ke
pantai, kami mencari makan dahulu. Papa memesan kepiting, saya memesan udang.
Sembari menikmati semilir angin pantai, kami juga minum degan utuh. Seusai
kenyang, kami sadar belum salat Ashar, sehingga kembali ke penginapan. Tiba di penginapan,
badan sudah lelah. Alhasil, kami tidak kembali ke pantai sampai azan Isya
berkumandang.
Seusai Isya, kami
memutuskan mencari makan malam, sebelum semua warung tutup. Benar saja. Seluruh
warung hampir tutup, tersisa satu warung saja. Segera, kami memesan makan. Papa
cukup telur geprek, sedangkan saya diminta memilih ikan, dan akhirnya,
keputusan tiba di ikan kakap merah. Selesai memesan dan membungkus, kami
jalan-jalan di pantai. Malam bertabur bintang, semua tampak cerah. Debur ombak
bergulung-gulung putih. Walau laut menjadi kelam, namun deburan ombaknya masih
terlihat. Pantai sangat sepi, hanya dijumpai beberapa pasang orang saja. Pantai
seluas itu, kami merasa seperti menyewanya secara privat. Karena jarang orang,
papa dan saya bermain-main. Mulai ayunan, hingga jungkat-jungkit. Saya merasa mengenang
masa-masa sewaktu duduk di sekolah dasar. Rasanya tidak pernah membayangkan
akan bermain jungkat-jungkit di usia 29 tahun, bersama suami saya. Namun saya
sangat menikmatinya. Benar-benar momen luar biasa.
Selesai bermain, kami duduk
di atas kayu besar, menghadap ke pantai. Bintang gemerlap dengan indah.
Sesekali awan putih menutup milyaran kedipan di langit. Saya hanya diam,
sembari membatin, terima kasih atas anugerah hidup yang begitu luar biasa, ya
Allah. Semoga di surga nanti, ada seperti ini. Saya mau seperti ini, bersama
orang terkasih, bersama orang tercinta kami.
Papa merengkuh, sembari berpamitan
untuk menyambi kerja. Saya mengizinkan. Bagaimanapun, yang menjadi tulang
pungguh saat ini adalah beliau. Saya belum bisa membantu untuk mencukupi
finansial. Hanya mampu memegang dan melakukan manajemen.
Malam merangkak. Angin
semakin kencang. Papa meminta untuk kembali ke kamar. Kami pun pulang. Tiba di
kamar, tepat pukul 21.00 WIB. Kami makan malam, sebelum istirahat. Setelah
makan, saya membuka laptop. Mencoba membuat rangkuman materi yang akan didisplay
nanti. Untuk pre-test dan post test sudah rampung. Tinggal materi yang akan
saya sampaikan nanti.
Malam semakin larut. Saya
memutuskan untuk tidur lebih awal, agar bisa fresh dan bangun lebih pagi. Namun
badan hanya bisa menggelepar. Dingin AC menyentuh tulang. Pikiran saya kalut
bukan main, sebab hari yang ada hanya tersisa besok. Lusa, saya harus perform
sedangkan materi belum juga siap. Akhirnya, saya memutuskan untuk bangun dan
membuat materi. Baru kemudian, saya bisa tidur nyenyak.
Pagi tiba. Fasilitas room
service dan sarapan datang. Papa sudah lebih dahulu bangun. Karena mengejar
waktu, sebab saya langsung pulang ke Blitar nanti, maka kami tidak bisa
berlama-lama hingga waktu check out tiba. Selesai sarapan, yakni nasi
goreng seafood, air mineral, air sirup dingin, roti dan selai, kami lanjut beberes
dan kemudian langsung pulang.
Tiba di rumah, saya stres
lagi. Akhirnya meminta mas suami untuk pulang, mengurus semua keperluan nduk.
Setelah itu, saya mempersiapkan materi hingga pukul 12.30 WIB Selasa dini hari.
Di jam itu, nduk juga belum tidur. Dia hanya mau tidur bersama mama, bersama
saya. Alhasil, selesai itu, saya segera istirahat, memberikan waktu istirahat
untuk tubuh dan pikiran. Sebab, besok saya akan perform.
Semoga lancar, sukses 👍
ReplyDeleteAmin amin amin. Matur nuwun sanget doanya Oak Prii
Delete