Mengenal Kelurahan Blitar dari Para Sesepuh


Makam Eyang Agung Adipati Aryo Blitar


Beberapa hari ini, karena pekerjaan, saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa sesepuh dan orang-orang berpengaruh di kelurahan Blitar, tanah kelahiran saya. Meski tinggal di sini sejak lahir hingga menikah, kemudian meninggalkan kelurahan Blitar selama tiga tahun sebab pindah domisili, namun saat ini alhamdulillah berkesempatan kembali ke tanah kelahiran untuk mengabdi, saya jarang sekali bisa memiliki kesempatan untuk berdialog bersama para sesepuh dan mengkaji keilmuan dari beliau semua. Bersyukur sekali mendapatkan job yang berkaitan dengan penggalian data dari para sesepuh terkait kelurahan Blitar.

Salah satu sesepuh yang saya datangi adalah Mbah Abu. Mbah Abu, seingat saya beliau sangat berperan dalam pernikahan saya, sebagai dukun nikah. Selain berperan dalam ranah pribadi, Mbah Abu merupakan seseorang yang sangat dihormati sebab keilmuan beliau utamanya dalam menjaga tradisi serta adat di kelurahan Blitar.

Mbah Abu sangatlah ramah, benar-benar ramah dan sopan. Dua nilai yang saya kira sudah mulai terkikis dari masyarakat Indonesia saat ini. Saat saya bertandang ke ndalem beliau, beliau mempersilakan dengan begitu sopan dan baik. Sebagai tamu, saya pun menyampaikan hajat saya bertandang. Dari tiga pertanyaan yang saya ajukan, yakni terkait sosial, ekonomi dan budaya di kelurahan Blitar, saya mendapatkan banyak penjabaran dari beliau. 

Menurut Mbah Abu, kehidupan sosial bermasyarakat di kelurahan Blitar sangatlah kompak dan rukun. Walau banyak perbedaan dalam segi agama, pendidikan dan lainnya, kami menerapkan kebhinnekaan dengan baik. Hal unik yang ada di kelurahan Blitar, yang sudah mendapatkan predikat sebagai Kampung Budaya adalah lestarinya kebudayaan di kelurahan Blitar, utamanya Jaranan yang sering tampil dalam hajatan masyarakat atau Tayub yang selalu ditampilkan pada malam bersih desa.

Hal yang mempengaruhi lestarinya dua kesenian tersebut adalah, menurut Mbah Abu, kesenian Jaranan serta kesenian tayub merupakan kesenian yang disenangi oleh Pepunden Kelurahan Blitar dari empat penjuru, yakni Eyang Agung Aryo Blitar, Eyang Putri Bondan Palupi, Eyang Dipokromo, serta Eyang Raras Wuyung. Empat Danyang atau Pepunden Kelurahan Blitar tersebut menjadi titik sowan saat acara bersih desa yang terdiri dari iring-iringan jaranan. Sampai pada titik tersebut, biasanya pemain barongan sudah kerasukan.

Selain itu, penyebab lestarinya kebudayaan di kelurahan Blitar adalah karena para sesepuh menanamkan cinta budaya kepada generasi muda. Tidak heran jika anak-anak di kelurahan Blitar sudah menyukai jaranan bahkan dibelikan atribut jaranan seperti kuda lumping, barongan dan pecut sebagai mainan saat kecil. 
Foto Mbah Abu, Sesepuh Kelurahan Blitar



Selain mendapatkan informasi atau data dari Mbah Abu, saya juga mengunjungi Pak Slamet. Pak Slamet Hari merupakan juru kunci makam Adipati Aryo Blitar. Disampaikan oleh Pak Slamet bahwa di kelurahan Blitar tidak ada ranting cabang NU atau ormas tertentu. Akan tetapi, masyarakat di sini plural namun hidup rukun menjunjung Kebhinnekaan. Seperti contoh setiap malam Senin Pahing diadakan tahlilan bersama di makam adipati Aryo Blitar, seluruh masyarakat baik dari NU maupun Muhammadiyah hadir. Akan tetapi, dapat disimpulkan jika tradisi tahlil merupakan tradisi NU. Mayoritas masyarakat juga mengadakan bacaan yasin tahlil, 3 hari, 7 hari, hingga 1000 hari meninggalnya anggota keluarga, yang merupakan tradisi dari NU. Sehingga mayoritas masyarakat meski tidak memiliki keanggotaan NU, mengamalkan nilai-nilai serta ajaran NU.

Terkait kehidupan sosial bermasyarakat, Pak Slamet menyampaikan jika masyarakat Blitar hidup rukun. Akan tetapi, sering terjadi gesekan saat ada pentas seni Jaranan dalam lingkup pemain atau penonton. Banyak dari anggota grup jaranan yang sering pesta miras kemudian berujung tawuran. Padahal, menurut Pak Slamet, kesenian Jaranan seharusnya memiliki nilai, yakni nilai-nilai seni yang memiliki makna dalam setiap gerakannya, tidak sembarangan seperti yang saat ini sering ditampilkan. Saat acara bersih desa pun, Pak Slamet bisa membedakan mana yang benar-benar kemasukan ruh atau mana yang hanya mabuk dan bergaya.

Menurut Pak Slamet, perbedaannya, bagi yang benar-benar kemasukan, saat memasuki lingkungan makam Adipati Aryo Blitar, dari pintu masuk sudah langsung sungkem dan timpuh, sebab yang dihadapi di depan adalah Pepunden Kel. Blitar, Eyang Agung Aryo Blitar. Berjalanpun juga bertimpuh, khas abdi dalem masyarakat Jawa kuno yang menghadapi prabunya. Di dalam makampun juga sungkem. Berbeda dengan yang hanya mabuk minum miras. Dari bau mulutnya atau saat orang tersebut lewat sudah bau alkohol yang menyengat, berjalan berdiri ke makam, tanpa sungkem, kemudian meminta hal-hal yang kurang lumrah. Pak Slamet paham dan tahu, namun karena demi menjaga kerukunan warga, beliau memilih untuk tidak menggubris hal tersebut. Hal yang demikian, oleh Pak Slamet dianggap karena mereka yang ingin dianggap ndadi atau kerasukan agar di wah kan orang-orang, ditakuti, dianggap dan mendapatkan pengakuan bahwa dirinya wingit. Hal demikian yang menurut Pak Slamet yang melatarbelakangi banyaknya peminum minuman keras yang bergaya ndadi. Selain hal itu, Pak Slamet pernah menjadi penari grup jaranan juga, yakni grup paling sepuh di kelurahan Blitar, Rukun Budoyo.

Terkait keadaan politik, Pak Slamet telah mendapatkan banyak tawaran dari partai-partai untuk bergabung. Nominal yang ditawarkan pun juga fantastis. Namun, meski Pak Slamet dalam segi ekonomi tergolong kelas menengah ke bawah, beliau memilih untuk bersikap netral karena amanah untuk menjaga Makam Adipati Aryo Blitar. Hal tersebut beliau lakukan, jika makam memakai atribut bendera, akan mempengaruhi kewibawaan serta marwah pepunden kelurahan Blitar, yakni Adipati Aryo Blitar yang sangat mungkin disebarkan berita negatif dari lawan politik.

Sebetulnya saya mengunjungi beberapa tokoh lain di kelurahan Blitar. Namun beberapa data sudah tercakup dalam data yang saya sajikan di atas. Harapannya, ke depan masyarakat Kelurahan Blitar atau seluruh bangsa Indonesia tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya timur seperti bersikap sopan, ramah tamah, namun tetap kritis dan tegas terhadap budaya-budaya baru yang bisa merusak value kehidupan bermasyarakat atau tidak sesuai dengan norma agama serta sosial. 

Comments

  1. Catatan observasi yang keren. Salut untuk Blitar. Plural tapi rukun dan bisa menjunjung tinggi tradisi budaya. Semoga daerah lain bisa mencontohnya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts