Terima
Memang, semakin kemari semakin sunyi. Prioritas sudah beralih. Kehidupan seperti berputar dalam ruang kecil ini, rumah. Hidup seperti apa yang engkau inginkan? Begini saja cukup, ya Rabb. Sebab setiap peluh yang keluar untuk merawat titipan-Mu, setiap suap yang kuarahkan pada titipan-Mu, setiap detik, menit, jam, bahkan tahun demi tahun yang kuhabiskan untuk membersamai titipan-Mu, mungkin bisa sedikit menggugurkan dosaku, dan membawaku pada maghfirah-Mu. Jika demikian, cukuplah ya Rabb. Sungguh.
Namun, sungguh. Engkau Mahatahu apa yang tersimpan dalam desiran terdalam. Engkau Mahatahu apa yang sangat kuinginkan. Entah itu baik atau buruk, hanya Engkau yang mengetahuinya. Tiada lagi yang bisa kukata, selain samina waathana terhadap ketentuan-Mu. Mungkin bagiku, aku laksana ilalang, yang terbang mengikuti angin takdir. Hari ini Engkau membawaku kemari. Tiba-tiba esok Engkau membawaku ke sana. Hamba senang dan patuh, ya Allah. Sebab semua hal senantiasa menyimpan kebaikan. Terlebih jika itu adalah pilihan-Mu.
Teosentris, begitulah aku, kata kawanku yang melabeli dirinya dengan sebutan antroposentris. Ya mungkin memang demikian. Sebab aku sungguh mafhum, jika kedigdayaanku sebagai manusia sangat terbatas. Walau aku bisa memilih, namun pilihan itu tetaplah terbatas. Meski demikian, bukankah jelas jika aku mengikuti jalan Sunni, bukan Jabari atau Mutazilah. Jalan Sunni ialah jalan di mana kita diajarkan untuk iman kepada qada dan qadar. Iman kepada takdir yang bisa diubah atau tidak bisa diubah. Sederhananya, kita diberi kuasa untuk beberapa hal, namun untuk hal lain, tetaplah ia mutlak menjadi kuasa-Nya. Sebab tinta telah mengering. Catatan itu telah rampung dibuat oleh Sang Pencipta.
Memang membahas lingkaran takdir sangatlah asyik. Kepercayaan kita terhadap takdir tidak lepas dari keyakinan diri. Keyakinan terbentuk dari pola pikir. Pola pikir terbangun dari input yang setiap hari kita konsumsi, proses sehingga muncul output atau produk olah pikir tersebut. Jika demikian, tentang takdir bukankah sangat subjektif? Opini apapun memang subjektif. Tapi kita kembalikan kepada konsep kebenaran. Ada kebenaran mutlak, ada kebenaran nisbi, juga kebenaran absolut. Saya kira, sumber-sumber yang bersifat samawi dan profetik adalah kebenaran absolut, meski tafsirannya akan menimbulkan banyak pendapat. Meski begitu, kita mengikuti jalan pendapat terbanyak, yang diikuti oleh ulama.
Manusia memang diberikan beberapa pilihan untuk mengubah kehidupan. Bahkan Rabb juga memberikan senjata doa kepada umat Baginda Nabi Muhammad Saw., untuk mengubah takdir buruk menjadi baik. Pun, sebisa mungkin kita ikut berkontribusi dalam peradaban. Jangan sampai Islam menunjukkan kemunduran dan ghirah yang loyo. Sebaliknya, memang sepatutnya diri terpacu untuk semangat melakukan hal produktif.
Meski demikian, ah, alasan. Lagi-lagi alasan. Berhentilah membuat alasan duhai diri. Seorang pejuang sejati tidak akan pernah mengeluh, bukan? Ia akan berpacu dengan waktu, keadaan dan solusi untuk menemukan jalan keluar. Bukan malah loyo ketika dihadapkan pada kenyataan.
Tirakatlah! Mungkin jiwamu meronta rindu kepada Rabbnya. Tirakatlah! Hingga engkau menemukan kembali siapa sejatinya dirimu. Jika sudah bersua, lakukan apa yang menjadi tugasmu di sini. Kita berpacu dengan waktu, bukan? Menjadi ibu seharusnya tidak menjadi alasan engkau berhenti. Justru engkau akan sangat tangguh sebab telah menjadi ibu.
Blitar, 13 Oktober 2023
Comments
Post a Comment