Peak of Stuck

 


To be honest, hari ini saya berada pada peak of stuck. Rasa untuk belajar persiapan sudah menurun. Padahal seharusnya saya ingat cita-cita saya, tujuan saya, harapan yang tertumpu pada saya. Oleh karena itu, catatan ini saya buat, dalam rangka mengeluarkan energi negatif yang mungkin bersarang di dalam diri.

Saya merasakan lelah sekali. Fisik saya sedang tidak baik-baik saja, lantaran saya merasakan pusing. Pusing ini menjalar dari rasa sakit gigi yang kemudian membuat gusi saya bengkak dan saraf-saraf saya terkena. Alhamdulillah. Semoga menjadi lantaran turunnya maghfirah Allah Swt untuk menikmati rasa sakit saat ini. Amin. Namun, jujur saya tidak ingin melakukan hal apapun. Yang ingin saya lakukan hanya berbaring dan tidur, atau menikmati war politik di akun twitter.

Meski demikian, saya mencoba mengamalkan ijazah amalan dari Prof. Ngainun Naim ketika beliau mengisi Ruang Literasi dahulu, yakni ‘Allahumma mekso awak.’ Meski memang hanya sedikit yang saya baca, atau latihan soal, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Selain itu, entah mengapa saya sulit sekali mengembalikan fokus saya. Rasanya seperti mengangankan sesuatu yang lain. Dan ini cukup mengganggu studi saat ini. Sedangkan time is ticking, sehingga sebisa mungkin, saya harus memanfaatkan waktu sebaik sebisa saya saat ini. Jangan sampai kesempatan untuk belajar ini terbuang percuma tanpa ada kemanfaatan.

Mungkin beberapa hal yang harus saya lakukan agar kembali fokus antara lain sebagai berikut, 1) Istirahat yang cukup. Jika saya cukup tidur, fisik akan bugar. Jika fisik bugar, maka studi tentu akan lancar. Besok, ditemani oleh mas suami, saya akan diantarkan ke dokter gigi guna menambal gigi yang berlubang. Semoga, rasa pusing dan saraf yang terkena hingga kepala dan bahu bisa terobati. Jika memang belum, kami harus ihtiar mencari alternatif lain, yakni pijat saraf. Sebisa mungkin, saya berharap tidak perlu opname kembali, sebab pekan depan sudah terjadwal untuk visitasi kampus, sedangkan saya menerima tugas vital di sana. Selain itu, waktu yang ada sekarang ingin saya gunakan semaksimal mungkin untuk persiapan.

Kedua, saya harus mengingat kembali tujuan saya memulai ini semua. Saya memulai ini bukan semata-mata demi duniawi semata, melainkan lebih dari itu, demi kemanfaatan yang lebih luas, baik untuk agama, bangsa, negara, anak didik, keluarga, dan masyarakat. Jika saya memilih menyerah sekarang, saya pasti akan menyesal dengan sangat di masa depan karena tidak memilih untuk berjuang. Padahal musuh yang dihadapi adalah diri sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi pemenang di luar sana jika menghadapi diri sendiri saja saya KO. Ini harus saya ingat berulang-ulang. Saya harus mengingatkan diri sendiri, jika musuh saya bukan orang lain, melainkan diri saya sendiri.

Ketiga, saya memiliki cita-cita itu untuk memuliakan orang tua saya, dunia akhirat. Beliau, orang tua saya sudah membekali dengan ilmu. Dengan bekal dari beliau pula, saya berharap Allah memperkenankan saya memuliakan beliau berdua. Prosesnya memang tidak mudah. Pejuang sejati, mana mungkin memiliki jalan yang mulus? Seseorang disebut sebagai pejuang ketika mereka mampu menaklukkan tantangan. Justru dengan tantangan tersebut, seorang pejuang bisa tumbuh. Saya ingat nasihat Tan Malaka, yakni terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Harus mengalami benturan berulang-ulang agar bisa memiliki bentuk yang diharapkan. Pun, perbedaan intan dan batu biasa juga dilihat dari bagaimana mereka mampu bertahan untuk mengalami tempaan panas. Semakin panas tempaannya, akan membuatnya semakin bernilai. Begitu pula dalam hidup. Jika tempaan hidup sangat keras, besar kemungkinan kita akan menjadi seseorang yang tangguh dan bernilai. Bukankah apa yang tidak membunuhmu, menguatkanmu?

Baiklah, meski singkat, saya menikmati perubahan energi yang saya rasakan setelah menulis. Begitulah, duhai diri. Jika engkau sedang stuck, maka menulislah. Jika engkau memiliki pengalaman yang mendominasi pikiranmu, maka menulislah, sebab menulis adalah obat dan kawan terbaik untuk mendengarkan kesah kita pun memberikannya solusi. Terima kasih kepada diri saya sendiri yang memilih untuk menuangkan perasaan ini dalam tulisan. Saya bisa mengeluarkan energi negatif, dan insyaallah menggantinya dengan energi positif.

Comments

Post a Comment