Suamiku Hebat

 


            Catatan ini saya buat tatkala putri kecil saya ikut uti dan kakungnya ke tetangga sebelah, mengantarkan uti untuk tanda tangan administrasi kader posyandu kelurahan. Karena ada waktu, saya pun berusaha memanfaatkannya untuk menulis, sebuah kesenangan, sebuah self-healing terbaik yang sudah cukup jarang saya lakukan beberapa tahun ini.

            Saya tidak sedang merutuki takdir, sebaliknya saya sangat mencintai kehidupan yang Allah hadirkan saat ini. Meski memang kurang produktif dalam tanda kutip, namun ketika mengingat jika suatu masa saya pasti akan merindukan saat-saat ini, jika suatu masa entah dalam waktu dekat atau tidak, saya akan melanjutkan jenjang karir untuk ikut cawe-cawe berkontribusi dalam dunia pendidikan, maka saya benar-benar menikmati masa ini, masa ketika saya bisa bercanda ria 24/7 dengan putri kami. Selain itu, Zoya juga akan terus tumbuh. Dia akan menjadi gadis cantik, bukan lagi batita yang bergantung kepada mamanya. Membayangkan Zoya lebih mandiri, lebih besar, saya cukup terenyuh. Sebagai ibu, walaupun lelah bukan main sebab mengurus seluruh kehidupan batitanya, pun kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, dan lainnya, saya tetap menikmatinya. Sebab tidak selamanya hal-hal ini akan saya nikmati. Selagi bisa, saya akan terus mencecap detik demi detik, membau tubuh mungil si kecil yang khas, juga memeluk, menggendong tubuhnya yang semakin besar.

            Saya tidak menyesal, meski dalam usia ke 28 ini saya masih belum memiliki status karir yang pasti, saya tidak menyesal. Justru saya sangat menikmatinya. Seusai menikah, alhamdulillah saya bisa menghabiskan waktu dengan keluarga hingga saat ini. Saya bisa bersama dengan mas suami, setiap senja kami berjalan-jalan sembari menggendong Zoya kecil untuk sekadar cari angin, melepas jenuh setelah seharian beraktivitas di rumah. Setiap senja, kami mengelilingi dusun Srigading, Plosokandang, hingga terkadang sampai ke Dusun Solojeneng juga. Tidak jarang, ketika musim layangan, papa membelikan layang-layang kecil, dan menerbangkannya di lapangan dekat masjid raya Sumbergempol. Pun juga sering kami mencari makanan camilan seperti bakso dengan diantar motor Vario putih biru 125 cc itu, papa mengajak saya dan Zoya keliling daerah Doroampel, hingga Serut.

Ah, momen demikian sangatlah berharga. Sebab hari ini, kami, papa dan kami, terpisah oleh jarak. Namun, kami yakin jika hari ini kami sedang diuji untuk tirakat. Meski jarang bersua secara raga, insyaallah secara hati, kami senantiasa bercengkerama. Papa berjuang di Tulungagung, pun saya juga sedang berjuang di Blitar. Sebab beberapa alasan, saya memang harus tinggal di Kota Blitar. Tidak masalah, memang. Bukankah kita ini tinggal menikmati dan menjalani takdir saja? Jika sudah demikian, hidup akan damai, sebab kita bisa menerima hal-hal yang menjadi pilihan kita pada masa silam.

Di Blitar, sejujurnya saya bahagia sekali bisa menempel kembali dengan keluarga Blitar. Zoya juga memiliki kawan, yakni keluarga Blitar yang ramai. Di Tulungagung, memang lokasi rumah kami ada di dalam kompleks keluarga yang mana rumah yang ditinggali hanya rumah saya. Sehingga pendidikan sosialisasi juga cukup jarang saya berikan di sana. Mau sosialisasi dengan siapa lha wong manusianya cuma mama dan Zoya, papa juga jarang di rumah. Meski memang hanya kami manusia di kompleks rumah, namun halaman belakang kami seperti kebun binatang. Ada kucing bernama Deyek, kucing lain yang gemoy-gemoy, ayam-ayam yang cukup bar-bar, merpati, cicak, tikus, laba-laba, kecoak, tokek dan lainnya yang merupakan piaraan tante samping rumah.

Selain itu, karena motor masih satu, maka mobilitas pun terbatas. Pun, mas suami sangat tidak suka jika bepergian dengan mobil kecuali mengantarkan kami Blitar-Tulungagung. Bagaimana lagi, memang demikian adanya. Mas kurang suka mengendarai mobil karena menurut beliau, mobilitas jadi terbatas, tidak bisa masuk gang kecil. Selain itu, boros bahan bakar. Saya tertawa mendengar celetukan beliau.

“Itu karena,” jawab saya, “Papa itu tidak bakat naik mobil. Naik mobil mengantuk. Masuk ke ruang ber-AC langsung flu disusul demam. Huf.”

“Ya begini adanya Mas. Maaf, nggih,” ucapnya dengan tampang memelas.

“Tidak, Pa. Itu apa-apa, masalah buat mama ketika papa enggak bisa berada di ruang ber-AC. Begitukah papa berharap mama menjawab? Kan ya konyol sekali alasannya. Mama menikahi akhlakmu, karaktermu, pribadimu, Pa. Masa iya sudah anak satu yang kemarin mau dua kemudian mama bilang gitu.”

“Ya sudah to,” jawab beliau sembari nyengir.

Bagaimanapun, begitulah papa. Meski sederhana, saya sangat mencintai beliau. Alasan saya mau dipinang oleh beliau, karena saat remuk-remuknya, jatuh sejatuh-jatuhnya, hanya beliau yang menunjukkan tekad yang serius. Perempuan memang suka diperjuangkan. Perjuangannya bukan hanya dari mulut, melainkan dalam tindakan. Saya juga mencintai bagaimana beliau melakukan hal-hal sederhana yang menunjukkan cintanya yang luar biasa. Seperti saat mau naik mobil, beliau bukakan pintunya, saat naik motor, beliau siapkan panjatannya, saat saya kerepotan dengan barang bawaan, beliau ambil alih langsung tanpa banyak kata, saat beliau mendidik saya bertutur lembut dan halus, serta segala hal yang beliau lakukan kepada saya.

Walau papa memang bukanlah orang yang mentereng dengan jabatan, pekerjaan dan status sosial lainnya. Namun beliau senantiasa mensupport saya untuk mewujudkan cita-cita saya. Bahkan, beliau memfasilitasi saya dengan fasilitas terbaik, fasilitas yang paling saya suka.

Terima kasih ya Allah, mengirimkan suami sebaik, selembut, dan bertanggungjawab seperti beliau. Doa terindah untuk keluarga kami, pun keluarga Pembaca sekalian.

Blitar, 24 October 2023

 

Comments