Aja Mati Tanpa Aran, Petuah Ning Khilma di Kopdar X SPK



Seusai menghadiri talkshow literasi yang diadakan berbarengan dengan kopdar X Sahabat Pena Kita di UNESA, saya merenung cukup lama. Sebab dalam masa maternity leave, saya sudah pernah berperang melawan diri yang kemudian membuat saya memilih untuk ‘menikmati’ masa ini daripada ngoyo terhadap hal yang tidak mampu saya lakukan.

Sejujurnya, ketika berada dalam masa ‘hening’, saya sangat merindukan proses yang pernah begitu riuh dijalankan. Tidak sebentar air mata menetes terhadap keadaan yang saya alami saat itu. Karena sudah lelah, akhirnya saya berpikir, mungkin nanti masih ada waktu untuk saya, mungkin nanti masih ada kesempatan lain yang menempatkan saya kembali riuh dalam proses. Untuk tiba di fase legowo, saya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bagi saya, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Membutuhkan waktu sekian lama untuk membuat saya berpikir, baiklah, hidup yang saya jalani sekarang dinikmati saja.

Saya pernah iri kepada mereka yang bisa memiliki atau menciptakan kesempatan untuk terus berproses. Sedangkan dalam masa maternity leave, waktu untuk diri sendiri saja sangat jarang dimiliki. Bayi cantik kami membutuhkan saya sepenuhnya. Sedangkan di rumah tidak ada orang lain selain saya dan suami. Suami lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sebab beliau berkewajiban untuk menafkahi kami. Fisik, pikiran dan hati saya sepenuhnya terfokus kepada urusan rumah. Berada dalam masa itu pun, saya yakin Allah sudah menakar dan memberikan saya tempat terbaik, kesempatan terbaik untuk menjadi seorang ibu serta istri. Seperti yang disampaikan oleh Ning Khilma, senantiasa ada fadhal, yakni ada kebaikan di balik sesuatu. Sehingga akhirnya, saya merasa bersyukur, meski sempat mengalami stagnasi dalam proses, saya bisa menjadi seseorang yang baru, yakni seorang istri dan ibu.

Walau demikian, saya tetap membuat perjanjian terhadap diri sendiri. Jika kesempatan untuk berproses hadir kembali, jika mampu, saya harus berlari mengejar ketertinggalan yang sangat jauh dari kawan-kawan. Kawan-kawan sudah berlari sejak lama. Sedangkan saya memilih berhenti sejenak. Tentu hal ini membutuhkan effort yang tidak mudah untuk tiba di jajaran yang sama. Jika memang tidak mampu menyamai dengan berlari, setidaknya bisa mengejar dengan berjalan ataupun merangkak, asalkan tidak berhenti. Di bagian ini, saya bersyukur sekali memiliki komunitas literasi yang di dalamnya senantiasa mempraktikkan fastabihul khairat.

Hal yang membuat hati saya tergerak untuk kembali berproses meski thimik-thimik adalah ucapan yang disampaikan oleh Ning Khilma. Beliau menyampaikan, menjadi ibu yang bisa mengurus segala urusan rumah tangga bukanlah seseorang yang multitalenta. Benar, seorang perempuan yang mengurus rumah, fisik, pikiran dan hatinya sudah terkuras sepenuhnya untuk mengurus rumah. Pada bagian ini, sebenarnya hati saya membatin, Ning Khilma mungkin dibantu mbak-mbak pondok untuk mengasuh putra-putri beliau, memasak serta membersihkan rumah. Sedangkan perempuan lain, mungkin melakukannya sendirian, termasuk saya. Saat saya membatin demikian, Ning Khilma melanjutkan ucapan beliau, yakni menjadi seseorang yang produktif bukanlah tentang menjadi orang yang ambisius, melainkan sebagaimana ungkapan Semar, aja mati tanpa aran, jangan mati tanpa nama atau jangan mati tanpa memiliki karya. Tidak semua orang memiliki berkah bisa menulis. Jadi dengan menulis, sejujurnya itu adalah wujud syukur kepada Allah Swt., yang sudah memberikan karunia untuk bisa menulis.

Saat Ning Khilma menyampaikan hal tersebut, hati saya berdesir, mata saya berkaca-kaca. Mungkin inilah jawaban yang saya cari selama ini. Sudah diberikan mampu untuk menulis, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik, malah memilih membuat seribu satu alasan untuk tidak melakukannya. Bukankah setiap penulis senantiasa memiliki tantangannya? Ini adalah tentang menaklukkan tantangan tersebut, dan terus memilih untuk berproses, meski pelan sekali.

Saat ini, putri kami sudah masuk dalam usia batita. Saya pun tinggal mepet dengan orang tua di Blitar, yang berarti Zoya sering sekali bermain dan diasuh oleh keluarga Blitar. Semoga dengan adanya jeda tersebut bisa membuka kesempatan untuk kembali produktif, mencuri waktu dan memberikan prioritas terhadap proses menulis.

Jika saya tidak ikut Kopdar SPK ke X di UNESA kemarin, mungkin hingga saat ini saya tetap berpikir bahwa nanti masih ada kesempatan, nanti masih bisa bergerak lagi, nanti, nanti dan nanti. Padahal, menurut Ning Khilma, bukankah memulai lebih awal akan membuat kita sampai lebih awal pula. Ning Khilma juga menyampaikan ucapan para pinisepuh, yang saya dengar pertama kali dari proses pengukuhan guru besar Prof. Dr. Ngainun Naim, M.HI, yakni teken, tekun, tekan. Maknanya, pada kata teken berarti di sana ada himmah, pada term tekun bermakna istiqomah, pada term tekan memiliki makna hasil maqsud. Mengucapkannya memang terasa ringan, namun mempraktikannya membutuhkan keteguhan hati yang tidak goyah, juga proses membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk senantiasa berada di lajur perjuangan.

Ning Khilma menambahkan empat komponen yang perlu dicatat saat melakukan sesuatu yang baik, termasuk dalam proses menulis. Mereka adalah seneng, kenceng, kepareng, dan wilujeng. Sopo seneng bakale langgeng. Siapa yang menyenangi sesuatu, tentu bakal langgeng. Sebab ketika kita senang, dalam proses menulis, contohnya, tidak akan ada beban yang menggelayut sebab kita senang melakukannya. Jika sudah menyenangi sesuatu, beban berat akan terlepas dan yang ada adalah rasa bahagia sebab telah melakukan perkara yang membuat hati bahagia.

Poin kedua adalah kenceng. Kenceng memiliki makna senantiasa istikamah untuk melakukan perkara baik tersebut. Tidak goyah, tidak mudah berbelok saat menghadapi rintangan. Hal ini, dalam dunia menulis dibutuhkan agar mencapai tujuan, yakni produktif menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.

Poin ketiga adalah kepareng. Kepareng adalah izin. Sebagai seorang penulis, penting bagi kita untuk meminta izin kepada diri sendiri, meminta izin meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan materi untuk menulis. Dengan begitu, kita sedang menghargai diri sendiri sehingga saat berproses, akan menjadi mudah sebab kita sudah izin kepada diri sendiri. Selanjutnya, kita juga perlu meminta izin kepada keluarga, kepada suami, ibu, bapak atau lainnya, yang berkaitan erat kepada kehidupan keseharian kita. Mengapa demikian? Sebab dalam proses menulis, kita membutuhkan waktu untuk melakukannya. Jika orang-orang memberikan dukungan, maka proses akan mudah dilakukan sebab kita terbantu dan tidak memiliki beban terhadap mereka.

Poin terakhir dari nasihat Ning Khilma adalah wilujeng. Wilujeng bermakna berkah, doa keselamatan, atau kemenangan diri. Salah satu catatan menarik dari Ning Khilma adalah, ketika menulis atau dalam proses membaca, diusahakan untuk memiliki wudhu. Selain itu, saat menulis juga disampaikan hajat dari karya tersebut, kemudian menirakati karya, sehingga muara dari karya yang kita tulis memiliki nilai keberkahan, tidak kering, namun memiliki ruh. Mendapatkan nasihat tersebut, rasanya bukan hanya semangat yang membara, melainkan titik hati ikut membara, ghirah untuk berbuat sesuatu demi umat yang sempat padam rasanya seperti menyala kembali.

Dalam proses menulis, tentu akan ada fase spirit menulis yang naik turun. Saat naik, alhamdulillah, sehari mungkin bisa membuat banyak artikel. Namun saat turun, kita perlu untuk mencari pemantik agar bara semangat kembali berkobar. Selain itu, ketika kita menulis memiliki niat tulung tinulung, amal jariyah, membantu orang, maka insyaallah, dengan ghirah tersebut, rasa malas akan ambyar, kalah dengan api semangat perjuangan. Oleh sebab itu, penting untuk menentukan niat. Selain itu, membaca kisah-kisah teladan dari para ulama Muslim yang hidupnya mengabdi untuk umat melalui ilmu dan karya bisa memberikan nyala semangat kepada kita.

Mungkin demikian catatan ihtisar dari petuah Ning Khilma. Saking banyaknya ilmu dari Kopdar X, baik dari Ning Khilma atau Dr. Emcho, akhirnya yang terekam di catatan ini masih sebagiannya. Insyaallah catatan selanjutnya akan segera menyusul. Terima kasih berkenan membaca.

 

Blitar, 11 September 2023

 

 

 


Comments

Post a Comment