SAAT IBU DAN BAYI SAKIT
Dua hari ini, saya dan si kecil terserang demam. Alhamdulillah, sekarang
sudah mendingan. Dibandingkan dengan hari kemarin, saya merasa lebih baik. Hanya
mungkin sisa pusing sedikit. Selebihnya, saya hanya butuh waktu untuk tidur
sebentar, untuk mengembalikan energi dan tenaga.
Tidak menyangka, gatal pada tenggorokan pada hari Rabu malam kemarin
memberikan dampak demam kepada saya. Karena saya tidak pernah jauh dari si
kecil, akhirnya dia tertular ikut demam. Meski ketika sudah merasa tidak enak
saya langsung mengenakan masker saat tidur maupun terjaga, hal itu tidak
mencegah si kecil untuk baik-baik saja. Akan tetapi, saya yakin dengan terus
mengenakan masker bisa mengurangi dampak yang lebih buruk untuk si nduk.
Kemarin adalah puncak paling lemah. Saya merasa tidak berdaya sama sekali. Untuk
sekadar bangun dari tidur saja, saya tidak kuat. Untungnya, saya diberikan
kompensasi berupa haid. Alhamdulillah, segala puji hanyalah patut diberikan
pada Allah. Sebab Rabb yang paling memahami, bagaimana perjuangan seorang ibu
yang sedang sakit, ditambah putri bayinya juga ikut sakit.
Saat badan lemah-lemahnya, lidah terasa begitu pahit. Sedangkan Zoya juga
demikian, akhirnya ia hanya minum susu dari saya. Jika ingin menjerit lelah, ya
Allah, saya hanya ingin istirahat sebentar, saja. Namun ketika hati kembali
mengimani bahwa Allah memberikan nikmat luar biasa terhadap hal tersebut, saya
menikmatinya. Saat Zoya minum ASI dan tertidur, saya ikut tidur. Dia tidur
tidak melepas ASI, sampai badan dan punggung rasanya pegal. Namun, saya tidak
memungkiri, tidur pada saat sakit adalah nikmat tersendiri. Beruntungnya, Zoya hanya
bangun sebentar, minum, diam. Dia tidak rewel dan mengharuskan saya
menggendongnya ke sana ke mari padahal badan sedang lemas.
Seharian kemarin, mata saya berkunang-kunang. Badan terasa sangat dingin,
dan terkadang tiba-tiba keringat mengucur dengan derasnya. Saya kira saya telah
sehat dan sembuh, ternyata ketika saya buat berdiri, masyaallah, rasanya
seperti sedang upacara di lapangan di tengah hari yang sangat terik. Akhirnya saya
mengurungkan diri. Bersyukur sekali pada saat itu ada adik bungsu saya di
rumah. Dia sedang kuliah di kampus UIN Satu, dan tinggal di rumah bersama saya
dan Zoya. Setidaknya, ketika saya sedang makan atau buang hajat, Zoya diajak
oleh tantenya. Sebab ketika bayi sakit, dia akan sangat membutuhkan perhatian
lebih.
Kemudian, saat badan sedang lemah, saya tidak nafsu makan apapun. Padahal biasanya,
setelah Zoya minum ASI, perut saya perih melilit. Akhirnya saya sering makan
untuk terus bisa memproduksi ASI berkualitas dan agar saya tetap sehat. Namun saat
itu, lidah terasa sangat pahit, benar-benar pahit. Saat makan apapun, rasanya
hanya pahit yang datang. Padahal saya masih bisa membau dengan baik. Akan tetapi,
sensitivitas naik. Saya seperti sedang hamil muda yang mual dengan bebauan
menyengat.
Kemarin adalah sakit yang mana saya benar-benar lemah. Rasa pusing yang
membuat tubuh berkunang-kunang akhirnya harus menon-aktifkan segala kegiatan,
termasuk mengajar. Jangankan untuk mengajar, sekadar makan atau melihat gawai
saja kepala rasanya seperti dihantam palu. Meski demikian, saya tetap berjuang
untuk mengasuh Zoya, sebab mas suami kerja, sedangkan adik juga memiliki
kewajiban untuk kuliah dan mengerjakan tugas.
Ah, begini ternyata rasanya menjadi
ibu. Meski sakit, harus tetap berjuang untuk mengasuh anak-anaknya. Mungkin itulah
mengapa Allah meninggikan derajat seorang ibu tiga tingkat lebih tinggi
dibandingkan dengan ayah. Meski sekarang sudah banyak aktivis feminisme yang
menyuarakan bahwa mengasuh anak adalah kewajiban bersama, akan tetapi, pada
saat itu saya tidak memiliki pilihan. Sebab satu, Zoya tidak mau makan. Mungkin
mulut mungilnya terasa pahit, seperti lidah saya. Sehingga makan apapun tidak
enak; dan dua, dia sangat bergantung kepada ASI. Jika demikian bukankah bisa
dipompa? Pernah saya memompakan ASI, namun dia tidak mau minum dari dot botol,
ataupun ketika dot itu dilepas. Alhasil, ASI yang dipompa tadi terbuang
sia-sia. Karena alasan itulah, saya tetap orang yang akan mengasuhnya. Pun,
saya tidak ingin terlalu bergantung kepada orang lain. Jika saya melakukannya,
peluang saya untuk merasa kecewa akan semakin besar. Badan sudah lemah, kepala
pusing, saya tidak ingin hati ikut-ikutan lelah. Lebih baik duduk pasrah dan
bersandar kepada Allah, memohon ampunan atas dosa-dosa dan menikmati momen ini
dengan sebaik-baiknya. Bukankah sakit adalah penggugur dosa?
Dalam hidup ini, jika iman yang dijadikan imam, maka kacamata yang
dikenakan akan tampak luar biasa. Meski mungkin bagi kacamata yang lain tampak
biasa saja, akan tetapi ketika yang menjalaninya penuh dengan rasa syukur dan
rida dengan ketentuan Allah, hidup akan terasa sangat nyaman dan senantiasa
rindu kepada-Nya.
Saat ini memang gerak dan produktivitas saya benar-benar terbatas. Selain mengasuh
bayi kami, saya juga harus menjaga kondisi badan dengan baik. Sebab, ketika
saya sakit dan Zoya ikut tertular, rasa lelah yang datang akan berkali lipat. Namun,
saya tetap berpasrah dan tawakal kepada Allah. Sebab Allah Mahatahu, sampai
batas mana hamba-Nya mampu melalui sebuah ujian.
Terima kasih ya Allah, memberikan saya pengalaman luar biasa dalam hidup. Yakni
menjadi seorang istri dan ibu. Saya yakin, jika hal ini diniatkan ibadah, maka
hal tersebut bisa menjadi pintu rida dan rahmat Allah. Pada hidup ini, apakah
ada hal lain yang diinginkan selain cinta-Nya kepada kita?
Salam takzim saya kepada ibu-ibu hebat. Selamat berjuang di ladang
jihadnya.
Tulungagung, 19 Maret 2022
04.30-12.13 WIB
Comments
Post a Comment