Ujian
Picture Source: https://twitter.com/LAZISMU/status/872612990763315200/photo/1 |
Akhir-akhir ini, saya tidak
memiliki waktu untuk menulis. Jika dahulu saya benar-benar membenci alasan ‘tidak
memiliki waktu’, maka kali ini, saya benar-benar jarang bisa menyentuh laptop. Menjadi
seorang ibu ternyata pekerjaan yang mengharuskan saya on selama 24 jam sehari. Saya
menikmatinya, hanya sayang, saya tidak bisa lagi bergumul dengan kata seperti
dahulu.
Zoya memang sering diajak
neneknya. Namun pada jam-jam saya mengajar. Begitu saya rampung, bayi mungil
itu kembali kepada dekapan saya. Tidak mungkin saya tega meninggalkannya
sendiri, asyik bersama laptop atau gawai. Sedangkan proses menulis membutuhkan
waktu dan sinkronisasi antara pikiran dan jari-jemari. Dan dia, bayi mungil itu
menjadi tanggungjawab saya sebagai seorang ibu.
Saya tidak menyalahkan siapapun,
karena inilah kehidupan saya saat ini. Terkadang, saya memang merasa sedih,
sedih dengan pikiran yang terlampau berangan-angan. Hal itu terjadi menilik
kehidupan saya saat ini berbeda dengan kehidupan saya dahulu, pun cita-cita
saya. Jika dahulu, saya pandai merawat diri, maka sekarang, yang terjadi adalah
sebaliknya. Dan, menjadi perawat Zoya secara penuh sekaligus pekerja adalah hal
yang luar biasa. Waktu istirahat sangat jarang, dan saya hampir lupa, bagaimana
rasanya badan yang tidak pegal-pegal. Namun, pilihan yang hadir di hadapan saya
adalah, saya menerimanya, atau mengeluhkannya. Hanya dua opsi itu, tidak ada
pilihan lainnya.
Saya juga sangat jarang membaca,
sebab saya tidak tega melihat Zoya bermain sendirian. Sedangkan gadis mungil
itu, kelak akan tumbuh besar. Jika saya diizinkan untuk bekerja di luar, maka
waktu bersamanya akan semakin sempit. Belum lagi ketika dia harus menuntut ilmu
di luar daerah. Saya ingin menikmati momen demi momen. Alasannya sederhana,
saya mencintai Zoya.
Menjadi ibu, ternyata merupakan
hal yang sangat luar biasa. Zoya memberikan banyak sekali pelajaran dan
pengajaran bagi mamanya. Saya dilatih untuk memberi tanpa pamrih, mencintai
dengan tulus dan ikhlas, dan merelakan diri untuk orang yang dicintai.
Pernah suatu ketika, saya merasa
kelelahan. Tidur sangat jarang, ditambah harus terus mengasuh si kecil. Punggung
belakang rasanya sangat nyeri. Namun tidak ada pilihan selain saya tetap harus
merawat Zoya. Sebenarnya saya hampir tidak kuat, ingin pingsan, namun saya
terus mensugesti diri saya sendiri bahwa saya kuat. Saya pasti kuat. Bukankah saya
perempuan kuat, terdidik dan tertempa dengan liat sejak kecil? Maka,
alhamdulillah, saya tetap bisa tegak, berdiri dan terus merawatnya.
Ada kalanya, saya lelah, sangat
lelah. Saya hanya ingin dibantu untuk merawat Zoya sebentar saja. Dia sangat
enak perawatannya. Bayi mungil itu tidak suka menangis. Dia hanya menangis
ketika lapar dan mengantuk. Hanya itu. Lainnya sangat mudah. Bahkan sangat mudah
mendapatkan tawa Zoya ketika dia dalam keadaan fresh.
Pernah suatu ketika, tatkala saya
demam tinggi, kelelahan. Saya hanya bilang ‘saya sangat pusing’. Namun dijawab,
‘itu tetap tanggungjawabmu sebagai ibu’, dan yang mengatakannya sesama
perempuan. Ah, rasanya, pusingnya semakin menjadi-jadi. Apakah tugas mengasuh
anak hanya tugas ibu? Bagaimana dengan ayah? Padahal, tugas ayah untuk mencari
nafkah juga diperankah oleh sang ibu. Apakah tidak bisa saling berbagi peran?
Saya, termasuk perempuan yang mendukung
feminisme. Namun, dalam praktiknya, saya tetap kalah dengan dogma agama. Argumen
saya tetap kalah dengan dogma patuh kepada orang tua dan suami. Ego harus
ditekan, dan logika saya harus bermain dengan baik. Sebagai perempuan, saya
tidak mau hanya menggantung kepada orang lain. Terlebih, karena saya anak
pertama, saya terbiasa untuk berdiri di atas kaki saya sendiri, tidak
menggantungkan diri kepada orang lain.
Zoya adalah cinta paling murni
bagi saya. Saya ingin melihatnya tumbuh dengan baik, penuh kasih sayang, dan
penuh dengan ilmu. Sebenarnya saya ingin merawatnya dengan tangan saya sendiri.
Namun, pilihan yang hadir tidak banyak. Dia akan saya ajak untuk berjuang,
berjuang memberdaya dan memaksimalkan potensi yang ia miliki.
Ah, menulis. Menulis adalah
proses yang bisa meringankan pikiran saya. Sebab, kata adalah sahabat yang
tidak akan pernah abai. Ia selalu mendengarkan, dan terkadang, solusi terbaik
hadir ketika diri bergumul dengan kata.
Malam ini, sebenarnya saya banyak
sekali pikiran. Entah mengapa, beberapa pikiran berat saling berseliweran. Setelah
memastikan si kecil tidur pulas, pukul 12.00 malam tadi, maka saya memutuskan
untuk menuangkannya dalam kata. Seperti biasanya, siapa tahu, ada solusi yang
tiba-tiba hadir menjadi penenang bagi saya.
Hidup memang tidak lepas dari
ujian. Hanya saja, setiap manusia diberikan ujian yang berbeda. Bukankah sejak
dahulu, saya selalu mendapatkan kejutan indah dari Rabb? Ketika menjalani
ujiannya, memang sangat sulit. Namun, bukankah saya selalu terpana dengan hasil
akhirnya? Mungkin problem saya adalah tentang iman, syukur dan qanaah. Mungkin,
iman saya terhadap keputusanNya teralihkan oleh logika-logika manusiawi saya. Atau
mungkin saya kurang bersyukur dengan kehidupan saya yang serba ada,
dibandingkan dengan mereka, di luar sana yang serba kekurangan di zaman yang
sangat sulit ini. Atau mungkin pula, saya kurang legowo, kurang qanaah akibat
kurangnya iman dan rasa husnuzan kepadaNya. Astaghfirullah. Rasa tenang hanya
datang dariNya. Apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang hamba selain mengadu
kepadaNya? Semoga Allah berkenan memberikan ketenangan dan kelapangan. Amin.
Tulungagung, 19 Juli 2021
Benar sekali, hadirnya si kecil sedikit banyak mengubah ritme. Dulu mau ngopi tinggal ngopi, mau nulis tinggal nulis, nah sekarang sudah berbeda. Meskipun demikian, tetap berusaha "nyolong" waktu untuk tetap menulis. Kelak ketika si kecil sudah mengerti pastilah bangga punya orangtua yang tetap gigih menyalurkan hobi--dalam hal ini menulis--di tengah repotnya mengurus si kecil. Intinya nikmati prosesnya, saya pun demikian mbak Zahra. Apalagi menjadi orangtua di usia tergolong muda, emosi pun fluktuatif. Tapi dengan begitu bisa banyak belajar. Wkwkwk
ReplyDeleteAyah hebat yang luar biasa. Pasti kelak, si kecil ketika sudah tumbuh besar akan sangat bangga bisa memiliki orang tua seperti Mas Kamim. Amin. Benar Mas. Harus pinter2 cari waktu untuk menulis. Bismillah, semoga bisa nderek Mas Kamim. Thank you udah mampir, Mas.
DeleteKudapan pagi yang bernutrisi. Tetap semangat Bunda Zoya. Sehat selaluπ
ReplyDeleteHehe Ibu cantik bisa saja. Terima kasih Ibu πππ
ReplyDelete