Pada Suatu Senja
Hari ini sangat melelahkan. Entah mengapa tubuh rasanya lemas, kurang fit. Cuaca terasa lebih dingin dari biasanya. Namun alhamdulillah, saya tidak batuk, tidak pilek, dan tidak menemui gejala lain yang terindikasi dalam COVID-19. Hanya lelah saja. Mungkin dengan tidur yang cukup, badan bisa kembali bugar.
Selepas mengajar, sekitar pukul empat sore, saya memutuskan untuk berbaring di samping Zoya yang sedang terlelap. Dia sempat terbangun sebentar. Namun, begitu mendengar suara mamanya yang menenangkan, dia terpejam kembali. Saya langsung merebahkan punggung selepas dua jam duduk di depan laptop. Rasanya bisa berbaring selepas kerja dan merawat si kecil sungguh sangat nikmat.
Tidak berapa lama saya langsung tertidur, meski tidur-tidur ayam. Alasannya belum bisa nyenyak karena saya belum mandi, belum salat Ashar, dan belum memandikan Zoya. Ketika hendak tiba di fase tidur yang sebenarnya, alhamdulillah mas suami membangunkan, menyampaikan sudah menyiapkan air untuk mandi si kecil. Sambil mengatakan seperti itu, beliau datang membawakan secangkir susu almond panas. Saya tersenyum, sangat bersyukur. Kemudian, saya pun bangun, dan melihat jam, sudah pukul 16.15 WIB. Sudah sangat sore. Zoya segera saya angkat, saya beri minum sembari berusaha membangunkannya agar tidak kaget ketika mandi nanti.
Tidak lama, mas suami membereskan tempat tidur, menyiapkan perlak untuk Zoya mandi, beserta handuknya. Saya sangat bahagia. Di kala badan sedikit lebih lemas dari biasanya, mas suami begitu perhatian. Meski setiap hari beliau memang selalu penuh perhatian.
Saya masih menyusui Zoya, sembari berusaha membangunkannya. Di tengah menyusui, mas suami keluar kamar, mungkin melanjutkan aktivitas sore. Saban sore mas selalu membersihkan warung, rumah, membuang sampah, menyiapkan air, mencuci piring, kadang mencuci baju kami dan lainnya. Wajar jika beliau repot.
Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian, mas kembali membawa sepiring nasi beserta sayur dan tidak lupa sosis goreng. Ya Allah sempat-sempatnya beliau menyiapkan makan untuk saya. Sedangkan selama ini saya hanya berfokus kepada Zoya. Beliau mengurus diri beliau sendiri, bahkan sempat merawat saya.
Sembari menunggu nasi dingin saya memandikan Zoya. Aktivitas memandikan si kecil memang sangat mengasyikkan. Ada banyak tahap agar si kecil bisa segar dan wangi.
Selepas dia mandi, sudah cantik dan wangi, saya menitipkan sebentar kepada papanya. Saya izin mandi dan salat. Namun ternyata, setelah saya mulai mengayunkan gayung pertama, samar-samar terdengar si kecil menangis. Mungkin kurang kenyang minumnya tadi. Sebagai seorang mama, saya langsung lekas-lekas merampungkan mandi. Ternyata, ibuk langsung mengambil alih Zoya, dan meminta topi, untuk menutupi kepalanya yang gundul hehe. Zoya diajak ibuk jalan-jalan keluar, sedangkan mas masuk ke dalam kamar, meminta saya segera makan.
Di tengah perbincangan, ada penjual donat lewat. Terbirit-birit, saya langsung berteriak 'tumbas'. Setelah memastikan si penjual berbalik arah, saya segera berlari ke dalam, mengambil uang.
"Katanya uangnya habis, kok masih jajan?"
"Pas bersih-bersih tas, mama nemu uang, yang. Hehe. Daaa," ucap saya sembari berlari keluar.
Mas hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Setelahnya, saya masuk lagi ke kamar, pamer donat kepada mas suami. Mas suami menyampaikan tidak mau. Saya tertawa. Beliau masih trauma saya belikan donat yang ternyata menggunakan minyak jelantah, dan berujung batuk serta radang tenggorokan. Saya menyampaikan, donatnya ini empuk dan enak, meski tidak seenak donat yang dibelikan Mamah sewaktu mas ulang tahun dahulu. Mas pun mencoba. Saya tawarkan satu tidak mau. Maunya donat yang sudah saya gigit. Kamipun asyik masyuk dengan ditemani donat sebagai kawan senja. Mumpung Zoya masih bersama ibuk.
Tidak lama kemudian, ibuk datang sembari menyampaikan bahwa Zoya masih haus. Gendongannya terlihat lebih longgar, dan si kecil Zoya sedang tidak tersenyum. Ekspresi mukanya menunjukkan dia mengantuk dan lapar.
Menjadi mama ternyata membuat saya sangat paham dengan ekspresi bayi, bahasanya dan apa yang dia minta. Akhirnya dia saya ambil alih. Melihat saya sudah asyik dengan si kecil, Mas pamit untuk ke depan. Mas selalu pamit ketika kerja, meski kerjanya di warung depan. Dan sebagai istri, tentu saya menyambutnya dengan mencium tangan, sembari mendoakan keberkahan untuk mas suami.
Beberapa menit setelah mas suami keluar azan Maghrib berkumandang. Zoya masih bermain-main di atas dipan. Setelah memainkan mainannya yang berbunyi dan juga memberikan mainan gantung kesukaan dia, saya melaksanakan salat maghrib. Selepasnya, dia mulai merengek-rengek, menyampaikan bahwa si kecil sudah mengantuk dan haus. Saya yang sudah mafhum langsung mengambilnya dalam pangkuan dan menyusuinya. Tidak lama, si kecil tertidur. Tidurnya begitu pulas, sampai sekarang, hampir pukul delapan.
Kehidupan saya saat ini begitu sederhana. Saya berperan sebagai seorang ibu bagi bayi kecil mungil dan sangat menggemaskan. Saya sangat bersyukur dititipkan Zoya olehNya. Hidup terasa begitu bermakna, bahagia, meski rasa capai senantiasa hadir. Capai tidak apa, karena ada obatnya. Selelah apapun saya, ketika memandang wajah cantik Zoya, rasanya saya seperti mendapatkan kan energi luar biasa. Zoya juga selalu berhasil membuat saya jatuh cinta. Dia seperti papanya, selalu membuat mamanya jatuh cinta, setiap detiknya.
Meski sederhana kehidupan saya saat ini, ketika syukur terus ditanam, kemudian tumbuh dan mekar dengan begitu indahnya, rasanya sungguh sangat nikmat.
Saya memang seorang perempuan yang ambisius. Akan tetapi saya tidak mungkin bisa hidup tanpa cinta. Sebab cinta yang menghidupkan. Dan tatkala melihat suami yang keterlaluan dalam berzuhud, saya kadang merasa MasyaAllah, tentu Dia memilihkan lelaki yang paling tepat dalam mataNya. Seorang lelaki yang sangat sederhana, tidak mau terlihat baik di mata orang. Malah sebaliknya, mas ingin terlihat rendah dan hina di mata manusia. Beliau juga tidak menuntut saya untuk melakukan pekerjaan rumah, seorang lelaki yang rela wanitanya hanya berfokus kepada anak, bahkan mengizinkan saya meraih mimpi-mimpi saya dengan tidak melupakan tugas sebagai seorang ibu dan istri.
Ketika menyampaikan mimpi-mimpi saya, mas selalu berpesan untuk menikmati proses, bukan hanya berani bermimpi tanpa berjuang. Justru lebih baik jika bisa menikmati proses dari nol, sehingga ketika sudah di puncak, rasa angkuh, sombong tidak mendominasi karena mengingat bagaimana rasanya menjadi wong cilik yang sering dipandang sebelah mata. Juga beliau berpesan bagaimana mempertajam empati, juga melatih manajemen emosi. Saya mendengarkan tuturan beliau dengan khidmat, sembari mengingat alasan bagaimana beliau bisa mencuri hati saya, dua tahun yang lalu.
Tulungagung, June 13th, 2021
9.02 PM
🌹
Cerita yang menarik mbak Ekka..
ReplyDeleteLanjutkan
Terima kasih Mas Imam.
Delete