Wigati, Sebuah Kisah Cinta Tragis bagi Seorang Manik Woro Karangan Khilma Anis
Novel Wigati membuat saya terjun
dan memasuki dunia pesantren serta keelitan polemik yang terjadi antara
keturunan ningrat Jawa dengan keturunan trah pesantren, yang kemudian menjadi
kisah bagi seorang ning, santri dan abdi kiai. Ning Khilma Anis memang selalu
memiliki plot yang cantik, menarik, dan tidak membosankan. Saya selalu menyukai
diksi, plot serta pilihan kisah yang dirajut oleh beliau dalam karya sastra
berbentuk novel. Seakan-akan Ning Khilma membawa kita dalam dunia baru yang
beliau tuliskan, merasuk di dalamnya, dan membuat emosi pembaca mengikuti alur
dari tokoh-tokoh fiktif yang beliau tuliskan.
Novel pertama beliau yang saya
baca adalah Hati Suhita. Terbukti, novel legendaris yang sangat terkenal di
kalangan santri itu membuat saya terenyak, dan tersenyum. Sebuah kisah cinta
indah yang dialami oleh Alina Suhita dan juga Gus Birru. Juga novel kedua
beliau yang membuat saya merasa masuk dalam dunia pesantren adalah novel
Wigati. Baru kemarin malam saya merampungkannya. Bedanya, di novel Wigati, Ning
Khilma menggunakan sudut pandang orang pertama, sampingan. Sedangkan di Hati
Suhita, beliau menggunakan sudut pandang orang pertama, utama.
Sebenarnya, saya ingin
menghindari segala hal yang berbau dengan pesantren, terutama mengenai kisah
cinta dengan gus. Karena memang, meski luka lama sudah mengering, namun rasanya
masih ngilu ketika kenangan kembali hadir. Dan saya ingin menutup rapat
mengenai sesuatu yang pernah membangun sekaligus menghancurkan hidup saya,
serta menghindari segala hal yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, biiznillah,
alhamdulillah, setelah berdamai dengan takdir, dan menemukan sesosok lelaki
pilihan Allah, saya kembali menemukan definisi bahagia yang hakiki. Bahkan,
lengkap sudah keluarga kami, dengan kehadiran si kecil, buah cinta kami berdua.
Seharusnya sudah tidak ada alasan lagi untuk menghindari segala yang berbau
pesantren. Bukankah saya sudah berdamai? Bukankah saya sudah bahagia? Jika memang,
suatu kala, rasa ngilu dan nyeri tiba-tiba hadir, seharusnya saya bisa
tersenyum, bukan? Tersenyum karena rajutan kisah ini langsung dipilihkan
olehNya. Dan tidak mungkin Dia menuliskan serta menakdirkan sesuatu tanpa ada
hikmah indah di dalamnya.
Rasa nyeri ini muncul kembali
ketika saya membaca kisah cinta Hidayat Jati dengan Lintang Manik Woro dalam
novel Wigati. Betapa tragis, sebab seorang Hidayat Jati adalah supir serta abdi
yang sudah dianggap sebagai putra sendiri oleh kiai besar, Kiai Ali. Sedangkan Manik
hanyalah seorang santri sahabat Wigati yang kemudian harus merelakan perasaan
cintanya kepada Kang Jati kandas sebab titah dari sang Kiai Ali, ayah kandung
Wigati yang meminta Kang Jati menjaga Wigati. Segala kenangan indah serta janji
yang telah Kang Jati ukir di dalam hati manik harus sirna sebab titah itu. Bagi
seorang abdi, tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain patuh, sami’na wa atha’na dengan sabda kiainya,
jika ingin menuai keberkahan di dalam hidupnya. Bahkan meski demikian, ia harus
rela dengan perasaan hatinya, serta melupakan janji manisnya kepada seorang
perempuan. Terkadang, hal tersebut benar-benar tidak adil bagi para perempuan
yang terlanjur membangun istana cinta sedemikian rupa. Namun, apakah yang bisa
dilakukan? Sedangkan nilai berkah terukur dari seberapa patuh seorang trah
pesantren kepada junjungannya. Memang sangat getir, namun itulah kenyataan yang
harus ditelan.
Ending yang dituliskan oleh Ning Khilma dalam novel Wigati memang cenderung kepada ending yang terbuka. Di akhir kisah, Manik dibiarkan begitu saja, tanpa didampingi oleh Wigati dan Kang Jati. Sebab keadaan Kiai Ali memang kritis pada saat itu. Sehingga semuanya hanya terfokus kepada Kiai Ali yang dibawa langsung ke rumah sakit. Sedangkan Bu Nyai bertandang ke Tuban, dan mencari ibunda Wigati, mantan istri Kiai Ali. Ning Khilma tidak mengisahkan keadaan Kang Jati dan Wigati. Namun beliau lebih terfokus kepada keadaan Manik yang terkulai dan pulang dari Probolinggo sendirian.
Banyak memang hikmah yang bisa dipetik dari kisah yang dituliskan oleh Ning Khilma ini, yakni Wigati. Perempuan memang cenderung mencintai dengan perasaan, tidak dengan logika. Sedangkan lelaki lebih mengandalkan logikanya. Meski kenyataan itu membawa getir dan kepahitan dalam hidup perempuan, sudah saatnya perempuan diedukasi untuk melibatkan logikanya dalam mencintai, tidak hanya mendominasikan hati serta perasaan. Dalam novel ini sudah ada dua perempuan yang terluka akibat mencintai karena perasaan, perta ibunda Wigati yang diceraikan oleh Kiai Ali jelang beberapa hari pernikahan, sebab nikah sirrinya. Dan kedua adalah Manik, yang harus merelakan Kang Jati menikahi Wigati. Padahal, sebenarnya Manik disukai oleh Kang Mahrus, seorang abdi kepercayaan romo kiai tempat ia menimba ilmu. Namun apa mau dikata jika hatinya tertawan oleh kharisma Kang Jati.
Kita memang tidak bisa memilih menikah dengan siapa. Namun kita selalu bisa memilih jatuh cinta kepada siapa. Meski memang, takdir kadang terlihat garang, namun di balik itu semua, Allah selalu memilihkan sesuatu yang terbaik dari yang paling baik. Sebab hanya Dia Yang Mahakasih dan Maha Penyayang.
Blitar, 29 Maret 2021
Satu catatan penting tentang cinta. Cinta itu selalu hadir melintasi nalar manusia, termasuk membobol batas kewajaran yang nampak sebagai tembok ketabuan sekalipun. Tidak ada larangan kita 'jatuh cinta', 'menatuh hati' dan 'mencintai' siapapun selama itu tidak mengusik kehidupannya. Namun, jangan menyesal jika cinta versi kita akan kandas oleh garis takdir cinta-Nya Tuhan.
ReplyDeleteAh, akhirnya kita selalu terjebak dalam menafsirkan cinta hanya kepada lawan dan berbatas pada sesuatu yang kita sebut ke-suka-an (Yang diidam-idamkan)
Ah, ini dia mungkin yang disebut cinta versi banalitas kemakhlukan.
Aaa
DeleteMakasih kunjungan, komentar dan nasihatnya Bang. Suka dengan definisi yang Bang Roni kasih.