Matematika, Andrea Hirata dan Guru Aini

 




Pertama kali membaca ulasan dan ringkasan singkat karya Andrea Hirata, yakni Guru Aini, langsung membuat saya jatuh hati pada buku itu. Ingin rasanya memiliki dan membacanya dengan segera. Akhirnya, setelah berdialog dengan suami, dengan dalih ‘hadiah ulang tahun’ yang ke-26 di tanggal 11 Maret mendatang, suami memberi izin untuk membeli beberapa buku yang sepertinya saya butuhkan untuk menghidupkan kembali napas pengetahuan yang mungkin dalam beberapa waktu ini mengalami koma.

Saya membutuhkan karya sastra sejenis novel untuk menyeimbangkan koleksi buku yang saya bawa. Kebanyakan memang buku-buku yang cukup berat yang saya bawa ke Blitar, sedangkan selebihnya saya tinggal di Tulungagung. Saya membutuhkan karya sastra karena memang hidup terus di dalam rumah membuat saya mengalami kejumudan dan kebosanan yang hakiki. Ditambah, melihat judul buku-buku yang berat membuat saya tidak bergairah untuk membaca. Akhirnya, jarang sekali bisa membaca buku dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk gawai. Ini adalah penyakit, dan harus segera ditangani agar tidak membuat saya terjerumus dalam ‘kebiasaan tidak membaca’ di stadium empat. Padahal pernah saya mengatakan kepada suami, bahwa ruh saya adalah membaca dan menulis. Tanpa keduanya, mungkin saya seperti raga yang tidak berjiwa. Dan akhir-akhir ini, mungkin ditambah dengan keadaan fisik yang luar biasa, sebab mengandung memasuki bulan ke sembilan, akhirnya saya tidak lagi bergairah untuk membaca dan menulis. Rasanya sangat mengerikan. Ada perasaan sesal di dalam hati, namun tubuh tidak mau bergerak untuk mengatasi penyesalan tersebut. Membingungkan dan sangat tidak enak rasanya. Akan tetapi, masa-masa sulit itu sudah usai. Kini saya sudah memiliki beberapa koleksi buku sebagai kawan menghabiskan waktu, dan sebagai obat agar tidak terus menerus mengingat suami dan tertusuk-tusuk rindu karena berjauhan dengan beliau.

Saat menulis ini, saya mulai merasa aneh dengan gaya bahasa saya. Benar memang kata orang, bahwa gaya tulisan kita bergantung dari apa yang kita baca. Sebagai penikmat karya-karya Andrea Hirata, saya memang sangat mengagumi ciri khas beliau dalam bertutur dan mengalirkan alur pada setiap karyanya. Entah mengapa rasanya begitu runtut, mendebarkan dan smooth ketika membaca karya beliau. Ditambah, pasti Andrea menuliskan realita sosial, yang kebanyakan adalah kehidupan orang-orang kecil─seperti Laskar Pelangi, Ayah, Sirkus Pohon, dan Guru Aini─dengan berbalut humor yang kocak, menggelikan, sekaligus mengharukan. Sering sekali saya tertawa terpingkal-pingkal, kemudian menangis menderu dalam waktu yang sama. Sungguh, Andrea memang seorang novelis kelas dunia yang luar biasa, yang bisa mengaduk-aduk emosi pembaca dengan cantiknya. Indonesia pasti sangat bangga memiliki seorang Andrea dalam deret novelis dan sastrawan.

Kali ini, novel yang sedang saya baca adalah Guru Aini. Benar-benar memang penulis satu itu, keren bukan buatan. Di sana, Andrea menggambarkan seorang pemudi gila nun idealis bernama Desi Istiqomah. Perempuan cantik bak model itu selalu menempati peringkat pertama dalam kelas, bahkan sekolah. Dia adalah maskot, begitu diksi yang dipilih oleh Andrea. Desi Istiqomah merupakan putri bungsu dari saudagar kaya raya. Namun karena dia sangat mengidolakan guru matematikanya, yakni Bu Marlis, ia memilih untuk mengambil kuliah DIII di sekolah kedinasan yang akan mengantarkannya menjadi seorang guru matematika. Ia ingin mengabdikan dirinya di pelosok negeri dan menjadi guru matematika, serta menemukan seorang jenius yang berangkat dari pelosok. Baginya, tugas itu merupakan sebuah tugas kemanusiaan yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Sebab Desi selalu mengingat, bahwa banyak sekali murid dari bangsa yang besar ini takut dan tidak mau berkawan dengan matematika. Padahal, matematika merupakan ibu dari ilmu fisika, kimia, teknik, arsitek, statistik dan kedokteran. Dan jika bangsa ini mampu menguasai ilmu-ilmu sains tersebut, maka bangsa ini tidak akan kalah dengan negara-negara maju yang baik dalam bidang teknologi. Sungguh mengharukan cita-cita perempuan muda nun idealis tersebut.

Saya, yang bahkan sudah lama tidak menyentuh matematika dan seketika ketika berusaha untuk memecahkan soal-soal matematika membuat keringat dingin mengucur kemudian merasakan gerah luar biasa, menjadi kembali tertarik dengan ilmu eksakta tersebut. Dahulu saya memang masuk di jurusan IPA ketika duduk di bangku aliyah, dan ketika kuliah saya mengambil jurusan English Language and Teacher Training. Karena berjarak dan jarang sekali mengolah otak kiri saya, akhirnya saat ini saya merasa sangat bebal terhadap matematika. Mengapa menghitung penjumlahan saja rasanya sangat sulit. Meski begitu, saya tidak akan melupakan masa kejayaan dahulu, ketika saya pernah cukup jenius terhadap matematika, yakni ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan guru matematika saya, Pak Lukis menjadikan saya sebagai salah satu murid kesayangan beliau.

Mari kembali kepada kisah si Desi. Singkat cerita, Desi akhirnya lulus dengan predikat Cumlaude, predikat terbaik di sekolah kedinasan. Rektor Sekolah Kedinasan memberikan hak istimewa bagi lulusan terbaik, yakni bisa memilih penempatan dinas. Desi juga mendapatkan undian tempat di Bagan Siapi-api, sebuah kota yang tidak pelosok. Namun, demi melihat Salamah, kawannya menangis tersedu-sedu karena melihat tempat dinasnya yang masih asing namanya, yakni Tanjong Hampar, akhirnya Desi bersedia untuk menukar posisi. Perempuan itu memang gigih dan ingin mengabdikan hidupnya untuk mengajar di pelosok. Berangkatlah ia, diantar dengan pandangan nanar ibundanya dan lambaian tangan ayahnya. Ibunya sedari awal memang kurang setuju jika Desi menjadi guru. Ia ingin anaknya lebih dari menjadi seorang guru. Dia brilian, jenius, gigih dan sangat istikamah. Bagi seorang ibu, ia ingin melihat putrinya menjadi orang besar di kota. Namun Desi tidak menggubris apakah kelak ia akan menjadi kaya, terhormat atau apalah ketika menjadi seorang guru. Idealismenya meruntuhkan semua itu. Dan Desi tetap kekeuh memilih menjadi guru matematika yang akan menemukan seorang jenius dari pelosok negeri.

Sampai di situ sayangnya saya membaca buku ini. Sebenarnya nama Aini sudah muncul. Aini adalah salah satu murid yang sangat konsisten dengan nilai ulangan bak bilangan biner komputer, yakni 0 1 0 1 1 0. Dia adalah anak dari sepasang kekasih yang menafkahi keluarganya dari menjual mainan anak-anak di pinggir pelabuhan. Aini juga sangat membenci matematika, karena memang ia tidak pernah bisa menaklukan mata pelajaran itu. Namun karena ayahnya yang jatuh sakit, dan hanya bisa ditangani oleh dokter dengan ilmu terbaru, ia akhirnya memberanikan diri untuk belajar matematika dari Bu Desi dan bercita-cita menjadi dokter. Sedangkan keadaan si Ibu Desi tadi, karena sudah bertahun-tahun mengajar, namun belum pernah menemukan seorang pun yang jenius terhadap matematika, akhirnya karena idealismenya yang tidak pernah padam itu, ia menjadi seorang guru yang galak, super galak, bahkan kepala sekolah dan guru-guru juga cukup sungkan dengan guru Desi. Selain karena idealismenya yang dipadu dengan paras cantik semampai, yang paling membuat Bu Desi disegani karena pengetahuannya yang sangat jenius dan karakternya kuat. Ia bahkan sangat memahami psikologi pendidikan, dan bacaannya adalah buku Calculus, karya orang Barat, psikologi pendidikan, novel-novel Spanyol, serta buku-buku berat lainnya, yang bisa ditemukan di atas meja kerjanya. Dan di situlah batas akhir saya membaca.

Saya mungkin memang sudah bisa menebak akhir dari kisah itu. Akan tetapi, saya sangat penasaran terhadap proses Aini dalam memecahkan rekor nilai ulangan matematika yang seperti bilangan biner komputer itu. Proses adalah segalanya dalam hidup. Bahkan Imam Syafii pernah menyampaikan, nikmatnya hidup akan terasa selepas kita lelah berjuang. Di situlah puncak kenikmatan hidup.

Semoga bisa tersambung di lain waktu. Terima kasih telah membaca catatan ini. Salam.

 

Blitar, 08 Maret 2021

 

Comments