Kehabisan Ide Menulis
Akhir-akhir ini, saya cukup dibuat
bingung dengan ide menulis. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dijadikan
topik. Misalnya pengalaman hidup, ketika bertandang pulang di Blitar, nasihat
ibuk Blitar, momen berharga bersama suami, bahkan momen ketika saya jatuh
sakit. Jika dijadikan tulisan, sudah ada berapa ide di situ? Sekurang-kurangnya,
ada lima topik yang bisa dijadikan esai naratif atau artikel. Jika sudah ada ide untuk menulis,
maka sebenarnya apa yang membuat saya tidak merealisasikannya?
Saya cukup tertohok ketika membaca sebuah
pengumuman tentang seleksi naskah buku dengan batasan maksimal 150 lembar. Saya
merasa terpanggil dan rindu untuk kembali menerbitkan buku. Jika 2018 saya bisa
merampungkan naskah, sedangkan buku tersebut terbit tepat di hari ulang tahun
saya di tahun 2019, maka apa yang membuat saya hari ini tidak bisa menerbitkan
buku selanjutnya? Lama, saya merenung. Ada beberapa draft yang terbengkalai di
dalam laptop, genrenya beragam. Ada novel, ada buku populer, ada kiat-kiat
berbahasa Inggris, semua sudah memiliki outline dengan rapi dan baik. Lantas
mengapa saya tidak melanjutkannya?
Jika membicarakan excuses, akan ada
sejuta alasan untuk tidak melanjutkannya. Mulai kesehatan, chores, dan bahkan faktor teknis lainnya. Tapi mengapa saya mengizinkan
semua itu menjadi penghalang untuk tidak menulis?
Sedikit banyak, saya ingin
menerbitkan naskah kedua dengan kualitas yang dikatakan ‘perfect’. Akhirnya,
demi meraih kesempurnaan itu, saya malah tidak mengajak diri untuk berproses. Ada
ungkapan menarik seputar perfectionist.
Jika kita hanya akan mengerjakan sesuatu dengan takaran ‘kesempurnaan’, maka
sesuatu itu tidak akan pernah terwujud. Justru arah orientasi yang seharusnya
menekankan kepada proses, jam terbang, belajar teori, praktik, teori, praktik
tidak terealisasi, serta berdampak pada macetnya dan berhentinya proses. Sedangkan
menulis merupakan proses yang tidak pernah henti. Seorang penulis dikatakan
penulis apabila dia menulis. Jika tidak menulis, apakah layak disebut penulis? Begitulah
ungkapan Dr. Naim dalam salah satu karya beliau.
Faktor lain yang membuat saya
jarang menulis adalah, jarangnya saya membaca, sehingga input sangat sedikit
yang masuk, dan bahkan, motivasi menulis saya yang masih bisa dikatakan labil
ini tidak mendapatkan dorongan untuk kembali menulis. Jika sudah tahu problemnya,
tentu bergumul dengan buku-buku adalah pemecah masalah atau solusi agar pikiran
tetap hidup, dan motivasi menulis kembali stabil.
Dari beberapa pengalaman pribadi
ini, saya memafhumi jika Dr. Naim menyebutkan bahwa dunia menulis adalah dunia
yang sepi peminat, atau bahkan seorang penulis merupakan makhluk langka. Sangat
sedikit memang orang yang berkenan untuk istikamah dalam dunia kata ini. Sebab manusia
selalu memiliki alasan-alasan untuk melakukan hal lain yang mungkin dalam segi
praktis dan pragmatis lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggeluti dunia
menulis. Tidak salah, memang. Akan tetapi, manfaat dari menulis akan terasa
selama kita menikmati prosesnya, dan tidak hitung-hitungan masalah hasil. Menulis
adalah proses menanam. Suatu saat, kita akan memanen apa yang kita tanam. Masalah
itu kapan, biarlah itu urusanNya. Entah di dunia atau di akhirat kita
menuainya, biarlah itu menjadi surprise dariNya. Kembali kepada ajaran Gus Dur,
Sang Guru Bangsa, yakni ‘Sibuklah menanam.’ Masalah hasil, itu urusanNya.
Jika sudah tahu problem dan
solusinya sekaligus, maka akankah kita berhenti berproses dalam menulis,
ataukah memilih untuk melanjutkan apa yang sudah kita mulai?
Tulungagung, 09 Januari 2020
Gk ada habisnya, mbak Eka.
ReplyDelete☺☺
Delete