Sebait Rindu dariNya

 


Pulang ke Blitar kemarin, dalam rangka menikmati liburan tahun baru bersama keluarga di rumah, memberikan pengajaran dan membuahkan mutiara yang begitu berkilau bagi saya. Cara-caraNya mengingatkan kita, jika kita mau merenung, sesungguhnya sangat indah, penuh dengan kasih. Begitu pula dengan caraNya kali ini yang dilewatkan perantara ibu Blitar.

Semenjak kepulangan sosok yang saya anggap sebagai guru sekaligus kekasih di tahun 2016 silam, saya menantang takdir. Saya menjalankan kehidupan ini berlawanan dari semua yang sudah beliau ajarkan untuk saya. Dan, hal itu justru menjerumuskan saya kepada kubang yang gelap, kubang yang penuh dengan air mata dan kerasnya hati.

Kala itu, saya lupa siapa yang memertemukan saya kepada beliau, dan siapa pemilik beliau. Saya terus menerus memeluk luka, dan membiarkan diri jauh dariNya. Padahal sebelumnya, beliau selalu mengajarkan untuk bertakwa kepadaNya, menjalankan syariatNya, melakukan ibadah wajib ditambah dengan sunnah, dan dijalankan secara istikamah. Selama bersama beliau, saya jarang luput dari ibadah-ibadah tersebut, sehingga hati terasa sejuk, hidup terasa mudah. Namun setelahnya, karena tidak menerima takdir, akhirnya hati saya lama-lama mati. Dari sini, jika kita meremas-remas masalah hati, mungkin sudah tampak. Apakah jangan-jangan, ibadah yang selama ini saya jalankan bukan untukNya, namun hanya sebatas mencari perhatian hambaNya. Ighfirlana.

Setelah menantang takdir, keremukan hati, guncangnya jiwa mulai menggerogoti. Biiznillah, Ia Maharahim. Ada saja jalanNya yang perlahan mengembalikan saya kepadaNya. Pertama, Allah memberikan jodoh yang jauh lebih baik menurutNya, dan kebahagiaan senantiasa menyapa saya juga beliau. Rumah tangga kami penuh dengan tawa, canda dan kebahagiaan, meski tentu saja, guncangan selalu ada. Kebanyakan guncangan adalah masalah eksternal, bukan problem kami.

Suami saya, sosok lelaki pilihanNya adalah sosok terbaik, sosok yang bisa ‘melunakkan’ atau bahkan menjinakkan sifat saya yang sangat keras. Beliau bahkan selalu mengalah, bersabar dan terus mendidik saya. Pernah suatu ketika, saat saya sudah dingin pikirannya, beliau saya tanya. Mengapa Mas selalu memilih untuk bersabar menghadapi perangai saya? Jawaban beliau singkat, yakni, jika kamu jadi api, aku akan selalu menjadi airnya, meski kamu belum bisa memerlakukan saya sebaliknya. Akan tetapi, saya selalu yakin, bahwa suatu ketika, kamu akan menjadi seperti Mas, Dek. Sabar, menerima, legowo, qanaah dan dari semua ajaran hidup itu, akan membuat kamu melebihi ekspektasi kamu. Mas selalu yakin kepadamu.

Semenjak itu, akhirnya saya berusaha untuk belajar merendahkan ego serendah-rendahnya kepada beliau. Saya mengingat, bagaimana beliau merawat saya ketika saya memasuki kehamilan di trimester awal yang benar-benar membutuhkan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya. Juga memori-memori lain yang begitu manis untuk dikenang.

Sebenarnya saya tidak ingin membahas masa lalu saya sama sekali. Sebab saya ingin menjaga hati suami saya, sebagaimana beliau menjaga hati saya. Contohnya, dalam mengingat nama kawan perempuan saya, atau wajahnya, beliau enggan. Dan sekalipun, semenjak kami menikah, beliau tidak pernah membicarakan perempuan lain, sama sekali. Beliau hanya memiliki dua ratu dalam hidup beliau, yakni ibunya dan saya. Dan kelak, jika bayi kami ditakdirkan perempuan, akan ada satu perempuan lagi yang menjadi ‘putri’ dalam hidup beliau.

Detik demi detik kami lalui bersama. Kehamilan saya sudah memasuki bulan ke tujuh. Karena ini merupakan cucu pertama dari bapak ibuk di Blitar, kami memutuskan untuk melahirkan sang buah hati di sana. Itu berarti, suami dan saya akan menjalani long distance relationship. Saya tahu, beliau sebenarnya enggan melepaskan. Saya pun juga tidak membayangkan untuk hidup jauh dari beliau. Siapa yang akan merawat suami saya? Meski tentu jawabannya adalah ibunya, namun tetap berbeda. Yang biasanya makan berdua, saya mengambilkan makan beliau, beliau membelikan kebutuhan saya, kami terbiasa tertawa bersama, bercanda, untuk beberapa bulan ke depan, momen itu akan menjadi sepi. Ruangan yang mulanya menjadi tujuan Mas untuk istirahat, dan selalu ada saya di dalamnya, akan menjadi kosong. Hanya bayangan yang tersisa. Meski teknologi mampu membuat kami saling bertukar kabar, namun semua tetap berbeda. Kami pernah membahas itu. Air mata tiba-tiba memucuk, dan menganak di pipi. Suami saya dengan lembut mengusap pipi saya dan beliau menyampaikan, sembari mengelus kepala saya, “Demi buah hati kita, demi ibuk bapak Blitar, dan demi kamu biar belajar mendidik bayi kita nanti dari ibuk langsung, Dek. Ikhlaskan ya,” pinta beliau. Meski memang sangat berat, saya akan berusaha rida. Toh suami saya juga tidak mudah membuat keputusan ini. Saya akan mengembalikan perawatan sebaik-baiknya kepadaNya, Zat yang memertemukan saya kepada beliau.

Pasca pernikahan, senyuman lebih sering menyapa dibandingkan sebelumnya. Saya sangat bersyukur untuk itu. Sebuah limpahan kasihNya yang tidak terbatas. Jika boleh mengatakan, mendung yang selama ini menggantung di dalam kalbu, perlahan pudar. Matahari dengan gagah menampakkan dirinya. Memberikan warna cerah dan gembira. Terlena dengan kebahagiaan ini, saya mulai menyibukkan diri dengan kekasih kirimanNya, dan kembali melupakan, siapa sebenar-benarnya kekasih.

Di Blitar, saya menghabiskan waktu beberapa hari. Ibu mulai menyadari kebiasaan-kebiasaan putri sulungnya ini. Beliau pun mulai menegur.

“Nduk, kok ibuk tidak pernah lihat kamu mendaras Alquran? Salat sunnahnya juga jarang sekali. Kamu tidak puasa sunnah lagi?”

Seketika, tatkala ibu menyampaikan beberapa pertanyaan itu, saya tertohok. Ada perasaan sesal yang tiba-tiba menyusup.

“Jarang, Ibu.”

“Kamu posisi hamil. Bukankah lebih mbarokahi kalau kamu mau mendekatkan diri kepada Pengeran? Coba kamu ingat-ingat. Dahulu, studi kamu selama S1 begitu dimudahkan karena kamu mau mendekatkan diri kepadaNya. Dhuhamu tidak pernah libur, kecuali saat bulanan. Puasa sunnahmu ajeg. Kamu belajar sedikit saja langsung dikasih nyandak sama Pengeran. Akhirnya, tanpa meminta, Allah ngasih beasiswa S2. Sekarang, akhir-akhir ini, tak lihat-lihat kok tidak semakin mendekat, malah menjauh dariNya? Ngajimu juga tidak pernah,” ucap ibu. Saya hanya diam, merunduk.

“Ibuk memang bukan orang saleha, Nduk. Tapi cita-citamu tinggi. Selain itu, kalau kamu mau hidupmu penuh berkah, mbok ya o dilanjutkan ibadah sunnahnya, biar menutupi ibadah wajib yang belum sempurna. Kalau kamu mau cari barokah, mulai dari situ. Insyaallah Allah itu ngasih hal yang enggak terduga buat kamu nantinya. Usaha memang penting. Wong kita tidak akan pernah bisa ngubah keadaan kalau enggak usaha. Tapi nyari ridaNya, nyari barokah itu ibarat kamu dikasih jalan pintas sing luwih penak. Praya gampang, to tinggal salat, ngaji, puasa saja. Apa berat?”

Saya hanya diam, mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang ibu lontarkan.

Jika dahulu, alasan saya meninggalkan ibadah-ibadah itu dan memilih jauh dariNya karena tidak menerima takdir sebab Allah mengambil seseorang yang sangat berharga dalam hidup saya. Namun, jika memang saya tidak menerima, bukankah seharusnya saya pergi tidak menginjak bumiNya, tidak makan dari rezekiNya, tidak bahagia dari segala nikmatNya. Ya Allah. Mungkin memang ini waktu yang paling tepat untuk kembali kepadaNya. Kembali merasakan betapa Allah Maha-rahman, Maha-ghafur. Semoga pintu maghfirahNya terbuka untuk hamba sehina ini.

Dalam muhasabah diri, saya kembali menemukanNya. Meski mungkin jika dahulu jalan yang saya ambil belum tepat, semoga kali ini kalbu ini benar-benar bisa kembali kepadaNya dalam keadaan terbaik. Jika bukan Dia yang memanggil, dan jika jiwa ini tidak merindukanNya, Pemiliknya, mana mungkin Rabb berkenan untuk kembali mengingatkan di jalanNya.

Usia ini sudah memasuki seperempat abad, 25 tahun. Bukan berarti ke depannya, umur ini masih panjang. Kita tidak pernah tahu, kapan waktu berpulang, dengan keadaan apa. Selama masih dilimpahi napas dan hidup, sehat dan lapang, luang dan kaya, maka adalah kesempatan terbaik untuk selalu memberdaya, dengan terus mengingatNya dalam setiap embusan napas. Semoga kelak, ketika kita berpulang, kita menghadap kepadaNya dalam keadaan sebaik-baiknya. Memang, seorang hamba bisa merasakan khauf dan raja, namun tetap ada harapan untuk berkembangnya rasa mahabbah kepada sebaik-baiknya Mahacinta.

Tulungagung, 13 Januari 2020

 

Comments

  1. Catatan yang bergizi dan menyentil nurani. Terimakasih bunda cantik😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih berkenan membaca secuil coretan ini, Bunda Nur πŸ’•πŸ’•πŸ’•πŸ€—
      Sama-sama Bunda. Saya juga berterimakasih. ❤

      Delete

Post a Comment