Tatkala
Tatkala
langit mulai memendarkan cahayanya, kala itu adalah waktu bagi hamba-hambaNya
untuk terbangun, dan memulai kehidupan yang baru saja terlelap barang sebentar.
Terbangun, untuk memulai kembali sesuatu yang sebelumnya mungkin selalu
dilakukan, atau mencicip rasa yang belum pernah dilalui.
Hari baru, selalu memberikan warna baru. Di antara
insan-insan itu, tidak pernah ada yang tahu, apa yang akan menyambutnya di hari
baru. Tuhan memang Maha memberi kejutan. Kadang Tuhan menghadirkan pertemuan
dan perpisahan, dalam kurun ketika para insan belum siap memainkan perannya.
Kadang Tuhan menyiapkan pilihan, yang tidak ada pilihan lain selain menerima. Namun,
mereka bisa apa? Hidup, mati dan segala perkara, bukankah Tuhan sudah
menggariskan? Kita tidak pernah memilih untuk hidup, namun Tuhan memberikan
hidup. Kita tidak ingin mati, namun Tuhan akan tetap dengan ketetapanNya, kita
pasti mati. Dalam satu sisi, manusia memang bisa memilih. Namun dalam sisi yang
lain, mereka tidak memiliki pilihan, selain terus melanjutkan hidup, selama
napas masih berembus. Mereka tidak memiliki pilihan, selain harus patuh dengan
segala ketentuan.
Salah satu hambaNya yang harus terus melanjutkan
hidup adalah aku. Aku tidak memiliki banyak pilihan, selain mengikuti alur yang
sudah ditetapkan. Apa yang bisa dilakukan oleh siswi tingkat Aliyah kelas XII
selain harus masuk sekolah, persiapan ujian ini itu untuk melangkah pada
jenjang selanjutnya? Seperti kemarin, hari ini, di pagi-pagi dini, mataku
terbuka. Azan Subuh berkumandang dari berbagai penjuru surau. Segera aku pergi
ke kamar mandi lawas yang berada di luar rumah uti, membuang hajat, dan
berwudu. Suara azan yang ringkih dan sepuh sudah terdengar bertalu-talu dari
surau dekat rumah. Beliau Mbah Gapur, pemangku musala. Segera, aku kembali ke
kamar, mengambil mukena dan berangkat ke surau.
Hawa dingin seketika datang menusuk tubuh tatkala
aku membuka pintu rumah, dan mengayunkan kaki untuk berangkat. Badanku menciut.
Namun, kehangatan pemandangan langit di kala dini bisa langsung menampik dingin
yang serta merta tidak tahu malu menerjangku barusan. Bintang gemintang
bertaburan, laksana kerlip yang dituang di hamparan hitam raksasa. Mereka genit
sekali. Bulan bersembunyi, belum saatnya muncul. Tanggal telah tua. Sebentar lagi,
mungkin sang sabit akan menampakkan dirinya, menyembul dengan gagah di tengah
gemintang yang tidak henti mengerling. Tubuhku berdesir. Angin menampakkan
dirinya, membelai dengan lembut ketika aku asyik-masyuk dengan langit.
Untungnya, tubuhku terbalut mukena. Dingin dari sang angin bisa sedikit terempas,
tidak sepenuhnya bisa menjamah tubuhku yang berbaju cukup pendek.
Setiba di surau, seperti biasa, orang-orang sepuh
kujumpai. Sebuah senyuman termanis kuberikan begitu saja kepada beberapa ibu
yang sudah dahulu tiba. Salat sunnah qabliyah Subuh dua rakaat segera kulakukan,
dan kemudian diam, khusyuk dengan lantunan pujian yang didendangkan oleh Mbah
Gapur. Suaranya parau, namun berhasil memecah senyap pagi.
Dalam setiap zikir yang kulafazkan, sembari
menunggu iqamah berkumandang, pikiranku berplesiran. Aku tidak bisa melupakan
pemuda itu. Sosok pemuda yang akhir-akhir ini selalu mengganggu hidupku. Bagaimana
mungkin aku bisa berjumpa dengan orang sesalih dia? Bagaimana mungkin, aku bisa
menjumpai orang sealim dia? Apa rencana Tuhan terhadap hidupku ke depan? Apakah
aku pantas untuk menjejaki kehidupan baru, yang selama ini terasa tidak
mungkin? Menjadi bu nyai? Aku hanya terpingkal di dalam hati paling dalam. Rasanya
tidak mungkin, sangat tidak mungkin, dan benar-benar tidak mungkin. Menyentuh bangku
pesantren saja tidak pernah, bagaimana mungkin aku bisa menghabiskan hidup di
tengah pesantren? Aku menertawakan pikiranku. Namun, ucapannya terngiang. ‘Jika
Tuhan sudah berkehendak, kita bisa apa?’ Aku kembali diam, mencoba mencerna
kata takdir yang hadir.
Perubahan ke arah yang baik memang banyak kujumpa,
selepas takdir menitahkan untuk berjumpa dengannya. Bahkan perlahan, arah
hidupku mulai berubah. Dari yang berantakan, sangat berantakan, kini menjadi
terarah. Dari yang kurang kasih dan cinta, kini bunga-bunga cinta selalu mekar,
mewangi. Aku takut, jika semua ini pada akhirnya hanya akan menyisakan luka. Ah,
peduli amat. Tidak perlu aku memikirkan apa yang akan hadir esok. Biarlah aku
menikmati rasa yang mulai meracuni, dan mencandu diriku. Aku, yang sangat sakau
dengan kehadiran pemuda itu. Aku, yang mulai menggila, dengan keberadaannya
yang mengusik hidupku. Seperti melayang, memang. Namun biarlah aku
menikmatinya. Biarlah kelezatan rasa ini kutenggak, seperti meminum anggur. Jiwaku
mulai menari, menikmati alunan musik, menikmati lekuk takdir.
***
Mantab mbak...
ReplyDeleteTerima kasih Mas Sanusi untuk komentar dan apresiasinya hehe.
Delete