Belaian Tuhan

In frame: All of my family members. Starting from the left side, here are daddy, mom, my youngest sister, me, and my younger brother.


Ketika pagi masih ranum, salah satu teman belajar privatku sudah hadir di rumah. Pukul 6.30 tepat, ia datang. Aku masih memerlukan diri untuk bersiap. Dia kuminta untuk duduk di tempat biasa kami belajar. Ruangan kelas yang kami gunakan adalah teras rumah belakang. Jadi, pandang kami mampu menyapu halaman yang cukup luas. Di tenah-tengah hamparan tanah dengan pepohonan dan rimbun-rimbunan, tampak delapan ekor entok berjalan-jalan, mencari pun mengais rezeki. Di sudut yang lain, ayam-ayam juga tak mau ketinggalan. Ibu tampak membenahi beberapa tanaman kesukaan beliau. Merapikan tanaman agar tumbuh indah kelak.

Yahya adalah nama teman belajarku hari ini. Dia masih duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Fahmi, si kecil yang menjadi bungsu ibu duduk manis bersama mainan kartunya. Di meja yang sama dengan tempat belajar Yahya, ia mencoba merakit kartu-kartu itu menjadi semacam bangunan. Kartu itu bisa diibaratkan bata yang membangun dinding rumah.

Ayam dan burung berlomba, menyanyikan lagu terbaik untuk menyambut pagi. Semua makhluk dan hamba saling beraktivitas. Bapak sudah berangkat kerja. Sedangkan adik Naufal dan adik Alvi juga sudah berangkat ke sekolah. Semua mengais dan mencari ilmu juga rezeki.

Tak berapa lama, bapak tiba dengan motor Honda Prima lama. Cukup heran mengapa beliau pulang, di tengah jam kerja.

"Carikan kain, Nduk. Potonglah sedikit saja," pinta beliau, tiba-tiba. Aku masih duduk bersama Fahmi dan Yahya.

"Ada apa, Bapak?" tanyaku, memastikan untuk apa kain yang bapak pinta.

"Jari bapak kebacok," jawab beliau singkat. Seketika aku terhenyak. Sekujur tubuhku terguncang. Bapak menunjukkan jemari beliau yang koyak. Aku masih membatu, tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Rasa takut mulai menjalar, takut melihat seberapa dalam luka bapak. Sehingga, tubuh ini tidak mau berdiri. Dia masih saja duduk di kursi. Sedangkan ibu masih melanjutkan aktivitasnya, menyemai bunga-bunga. Aku sangat yakin, ibu tidak mendengar pernyataan bapak barusan.

"Ibu, tangan Bapak kebacok!" teriakku. Seketika, ibu menghentikan aktivitas beliau. Setengah berlari, ibu menghampiri bapak.

"Kok bisa, tho Pak!" tanya ibu sembari mencari potongan kain lembut.

"Ketika memotong tadi, aritnya meleset. Ya jadinya kena di tangan," jawab lelaki sepuh itu.

"Kain ini, ya. Lembut ini sepertinya," tawar ibu.

"Iya," jawab beliau.

Dengan sabar, kulihat ibu membalut luka bapak. Sebelum itu, sempat juga beliau meneteskan obat luka. Aku masih membeku di tempat dudukku. Rasa takut dan getir menjadi satu. Seperti dituangkan di dalam wadah, diaduk-aduk. Nyeri mulai menggerayangi.

Masih kemarin, ketika bapak berkisah bawah beliau terjatuh dari andha, sejenis tangga yang dirakit dari bambu. Salah satu anak tangganya patah, dan beliau terpelanting. Pulang-pulang, ada benjolan besar di kepala beliau. Sempat kata beliau, beliau pingsan juga. Aku menggiris.

Bapak memang seorang tukang bangunan. Beliau kerja kasar untuk memenuhi nafkah keluarga kami. Waktu menggerogoti energi beliau. Sudah tidak muda lagi memang. Usia 54 tahun sudah mulai memasuki usia uzur. Fisik beliau sudah tidak lagi seperti sedia kala. Dan, pekerjaan beliau adalah pekerjaan yang menuntut fisik untuk selalu berstamina.

Ada rasa yang menumbuk remah-remah hatiku. Begitu luar biasanya bapak dan ibu. Meski sederhana, amat sederhana dibandingkan dengan keluarga yang lain, beliau selalu mengajari kami bersyukur. Dan memang, Allah selalu memberikan kecukupan tak pernah kurang suatu apapun kepada keluarga sederhana kami.

Dengan perjuangan dan pengorbanan begitu banyak, aku mulai tercubit. Tidak ada lagi membuang-buang waktu. Waktu terus berlari, tak mengenal berhenti. Setidaknya, salah satu perjuanganku adalah sebuah persembahan untuk bapak dan ibu. Beliau memiliki harapan dan cita yang besar untukku. Akankah aku mengecewakan dan mengiris-iris hati beliau nanti? Tegakah, wahai diri? Berjuang, bekerja dan terus belajar. Hanya itu saja tugasku, tidak seberat pekerjaan bapak, yang sering pula setelah manjing masih harus ke sawah, mengurusi urusan sawah. Masihkan lalai?

Setelah belajar usai, aku segera menuju ruang pribadiku. Ada butir bening yang memucuk di kelopak mataku. Oh, begitu indahnya cara yang Ia gunakan untuk menjewer aku yang mulai loyo. Baiklah, tidak ada lagi main-main. Semoga putri sulung beliau berdua ini mampu menjadi apa yang beliau harapkan. Aamiin. 

Terimakasih, atas pengingatnya, Tuhan.

Comments