Kerinduan Seorang Ibu

Catatan ini bermula ketika kedua mata ini menangkap sebuah gambar yang tersuguh di atas. Sebagai orang awam, pemaknaan saya mungkin belum semendalam makna yang dihadirkan pelukis. Yang saya rasakan hanya hal itu mampu memberikan kesempatan kepada gerimis untuk hadir menyapa hati.

Gambar itu, sebagaimana yang bisa kita lihat, menggambarkan sosok ibu yang rela memasak hatinya demi anak-anaknya. Ibu rela hatinya berlubang, demi anak-anaknya. Sebuah gambar yang mampu mengoyak emosi.

Membicarakan tentang sosok ibu memang tidak pernah ada habisnya. Beliau adalah perwujudan sosok malaikat dengan wujud manusia yang dikirim oleh Allah, Tuhan Semesta untuk menjaga kita. Segala kasih beliau tidak akan pernah bisa diganti dengan apapun di dunia ini.

Mengenang seluruh memori, mencoba menggali dan menguak semua tentang ibu menghadirkan beragam emosi. Ibu memang bukan manusia sempurna. Sebab tiada bisa ditemui manusia sempurna di dunia ini. Namun, tidak akan pernah ada satupun manusia yang rela melakukan apapun demi anaknya tanpa imbalan selain orang tua, utamanya ibu.

Ketika kecil, kita dirawat dan diberikan segalanya terbaik oleh beliau. Dengan sabar, ibu merawat kita yang bangun dan menangis semaunya. Tak peduli siang atau malam, ibu tetap merawat kita. Belum kalau rewel. Dengan penuh sabar juga, ibu mengenalkan kata melalui bicara, hingga bahkan ketika dewasa, putra-putri beliau menjadi orator yang baik di hadapan publik. Dengan segala kasih sayang, ibu mengenalkan rangkaian simbol huruf, kemudian menuliskannya. Dengan penuh cinta, ibu mendengar semua celoteh yang keluar dari putra putri kecilnya. Juga mengelap tembok yang penuh coretan karena putra putri kecilnya mulai bisa menggambar garis berjoget ataupun imajinasi yang lain di sana.

Semua kenangan masa kecil tersebut sudah menandakan betapa ibu telah memberikan pendidikan terbaik bagi kita. Hingga sekarang, kita bisa menjadi diri kita yang sekarang perantara didikan dan kasih sayang dari beliau.

Setelah waktu bergulir, bulan berganti, tahun berlalu, usia putra putri beliau menanjak dewasa. Pada saat itu sudah saatnya putra putri memiliki kehidupan sendiri. Ibu semakin merenta dengan uban yang semakin banyak. Warna putih menghias mahkotanya.

Segala kesibukan membuat putra putri kecilnya dahulu menjadi jarang menjenguk. Meski ibu sangat paham, bahwa memang putra putrinya sedang meraih cita-cita. Namun di dalam relung hati terdalam, beliau merasakan rasa rindu yang tidak bisa terkata. Melalui doa, beliau akan terus menjaga putra putri nya. Agar berhasil menjadi orang penuh guna. Sebab bagi ibu, itu sudah cukup. Meski sering hatinya menjerit karena rindu dengan si kecil yang sudah dewasa.

Bagi ibu, kita tetap putra pun putri kecilnya. Ibu masih melarang hal-hal remeh temeh seakan-akan kita masih kecil. Padahal kita sudah tahu tentunya. Bagi kita juga, definisi ibu adalah rumah. Beliau tempat pulang dan istirahat. Tempat mereguk segala kasih yang tak bisa terdefinisi.

Jika kesibukan mengulur kita untuk berjumpa dengan beliau, jangan lupa untuk sekadar menelepon, ataupun bertandang dalam kurun waktu sekian sekali. Sebab ibu semakin renta. Wanita yang dahulu amat cantik itu semakin menua. Wanita hebat yang dalam doa-doanya juga restu dan ridanya tersimpan berkah yang memudahkan jalan kita meniti cita. Jika memang belum sempat, mari kita jembatani rindu ini dengan sebuah fatihah. Sebab katanya, fatihah adalah jembatan kerinduan. Dan tentu tidak akan ada yang merindu kita, sebanyak kerinduan ibu kepada putra putri kecilnya dahulu.

Ibu tidak butuh ucapan yang dikirim di sosial media dengan beragam motif pencitraannya. Yang ibu harap adalah kepatuhan anaknya padanya, dan doa-doa agar senantiasa sehat, panjang dan berkah usianya, juga melihat putra putrinya menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Ketika ibu masih ada, di situlah ladang untuk memetik rida-Nya dengan mudah. Ketika ibu sudah berpulang, jangan berhenti memintakan ampun pun terus berdoa agar Allah berkenan bangunkan istana terindah di sana.

Teriring doa, semoga ibu kita mendapatkan balasan terbaik dari-Nya. Sebab telah mendidik menempa kita hingga menjadi kita yang sekarang. Bukankah beliau adalah madrasah utama kita?


Blitar, 6 Juli 2018

Comments