Ghirah Thalabul Ilmi 한국말
안녕하세요. 지금 제가 말하겠습니다.
Saya mendengar banyak pujian hari ini. Pujian tersebut bercerita tentang bagaimana progres membaca saya di bahasa Korea. Memang jika dihitung, saya mulai belajar, benar-benar baru belajar di bulan November 2024 kemarin, dengan Januari terhitung 3 bulanan. Akan tetapi, qadarullah, untuk membaca, sudah cukup membuat dosen yang mengajarkan Reading memberikan nilai yang membuat saya tersenyum sumringah, walaupun jika ditanya artinya banyak sekali yang belum tahu.
Melihat hal tersebut, membuat saya menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya, kepada saya sendiri. Saya tidak haus validasi, hanya saja saya ingin memeluk diri sendiri yang memilih untuk berjuang, berjuang, berjuang; memilih untuk menyabari peluh dan lelah dalam belajar; memilih untuk bangun, menulis, menghafal, membaca, mendengar, berbicara dan progress lainnya, yang mungkin cukup melelahkan, tapi nikmat. Terima kasih, diriku. You have done your best.
Selain itu, saya berterimakasih sekali kepada dosen-dosen Bahasa Korea yang masyaallah hebat sekali. Kedalaman ilmunya, cara penyampaiannya yang mudah dipahami, penerapan metode student-centered learning, dan attitude-nya yang hangat, mengayomi serta memudahkan seluruh mahasiswa. Sebagai kaprodi dan mahasiswa, saya sangat bersyukur dan beruntung dipersuakan dengan dosen profesional serta humanis, yang memberikan kami banyak sekali ilmu. Terima kasih banyak untuk Mas Darma, Bu Ida, Mbak Dhita, Pak Yudi, Pak Dedi dan Mas Aruna.
Di prodi ini, para mahasiswa start dengan background yang berbeda. Posisi saya jauh tertinggal dari kawan-kawan lain, yang pandainya sudah masyaallah. Kawan-kawan di kelas C, hampir semua sudah pandai. Kemampuan berbahasa Korea mereka sudah ahli, mahir. Ditinjau dari latar belakang, beliau-beliau pernah belajar sebelumnya dan kebanyakan sudah di Korea. Bagaimana mungkin saya membandingkan diri saya yang baru belajar tiga bulanan dengan orang yang sudah mahir, memulai sejak tahunan yang lalu? Namun, kami kawan seangkatan, sama-sama semester 1. Yang hadir di benak saat itu, karena fakirah ini belum bisa apa-apa, maka kamu, wajib untuk nututi kancane sing mlayu banter, selelah apapun jalannya nanti.
Biiznillah, meskipun latar belakang kami semua berbeda, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Justru menjadi pelecut semangat untuk lebih giat. Jika mereka sepekan belajar 30 jam, maka yang belum bisa apa-apa harus 50 jam, kalau mampu ya lebih, agar bisa mengejar ketertinggalan tesebut. Selain itu, dosen saya sering menyampaikan, “Bu Zahra, kamu termasuk golongan yang belum bisa membaca. Kalau membacamu masih seperti ini, jangan salahkan saya jika memberikan nilai E.” Saya bergidik membayangkan mendapatkan nilai E di transkrip nilai studi saya.
Di prodi ini, saya adalah kepala prodi sekaligus mahasiswa. Saya tidak boleh mempermalukan prodi dengan berleha-leha, bersantai, sementara kawan lainnya lari cepat. Saya tidak boleh mendapatkan nilai E di mata kuliah apapun, terlebih seorang kepala, seorang pimpinan. Sebagai bentuk tanggungjawab, sangat tidak pantas jika saya memberikan contoh yang buruk kepada mahasiswa. Bagaimana saya mempertanggungjawabkan amanah ini nanti? Akhirnya, dengan bekal ‘manut dawuh guru’ serta cinta ilmu, hanya itu, saya berusaha untuk membaca setiap hari, setiap hari. Melelahkan? Pernah di titik itu. Tapi, syukur alhamdulillah, Allah menolong melalui orang-orang baik yang selalu mendukung dan memberikan apresiasi yang luar biasa, seperti Mas Suami, dan guru-guru saya.
Progres belajar saya selama satu semester ini adalah, setiap hari mulai pagi, siang, petang, saya membawa mushaf-mushaf ilmu bahasa Korea yang diberikan oleh para dosen. Kalau tidak, saya akan membuka buku Reading 1-1 dan 1-2. Selelah apapun, saya wajib membaca, begitu terus setiap hari, sampai sekarang. Saya mengadopsi cara belajar Mas Umam, mahasiswa Prodi Korea, yang menulis ulang teks dan menandai kosakata yang belum dimengerti. Cara ini cukup ampuh untuk melatih bacaan dan menambah kosakata. Selain itu, saya juga senang dengan cara Mas Eko yang selalu menyempatkan waktu di tengah kesibukannya bekerja untuk belajar. Mas Eko menerapkan reward and punishment.
Saya ingat dawuh Prof. Ngainun Naim, gurunda tercinta kami, yakni beliau dawuh, ‘Wirid seorang pencari ilmu ya membaca dan menulis. Tidak boleh ada jeda. Setiap hari, diri harus dipaksa.’ Juga beliau sering menggemakan, Sapa tekun, bakal tekan senajan nganggo teken. Saya beruntung sekali bisa belajar langsung dari beliau. Ilmu yang beliau sampaikan, bisa dipraktikkan pada semua lini kehidupan. Jika bisa sampai tahap konsisten, istikamah, maka hasilnya akan jauh lebih manis daripada apa yang kita bayangkan. Suntikan ilmu yang membasahi qolbu seperti itu, membuat fakirah ini memiliki kobaran niat yang mborap-mborap. Ada mimpi yang memang perlu diperjuangkan. Jika mimpinya tidak main-main, maka usahanya juga tidak boleh main-main. Juga, yang perlu digarisbawahi dari awal, niat awalnya harus lillah, sehingga badai sekencang apapun nanti, tidak akan menggeser niat dan ghirah untuk thalabul ilmi.
Apresiasi seperti di atas, bukan berarti sudah selesai, lalu tidak belajar. Fakirah ini tidak boleh sedikitpun lengah kemudian terbesit niatan seperti itu. Nauzubillah. Justru hal itu menunjukkan, ternyata lelah dan peluh selama ini membuahkan hasil. Maka, ke depan fakirah ini harus lebih giat lagi untuk mencapai apa yang dituju. Semuanya bukan hanya tentang hasil saja. Namun nikmat berlelah-lelah ini, sangatlah manis. Suatu masa, saya akan merindukan bagaimana saya menghabiskan malam dengan belajar, siang dengan bekerja, senja dengan belajar. Saya akan sangat merindukan, bagaimana kami sekeluarga tirakatan, mulai suami, saya dan putri kami Zoya. Hari-hari yang penuh dengan perjuangan ini, akan menjadi cerita suatu saat nanti. Juga dalam kurun lima tahun lagi, saya ingin diri ini berterimakasih kepada diri sendiri karena sudah memilih untuk berjuang dan berpeluh.
Apakah proses belajarnya mulus-mulus saja? Ini dunia. Ada banyak sekali bumbu-bumbu kehidupan yang membuat hidup semakin lezat. Saya pernah menitikkan air mata, menangis sejadinya karena tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh, kepada siapa saya harus berkisah. Saya pernah benar-benar menangis dan merasa semuanya berat. Namun, bersyukur sekali, Allah menghadirkan dua guru yang berkenan diajak berbagi beban prodi serta bersama mencari jalan keluar. Terima kasih, jazakumullah untuk kedua guru saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Lambat laun, dari beliau berdua, saya menyadari, mungkin kacamata atau sudut pandang yang saya gunakan sebelumnya belumlah tepat. Mungkin penyelesaian yang saya gunakan kurang maksimal. Dengan arahan beliau-beliau, beban hidup semakin ringan. Semoga Allah membalas kebaikan beliau berdua. Semoga Allah mudahkan hidup beliau berdua sebab membantu memudahkan fakirah ini.
Beberapa orang memang ditakdirkan untuk menguji kesabaranmu. Beberapa lagi ditakdirkan untuk menambah rasa syukurmu.
Aku menari di atas titian takdir
Pena itu telah mengering
Kakiku menari, terus menari di hadapan kisah terindah pilihan Kekasih
Tersenyumlah
Sebab seluruh urusan hidupmu ada di bawah naungan-Nya
Bertenanglah
Ada Rabbmu
Blitar, 15 Januari 2025
Comments
Post a Comment