Esensi Merdeka

 


Agustus, sebuah bulan yang menjadi simbol bulan kemerdekaan bagi bangsa yang besar ini, bangsa Indonesia. Banyak sekali perayaan dimeriahkan oleh segenap masyarakat, mulai dari mengadakan lomba dengan jenjang yang bervariasi, mengadakan upacara bersama, menghias desa serta jalan-jalan, dan hal lain, yang ikut serta menorehkan corak yang indah bagi kemerdekaan di republik ini.

Suka cita memadati setiap sudut-sudut negeri. Berkat jasa dan pengorbanan para pahlawan bangsa, kini, kita sebagai anak cucu dari beliau-beliau pendiri bangsa tidak merasakan penindasan fisik oleh bangsa lain. Kita sudah merdeka dan merasakan hidup yang mungkin lebih baik di banding dengan para leluhur tatkala masih terjerat oleh penindasan penjajahan.

Meski memang, Bung Karno telah membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, namun, benarkah hakikatnya kita semua telah merdeka? Merdekakah kita dalam arti merdeka yang sebenarnya? Lantas jika masih ada yang menyatakan kita ini belum merdeka, kita masih terjajah, apa maknanya?

Di awal, telah disebutkan bahwa kita tidak lagi merasakan penindasan ‘fisik’ dari bangsa lain. Namun hakikatnya, saat ini kita masih belum merdeka sepenuhnya. Dinamisne perubahan global yang membuat tidak lagi ada sekat dan jarak antara dalam dan luar negeri memberikan banyak sekali dampak yang signifikan bagi perkembangan dan pertumbuhan bangsa. Banyak sekali budaya asing yang masuk dan mengikis budaya kemanusiaan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat timur. Belenggu nafsu dan sikap hedon juga membuat bangsa ini tutup mata, tutup telinga ketika melihat dan mendengar jerit masyarakat miskin yang kelaparan, terutama di era pandemi yang benar-benar menyulitkan banyak pihak ini. Ketimpangan sosial, sikap individualis dan acuh tak acuh telah menjadi momok menakutkan bagi bangsa ini. Sekiranya tepat sekali ucapan Bung Karno, bahwa ‘yang aku lawan saat ini adalah penjajah dari bangsa asing, namun era kalian akan lebih sulit. Kalian akan melawan bangsa kalian sendiri.’

Bung Karno seolah-olah seorang yang sakti mandraguna, sebab mampu meramalkan apa yang akan terjadi jauh-jauh ke depan. Terbukti sekali, saat ini yang menjadi musuh bagi diri kita adalah bangsa ini sendiri. Praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme─KKN─masih terus menjamur di setiap instansi bangsa ini, bahkan yang paling parah ada pada instansi pemerintahan, instansi yang katanya diisi oleh para wakil rakyat tersebut. Bukan hanya itu, beberapa instansi pendidikan pun juga tidak kalah ikut tren tersebut. Karena realita di lapangan seperti itu adanya, banyak sekali anak bangsa menyebutkan dalam karya-karya mereka, bahwa jalan menuju gerbang kesuksesan adalah memiliki jaringan orang dalam. Sejenius apapun seseorang yang tidak memiliki relasi orang dalam, akan tetap merasakan terjalnya hidup. The power of – orang dalam, kata mereka.

Begitulah hidup di Bumi Pertiwi ini. Keadaan sebuah bangsa yang katanya sudah merdeka. Meski demikian, kita tentu tidak menafikan kehadiran orang-orang cendekia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral, norma agama, norma sosial dan ajaran luhur para pendahulu bangsa. Mereka memang jarang ditemui saat ini, akan tetapi, entitas mereka tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Dan kepada merekalah, orang-orang yang jujur, pundak bangsa ini menyandar.

Perayaan kemerdekaan yang setiap tahun dirayakan bersama oleh segenap bangsa yang besar ini sepatutnya bukan hanya menjadi euforia di bulan Agustus saja, melainkan menjadi prinsip hidup bangsa ini, bahwa kita sudah merdeka, merdeka dari penjajahan fisik, moral dan tingkah laku yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seperti contohnya, ketimpangan sosial yang terjadi seharusnya bisa diminimalisir dengan saling bahu membahu, misalnya kaum proletar membuka lapangan kerja untuk kaum buruh. Sehingga angka kemiskinan bisa ditekan seminimal mungkin. Pun, masyarakat yang masih berada dalam tataran ekonomi kelas menengah ke bawah juga semestinya sadar diri untuk tidak meniru gaya hidup mereka yang memiliki pendapatan di atas rata-rata. Sehingga kebutuhan pokok yang menjadi target utama  sudah tercukupi.

Bangsa ini memang telah merdeka. Namun kemudahan era digital membuat kita enggan berkarya dan malah membuat kita semakin terjerumus pada perilaku konsumtif. Pun sejatinya, ketika kita masih terus menuruti nafsu, sebenarnya kita masih belum merdeka. Sebab dari nafsu itulah, akan muncul keinginan-keinginan jahat yang bahkan bisa membawa keburukan bagi masyarakat banyak. Misalnya melakukan kasus korupsi, bersikap boros, tinggi hati, dan keinginan-keinginan lainnya yang tidak terbatas.

Esensi merdeka seharusnya dipatri dari segi internal pada setiap individu terlebih dahulu. Sebab, sebuah bangsa adalah kumpulan dari individu. Jika seandainya setiap individu tidak melupakan nilai transenden sebagai pijakan utama ketika mengayuh roda kehidupan, maka hal-hal yang tidak baik, seperti hasrat korupsi, kolusi dan nepotisme bisa semakin ditekan angkanya. Pun rasa haus pada ilmu, sehingga bisa memudahkan hidup bangsa ini juga perlu digalakkan, agar bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jika saja kita mampu mengendalikan ego dan nafsu dari diri, dan dampak yang dihasilkan begitu nyata, maka tentu, para pendahulu dan para leluhur bangsa akan sangat bangga terhadap kita semua. Semoga.


Blitar, 30 Agustus 2021

Comments