Treatment Terbaik untuk Zoya: Perbedaan Pandang antara Mama dan Neneknya



Minggu yang panjang.

Begitu mungkin definisi yang saya sematkan untuk hari ini. Harapan untuk bisa beristirahat dan menghabiskan waktu bercengkrama bersama keluarga kecil saya, pupus tatkala warung Mas digunakan untuk acara webinar teman-teman kampus, sedangkan saya diminta untuk mengerjakan agenda-agenda rumah tangga oleh ibu mertua. Padahal, kemarin malam, mas suami dan saya sudah sepakat, akan menghabiskan akhir pekan ini bertiga, bercanda ria, istirahat dan bermadu kasih. 

Alih-alih tersenyum lebar, yang ada malah saya jengkel dan menitikkan air mata hari ini. Sebab, selepas mas disibukkan oleh acara tersebut, teman sekelasnya sewaktu kuliah tiba-tiba datang dan meminta tolong mas untuk hadir, menemani acara pindah rumahnya. Mengapa tidak membuat janji terlebih dahulu? Hal itu yang membuat saya sebal. Sedangkan di rumah, saya mengurus beberapa pekerjaan rumah. Zoya diajak ibuk, dan saya diperintah oleh beliau untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah. Sudah sebal karena realita tidak sesuai ekspektasi, ditambah ibuk yang cukup jarang menyuruh saya, tiba-tiba melakukannya. Karena jauh panggang dari api, kemarahan saya meletup di mas suami.

Saya memilih untuk diam ketika beliau berpamitan. Saya tahu itu tidak baik, namun mas suami juga lalai dengan janjinya. Karena saya urung datang ketika beliau memanggil, gas motor terdengar ditekan. Beliau berangkat, pikir saya. Meski mata saya mengarah kepada laptop, namun pikiran saya terbang di mas suami. Mengapa beliau berhenti di gerbang depan? Entahlah. Mata sudah berkaca-kaca, saya memilih untuk masuk kamar, menyendiri, agar tidak ada yang mengganggu ketika saya menangis. 

Tidak lama setelah saya menyeka butir-butir yang membentuk anak sungai di pipi, saya mendengar suara derap langkah mendekat. Itu suami saya, batin saya. Ketika beliau masuk kamar, dan mendapati saya memalingkan muka sembari tangan menggenggam tisu, tangan mas mengusap air mata yang mengantre di ujung mata. Karena mendapatkan tekanan, akhirnya, air mata yang berhasil saya bendung tadi, kini tumpah ruah membabi buta di hadapan mas suami. Beliau mengusapnya pelan, seraya berpamitan dengan lembut, menyampaikan, seluruh anak kos yang kos di sini dahulu, termasuk kawan yang mengundangnya tadi, sebagian besar hadir. Mas ingin menyempatkan untuk just say hello. Beliau juga berjanji hanya sebentar saja di sana. Saya pun menyetujui, karena beliau memberikan pemahaman dan ada komunikasi yang baik. Sebab pilihan beliau untuk menurunkan ego, saya pun rela melepaskan beliau berangkat. Tangan beliau saya cium ketika berpamitan.


Di rumah, menyisakan ibu mertua, bapak mertua, Zoya dan saya. Karena bapak tidak pernah menggendong Zoya, akhirnya hanya ibuk yang bisa menggendongnya, sekaligus mempersilakan saya untuk melakukan beberapa aktivitas. Saya menyampaikan hari ini adalah day off saya. Saya ingin bersama Zoya. Sebab jika sudah masuk hari kerja, saya harus menyambi dia. Dan meski setiap mengajar hanya ditinggal selama satu setengah jam, rasa rindu kepada Zoya selalu menusuk-nusuk hati. Saya sangat mencintai bayi mungil itu. Ada kekhawatiran ketika bayi mungil itu lepas dari jarak pandang saya. 


"Buk, jika dia tertidur, Ibuk taruh saja. Nanti saya temani. Ibuk silakan beraktivitas."

Ibukpun menaruh Zoya di kamar. Saya langsung mengambil alih dia, sebab setelah diturunkan, Zoya terbangun. Saya memutuskan untuk mengajaknya bernyanyi, bermain dan bercanda. Tidak lama di kamar, karena tumpukan baju menggunung, Zoya saya ajak tiduran di depan ruang TV. Saya menyiapkan kasur, bantal juga mainan gantungnya di sana. Sembari dia bermain-main, saya melipat baju.


Ketika waktu makan tiba, Ibuk langsung meminta saya mengambilkan jarit. Saya diminta makan, sedangkan ibuk menggendongnya. Saya pun patuh. Zoya memang saya biasakan untuk tidur tanpa gendongan. Saya tidak pernah menggendongnya demi dia tidur. Karena kebiasaan anak bisa dilatih. Hanya saja, ibuk mertua selalu memilih untuk menggendongnya. Karena saya memang sedang makan, maka saya berikan. Hanya saja, was-was karena kebiasannya nanti cukup mengganggu saya. 


Sore hari, sebelum Zoya mandi, saya mengajaknya ke halaman belakang, sebab mas juga di sana, makan sore sembari membagikan makanannya kepada ayam. Saya ingin memberi udara baru untuk Zoya, agar tidak di kamar saja. Begitu melihat saya menggendong Zoya, ibuk langsung memintanya. Saya berikan, karena hanya duduk, dipangku. Namun begitu Zoya sudah di tangan beliau, ibuk meminta saya mengambilkan jarit. Sungguh, aaat itu saya benar-benar ingin menolak dan mengambil kembali Zoya. Tapi saya belum mandi, dan belum persiapan mandinya Zoya juga. Akhirnya saya hanya bisa pasrah, sembari bersungut-sungut kepada suami karena diam saja tidak melakukan apapun.-lelaki diam saja salah 😅


Tidak lama, sebelum saya mandi, saya mendengar kehebohan di belakang. Ibuk berteriak bahwa Zoya seperti terlelap, dan meminta saya memandikannya dahulu. Saya pun berangkat. Cukup senang karena dia tidak terlalu lama digendong. Kemudian, setelah dia siap semuanya, ibuk datang lagi dan meminta Zoya, menggendongnya, sembari menyuruh saya untuk mandi. Saya sebal kepada suami. Padahal biasanya, yang menjaga Zoya tatkala saya mandi adalah suami. Mengapa beliau malah menghilang. Dan memang kalau di tangan suami, Zoya sering menangis. Zoya hanya diam ketika saya, ibuk Blitar dan ibuk mertua yang membawanya. Akhirnya saya hanya diam pasrah. 


Puncaknya, selepas azan maghrib Zoya sudah saya ajak untuk tidur. Namun dia tidak mau tidur. Matanya masih bersinar-bersinar, menyiratkan tidak ada kantuk yang hinggap. Saya pun mengajaknya ke depan, bersama papanya. Di sana malah ada ibuk. Zoya diminta lagi, dan lagi-lqgi meminta saya mengambilkan sewek. Saya sudah menolak, dan memintanya kembali, ibuk malah kekeuh. Suami juga diam saja. Ada rasa menyesal mengapa Zoya saya ajak keluar. Akhirnya, meski tidak rela, saya patuh lagi. Sedangkan Zoya tertidur ketika digendong. Satu jam kemudian, ketika ibuk menaruhnya di kasur, Zoya langsung bangun. Dan, dampak dari kejadian hari ini, langsung terasa. 


Hingga pukul 21.30, bayi mungil itu belum juga terlelap. Dia tidak rewel, hanya diam sembari tersenyum-senyum dan menggeliat di atas kasur. Padahal, lampu yang saya gunakan sedari tadi adalah lampu tidur. Keadaan kamar sudah temaram, mendekati gulita. Saya memang ingin mendidik dia untuk membedakan antara siang dan malam. Dan biasanya, jika lampu tidur sudah dinyalakan, Zoya sudah mulai mengantuk. Namun tidak malam ini. 


Akhirnya, setelah lama saya diamkan, dia mulai mengantuk. Sembari saya beri ASI, dia mulai tertidur. Saya juga merasakan kantuk yang sangat. Karena lelah fisik memang bisa membuat tubuh saya lemas. Saya butuh tidur untuk mengembalikan energi. Beberapa menit setelah saya tidur, Zoya terbangun. Dua kali dia terbangun. Hingga pukul 22.00 lebih, dia baru benar-benar bisa pulas. 


Setelah memastikan Zoya benar-benar terlelap, saya mulai mengambil gawai dan mengirimkan beberapa pesan untuk mas suami. Saya kembali memberikan penegasan kepada beliau terkait pola menggendong ibuk. Dahulu sekali, saya sudah memberikan penegasan. Dan kali ini diulang kembali, sedangkan saat ini, Zoya sudah di fase pembiasaan. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Saya memberikan beberapa alasan panjang lebar kepada mas. Beliaupun menerima, dan berjanji akan menyampaikannya kepada ibuk. Namun mas menyampaikan bahwa hal tersebut butuh waktu, tidak bisa sekaligus langsung berubah. Saya memafhumi dan tetap saya percayakan kepada mas suami. 


Perbedaan pendapat antara mertua dan menantu memang biasa. Apalagi dahulu, ibuk adalah tipe perempuan yang sangat patuh kepada mertuanya. Saya juga melihat mas yang tidak pernah sekalipun membantah ucapan ibuk, meski kadang, level cerewet ibuk sangat tinggi. Saya yakin, buah yang ibu panen saat ini memang hasil dari apa yang beliau tanam dahulu. 


Namun, saya juga menyampaikan maaf kepada mas suami, bahwa saya tidak bisa seperti ibuk. Selama itu memang berdampak baik, saya tentu akan patuh. Akan tetapi, dalam mendidik anak, saya harus belajar ilmu-ilmu baru, super selektif dan menyaring mana yang paling baik agar cara mendidik aaya tidak tertinggal oleh zaman. Bukankah kita diminta untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya? Mas mafhum, karena beliau memang satu-satunya lelaki yang paripurna memahami saya. 


Zoya adalah amanah. Kami memiliki tanggungjawab besar dalam mendidiknya ketika hidup di alam dunia. Apa yang kami tanamkan kepadanya, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari penghakiman kelak. Maka dari itu, saya benar-benar akan sangat selektif dalam mendidiknya. Terlebih, pengaruh luar benar-benar sangat mengerikan. Orang tua saat ini dituntut untuk memiliki filter pengetahuan yang tepat, agar anak mendapatkan pengetahuan sesuai dengan tingkat usianya. 


Saya juga ingin mendidiknya menjadi perempuan mandiri, termasuk mandiri dalam perihal waktu dam cara tidur. Saya paham, dia memang masih bayi. Namun bayi tumbuh menjadi anak dengan karakter demikian dan demikian karena kebiasaan yang diberikan oleh orang tuanya. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Zoya, bahkan semuanya. Semoga kelak, Zoya menjadi anak salehah, disiplin, mandiri, pekerja keras dan cerdas, juga menjadi bunga yang bisa wangi di manapun dia berada. 


Tulungagung, 26 Juni 2021

Comments

Post a Comment