Melahirkan





Selasa, 20 April 2021. Sebuah tanggal manis yang memberikan kesempatan kepada saya, new mom untuk kembali menyentuh laptop. Rasanya seperti mimpi dan saya urung percaya, jika bayi yang saya kandung selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari sudah lahir. Saat ini dia tidur di atas dipan kasur, berselimut kain bedong, juga memakai kaos tangan, kaos kaki mungil, baju mungil, dan perlengkapan mungil lainnya. Cukup masih belum bisa percaya jika tangan mungil itu sudah bisa saya genggam, dan saya cium pipi gembul namun mungil itu. Bibir mungil itu juga sudah meminum asi saya. Saya benar-benar bersyukur, bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang ibu, dan juga menjadi perempuan yang akan dipanggil mama oleh buah cinta pernikahan saya dan suami itu.

Bayi mungil itu telah kami siapkan nama, jauh hari sebelum proses melahirkan tiba. Ada dua pilihan yang saya setor ke ibu dan suami. Pertama, Aliaa Elmeira Albar, dan kedua, Elmeira Zoya El Albar. Dengan kompak, tanpa berunding, sebab waktu menanyakan pendapat nama itu kepada suami dan ibu berbeda, akhirnya keduanya memilihkan nama untuk si kecil Elmeira Zoya El Albar. Saya pun setuju.

Elmeira memiliki makna aristokrat, emirat, kemuliaan. Sebenarnya sama dengan makna Aliaa dari akar kata ‘ali’ yang berarti mulia, tinggi. Dan nama itu tentu tidak lepas dari harapan yang disematkan kepadanya. Saya ingin, si kecil nanti bisa menjadi lambang kemuliaan bagi orang tuanya, bangsanya, agamanya, dan negerinya. Semoga Allah mengijabahi. Amin. Kata kedua adalah Zoya. Terlepas dari nama sebuah ‘brand’, Zoya memiliki arti penyayang. Jadi harapan kami, si kecil bukan hanya menjadi lambang kemuliaan, melainkan bisa menjadi insan cendekia yang penuh empati dan penyayang kepada semua makhlukNya. Percuma menjadi petinggi dan orang mulia namun nol akhlak dan tidak memiliki rasa welas asih kepada sesama. Terakhir, El Albar di ambil dari alif laam untuk kemudian mencomot nama tengah si papa, Dedi Albar Setiawan. Dengan mengambil nama papa, berarti ia adalah putri dari keluarga Albar. Dan dari nama itu, si kecil kami panggil Zoya.

Proses melahirkan Zoya sungguh luar biasa. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan melahirkan secara normal, padahal banyak sekali kawan-kawan saya yang harus menjalani operasi caesar. Di sini saya tidak membandingkan cara melahirkan mana yang terbaik, semua cara baik, tujuan persalinan adalah ibu dan bayi lahir sehat dan selamat. Jadi di sini, saya benar-benar bersyukur, sebab diberikan jalan itu olehNya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika saya harus caesar dan kemudian harus merawat si kecil. Sebab melahirkan caesar butuh pemulihan yang lama, dan saya orangnya rewel. Saya tidak yakin jika saya bisa setangguh mereka yang menempuh jalan caesar dalam melahirkan.

Sejak hari Minggu, tanggal 05 April 2021, saya sudah merasakan gelombang cinta yang rasanya sungguh luar biasa. Suami selalu saya minta untuk mengelus punggung ketika si kecil kontraksi dan perut terasa kencang. Kontraksi sejak hari Minggu sudah teratur, meski durasinya masih satu jam sekali. Alhasil, sejak hari itu, saya mulai jarang tertidur. Karena satu jam sekali, si kecil terus memberikan gelombang cinta.

Dini hari, saya buang air kecil. Kebetulan kamar mandinya ada di dalam kamar ibuk. Setelah keluar kamar, saya mulai merasakan nyeri. Akhirnya ibuk bangun, dan bersiap memanggil Pak Puh, meminta beliau mengantar ke Puskesmas Sananwetan, tempat rujukan persalinan di Kota Blitar pada masa pandemi. Ibuk sudah sangat khawatir, dan berharap saya akan segera melahirkan. Ternyata, begitu tiba di sana, setelah dicek, saya masih buka satu. Alhasil, diminta untuk pulang. Hari Minggu berlalu, Senin tiba. Rasa gelombang cinta semakin sering, dan saya semakin meminta suami untuk bersabar, mengelus punggung saya yang rasanya bercampur-campur. Saya selalu meminta mas untuk mengelus, sebab sensasi sakit yang terasa berubah menjadi nikmat. Rasa sakitnya mereda, yang ada saya menikmati gelombang cinta itu. Mas selalu mengajarkan untuk mencoba menikmati rasa sakit. Sehingga yang terasa bukan sakitnya, melainkan nikmat bahwa sebentar lagi, si kecil akan lahir.

Selasa pagi, saya merasakan gelombang yang semakin sering. Saya akhirnya mendownload aplikasi penghitung kontraksi. Setelah saya cek, rata-rata gelombang cintanya sudah muncul di angka 15 menit sekali, kemudian menjadi 10 menit sekali. Saya akhirnya meminta ibuk untuk bersiap, dan ibuk bersiap meminta tolong Pak Puh kembali. Kami diantar kembali ke Puskesmas Sananwetan. Tiba di sana, saya masih buka 1, kami pun kembali pulang. Rasanya sungguh luar biasa jika harus terus merasakan gelombang cinta berhari-hari dan tidak bisa tidur.

Akhirnya Rabu terlewati, Kamis pun tiba. Rabu malam, saya sudah tidak bisa tidur di ranjang. Saya bahkan tidur di kursi dengan kepala bersandar kepada bantal. Punggung juga saya beri bantal. Bahkan pukul 23.30 hari Rabu sampai dari pukul 01.00 Kamis, 08 April 2021 dini hari, saya jalan-jalan terus mengelilingi rumah bagian dalam. Dengan jalan-jalan, bisa mengurangi rasa sakit kontraksi. Akhirnya saya paksakan untuk terus bergerak. Sebab kata Mbak yang baru melahirkan normal, si bayi mencari jalan. Kita kasih kemudahan, dan berjuang bersama. Saya pun terus bergerak, senam kegel, sujud-sujud dan segala gerakan yang mendukung pembukaan saya lakukan.

Pagi pun tiba. Ketika membuka mata, saya tidak melihat suami. Saya berjalan keluar kamar mencari suami, agar tidak merasakan kontraksi, sebab gelombang cintanya semakin sering dan semakin aduhai rasanya. Begitu melihat suami sedang menyapu halaman, saya memanggil beliau di tengah berjalan. Beliau segera paham, saya sedang mengalami gelombang cinta, dan beliau memeluk saya, sembari tangannya mengelus punggung saya. Rasa sakitnya mereda. Akhirnya saya jalan-jalan, meski rasa nyeri terus timbul tenggelam. Sampai tidak kuat, saya diambilkan kursi oleh Mas, sedangkan mas menyapu halaman. Setiap saya kontraksi, beliau selalu sabar mendatangi saya, dan mengelus punggung. Itu sudah terjadi sekitar tujuh menit sekali.

Ibuk menyiapkan sarapan untuk kami, dengan membelikan nasi pecel kesukaan saya. Mas pun menyuapi saya. Rasanya, untuk makan saja sudah tidak kuat. Namun suami tetap bersabar, dan terus menyuapi saya sembari mengelus punggung. Saya harus kuat. Sampai makanan habis, saya pun memanggil ibuk sembari menahan sakit, dan meminta diantarkan kembali ke Puskesmas Sananwetan.

Tiba di sana, ya Allah masih buka satu. Rasanya ingin menangis. Keputusan akhirnya diambil. Oleh pihak Puskesmas, saya dirujuk ke rumah sakit untuk masuk ke IGD. Ada dua opsi, pertama di RSUD Mardi Waluyo, dan kedua di RSI Aminah Kenari. RSUD Mardi Waluyo menolak rujukannya, sebab masih buka satu, dan meminta untuk datang lagi satu pekan lagi. Sedangkan RSI Aminah sepertinya yang bisa menerima. Karena saya memanfaatkan Kartu Indonesia Sehat, kami harus meminta surat rujukan dari faskes I atau puskesmas Kecamatan Sukorejo. Ibuk pun menyetujui untuk mencarikan surat rujukan, dan saya, Pak Puh plus suami naik mobil, diantar ke RSI Aminah.

Kami duduk di emperan parkir RSI Aminah sembari menunggu ibuk. Tidak lama, ibuk sudah tiba, dan langsung menuju ke IGD. Mas mengurus bagian administrasi, sedangkan saya ditemani ibuk langsung masuk di ruang IGD. Namanya IGD, tentu ada banyak pasien. Ada anak kecil yang menangis kesakitan, ibuk menunjukkan wajah tegang dan kasihan. Terutama, ibuk sangat kasihan melihat saya yang merasakan ‘sakit’ beberapa hari. Demi melihat kepanikan di wajah ibuk, saya pun menghibur beliau, mengatakan bahwa saya baik-baik saja dan semua akan baik-baik saja. Bahkan saya berusaha melucu agar ibuk tidak khawatir.

Tidak berapa lama, Mas suami datang dan meminta saya untuk menuju ke ruang dr. Adyuta Apsari, Sp.OG. Tiba di sana, saya mengantre panjang. Sedangkan kontraksi semakin sering. Akhirnya perawat yang menemani dr. Adyuta meminta saya masuk terlebih dahulu. Begitu dicek, saya buka dua. Ketika di USG, semuanya normal, sehat, air ketuban masih utuh. Alhamdulillah, lega sekali. Saya diminta untuk makan yang kenyang, minum susu atau makanan pengandung energi agar kuat ketika menghadapi proses melahirkan.  

Selepas itu, kami kembali ke ruang IGD. Mas pun membopong ke sana. Tidak berapa lama lagi, saya diminta untuk ke ruang radiologi. Mitos orang Jawa, agar proses persalinan lancar, dilarang mengenakan anting, kalung, maupun cincin. Akhirnya ketika masih mengandung kemarin, saya sudah melepas itu semua. Ternyata kemudahan yang saya dapatkan adalah ketika masuk di ruang radiologi. Di situ diminta untuk melepas seluruh perhiasan dan logam. Saya mengatakan sudah, dan si petugas seperti kaget ketika mengetahui saya sudah tidak memakainya. Ternyata ini kemudahan lain yang saya dapatkan. Selain itu, logika saya mengatakan bahwa ketika proses melahirkan, mungkin saya akan mengejan dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak bisa ditambah tekanan dari logam. Alhasil, saya harus melepaskan satu demi satu.

Selepas dari sana, suami membopong untuk kembali ke ruang IGD. Di IGD, badan saya dipasangi alat yang melilit perut. Oleh petugas kesehatan, saya diminta untuk menekan sebuah tombol ketika si kecil kontraksi. Dan saya melakukannya. Kemudian, saya disuntik antibiotik. Di sini, saya memiliki percakapan asyik dengan mbak perawat.

“Mbak disuntik mau?”

“Boleh, Mbak. Disuntik kan rasanya biasa ya. Kaya digigit semut, tidak sakit.” Saya berusaha menghibur saya sendiri.

“Tapi ini suntik antibiotik, Mbak. Suntik paling sakit ya ini.”

Asem Mbak ini. Saya berusaha menghibur diri malah dipupuskan harapan untuk tidak merasakan sakit, batin saya. Dan benar kata si mbak. Suntik antibiotik rasanya benar-benar sakit. Namun saya berterimakasih kepada si mbak. Meskipun kejujurannya sangat menyebalkan, namun itu membantu memberikan antisipasi saya untuk menahan sesakit apa kiranya yang akan saya terima.

Setelah itu, suami saya dipanggil oleh perawat. Mereka terlibat percakapan yang serius. Tidak lama, suami saya kembali.

“Dek, kamu mau disuntik perangsang?”

“Perangsang biar segera buka, ya Mas?”

“Iya. Sama dokter Adyuta diminta untuk diberi perangsang. Karena sejak tadi masih buka sedikit.”


Saya terdiam lama, termangu. Menimbang-nimbang, apa yang akan terjadi jika saya mengambil keputusan itu dan apa konsekuensi jika saya tidak menerimanya.

“Enggak apa-apa, Dek. Biar anak kita segera lahir. Kamu juga tidak merasakan sakit karena kontraksi terus-menerus.”

Mas menatap mata saya, dalam. Beliau seperti berusaha menyelami apa yang dirasakan oleh istrinya. Sebagai respons, akhirnya saya mencari-cari tangan beliau, kemudian menggenggamnya.

“Papa yakin itu yang terbaik untuk Mama?”

“Percaya sama Papa?” genggam beliau. Saya pun akhirnya memilih untuk menganggukan kepala. Kami setuju. Keputusan sudah dibuat, saya akan diberi perangsang agar segera mengalami pembukaan.

Selesai persetujuan kami, saya dipindah di ruang bersalin menggunakan kursi roda. Saya meminta ibu agar senantiasa menemani saya. Beliau mengekor di belakang. Sedangkan suami, beliau mengikuti juga, untuk melihat di ruang mana saya berada. Selesai beliau mengerti arah mana saya akan dibawa, akhirnya beliau pamit keluar, mencari angin segar dan membelikan saya beberapa makanan.

Di ruangan dingin ber-AC tersebut, saya melihat seorang perempuan dengan keadaan hamil berbaring di ruang tengah. Ruang kami bersebelahan. Saya mengambil ruang paling selatan dengan alasan bisa melihat keluar. Sedangkan si mbak berada di ruang tengah.

Saya pun berbaring, dan perawat yang membawa saya dengan kursi roda mulai menggantikan kantong infus anti dehidrasi dengan cairan perangsang. Saya menikmati proses demi proses. Bahkan saya sempat melongok ke jendela, melihat titik-titik air yang mengembun di jendela kaca. Ruangan ini sangat dingin.

Ibu membukakan bekal yang beliau bawakan. Saya disuapi oleh beliau. Ibu juga meminta agar saya meminum susu kotak yang dibelikan suami tadi. Saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah lima sore.

Setengah jam berlalu, saya belum merasakan gelombang cinta kembali. Masih bugar, sehat dan baik-baik saja. Kemudian, ibu melihat bahwa selang infus saya berhenti menetes. Akhirnya beliau melaporkan kepada perawat. Dan si perawat memperbaikinya, kemudian di bagian infus saya, beliau menyuntikkan cairan perangsang.

Firasat saya langsung tidak enak. Kiranya, apakah dosisnya sesuai jika sebanyak itu diterima langsung oleh tubuh saya? Sedangkan dari infus, yang keluar hanya setetes demi setetes.

Dugaan saya benar. Saya merasakan kontraksi luar biasa. Bahkan saya meminta ibu untuk melafazkan salawat sambil mengelus punggung saya yang sakit luar biasa. Sebab itu rahasia si Mas untuk meredakan sakit di punggung ketika kontraksi tiba. Tidak berapa lama, setelah kontraksi mereda, saya langsung meminta suami yang masih ‘klenger’ karena AC─he cannot live with AC─untuk segera naik dan menemani saya. Kontraksi pun semakin sering. Saya merasakan nyeri luar biasa. Suami tiba, beliau langsung mengambil alih saya.

Dalam keadaan yang benar-benar luar biasa tersebut, saya sangat bersyukur ditemani oleh mas suami yang bisa menggunakan hypnotherapy kepada saya yang sedang mengalami kontraksi. Beliau menekan-nekan pada beberapa titik di punggung saya dengan jari beliau, kemudian mengajak saya untuk bernapas sesuai dengan arahan yang sempat saya ajarkan kepada beliau tatkala saya masih bugar─saya memelajari edukasi persalinan sebelumnya. Saya benar-benar merasakan nikmat luar biasa. Sebab suami menggenggam tangan saya dan terus berbisik untuk menikmati sakit yang datang. Mengubah mindset dari rasa sakit menjadi nikmat. Memang, dalam fase ini, teknik pernapasan adalah teknik paling utama untuk menghemat energi sebelum proses mengejan paling kuat tiba. Namun, saya juga mampu merasakan aliran perubahan dari sakit menjadi nikmat. Sakit, masih sakit. Akan tetapi, fokus saya bukan di situ lagi. Saya merasakan nikmat yang tidak bisa saya deskripsikan. Mungkin inilah yang dimaksud dengan apapun yang terjadi bergantung kepada apa yang kita pikirkan.

Kontraksi sudah terjadi terus menerus. Saya terus merintih melalui pernapasan. Dan kala itu, azan maghrib berkumandang. Saya mendengarkan ibu menyampaikan sesuatu.

“Nduk, ditahan dahulu ya. Jangan sewaktu maghrib.”

“Buk, aku pasrah.” Saya mengatakan itu sebentar dan kemudian kembali fokus kepada teknik napas.

Detik demi detik berlalu. Kontraksi sudah tidak berjeda. Hanya beberapa menit saja jedanya. Di tengah jeda kontraksi tersebut, perawat melihat bukaan saya. Saya sudah buka tujuh. Kemudian, dengan posisi yang masih sama, suami terus mengelus punggung dan perut. Bahkan beliau mengajak saya untuk istirahat, ketika kontraksi tidak terlalu kencang.

“Tarik napas pelan, keluarkan. Tidur sebentar ya?” ucap beliau lembut. Saya mengangguk pasrah, patuh. Akhirnya, meski beberapa detik, saya sempat terlelap. Ketika kontraksi hadir kembali saya mulai lagi teknik pernapasan, sembari digiring suami, dan tangan saya terus beliau genggam.

Pada keaadaan itu, yang saya ingat, saya ingin mengejan secara otomatis. Dan saya mendengar bidan atau perawat yang menangani saya memarahi saya, meminta saya untuk tidak mengejan dengan nada ketus. Benar-benar menyebalkan mereka. Tidak bisakah menyampaikan hal tersebut dengan nada yang lembut dan halus? Batin saya.

Mereka memang benar. Dari edukasi yang saya dapatkan, sebelum buka lengkap sepuluh memang tidak diizinkan untuk mengejan. Hal tersebut dikhawatirkan bisa memberi pengaruh buruk kepada bayi yang sudah sampai di panggul. Di tengah keadaan yang sangat gawat tersebut, saya bersyukur karena suami terus memapah saya untuk mengatur napas. Beliau membisikkan di telinga saya dengan lembut,

“Rileks, Dek. Demi anak kita. Atur napas ya,” ucap beliau pelan dan memberi contoh pernapasan. Setelah mengucapkan bismillah, akhirnya saya kembali bisa mengatur napas. Dan kejadian itu terjadi berulang-ulang. Sampai pada akhirnya, suami saya membisikkan sesuatu,

“Mbah No sudah rawuh, Dek,” ucap beliau sembari tersenyum. Saya bingung, antara berterima kasih atau harus apa. Tidak berapa lama, seluruh perawat berkumpul, dan meminta saya untuk mengejan sesuai dengan instruksi mereka.

Saya tidak boleh mengeluarkan suara dari mulut. Titik fokus mengejan saya harus ada di perut bawah. Mata tidak boleh tertutup. Mulut terkatup. Ketika perut saya terasa sangat keras, saya diminta mengejan sekuat tenaga. Ketika perut lembek, saya tidak boleh mengejan. Dan tiba-tiba, saya merasakan sesuatu keluar dari tubuh, kemudian muncullah bayi mungil yang digendong oleh perawat menangis dengan mulut mungilnya. Tidak berapa lama kemudian, saya merasakan sesuatu yang lain keluar. Rasanya sangat geli. Mereka bilang, itu ari-ari. Saya langsung lemas, bersyukur.

Bayi mungil itu kemudian ditelungkupkan di dada saya. Inisiasi Menyusui Dini, katanya. Semua rasa, seperti berbaur menjadi satu, tatkala kulitnya yang sangat halus bersentuhan dengan dada saya. Wajahnya yang mungil, mulut mungil, mata yang masih tertutup itu, jari-jari mungil, rasanya, saya benar-benar bingung mendeskripkan rasa pada kala itu. Lidah begitu kelu, saking bahagianya.

Saya bersyukur, benar-benar bersyukur dia sudah lahir. Bayi mungil yang selama ini meringkuk di dalam rahim saya telah terlahir. Saya bisa menggenggam jemarinya yang manis. Ingin rasanya mendekapnya. Tidak tega jika ia harus dibawa di ruang bayi, meski papanya mengikutinya.

Seingat saya, bayi pasca dilahirkan itu berwarna merah. Namun tidak dengan si kecil. Kulitnya putih pucat, liat. Dan pasca kejadian itu, saya harus dijahit.

Di sinilah letak rasa sakit yang sebenarnya. Ketika si kecil keluar, saya tidak merasakan apapun. Namun ketika proses jahit menjahit terjadi, saya mulai merasakan nyeri dan rewel. Akan tetapi, meski demikian, proses yang dinanti-nantikan itu telah rampung. Si kecil sudah keluar di dunia dan berjumpa dengan kami. Dia menjadi penyemangat sekaligus obat untuk hati kami.

Sesakit apapun proses melahirkan, itu adalah permulaan. Permulaan dari kisah-kisah selanjutnya yang benar-benar luar biasa.

 

Tulungagung, 02 Juni 2021

x

Comments

  1. Sungguh perjuangan luar biasa mbak Zahra. Begitupun saya dulu ketika menemani istri lahiran, rasane wes gak karuan. Hehe. Tapi endingnya kita sama, sama-sama membuahkan tulisan dari pengalaman super itu. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar Mas Kamim. Nyawa sebagai taruhannya. Tapi begitu melihat si kecil lahir dengan keadaan sehat, rasanya bahagia tidak kepalang. Selamat juga ya Mas sudah menjadi orang tua. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk amanahNya.

      Delete
  2. Selalu suka baca tulisan² Miss Zahra, memotivasi dan penuh makna 🍃 Semoga Zoya tumbuh menjadi anak sholihah kebanggaan keluarga, bangsa, dan agama. Aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ini generasi Z yang multitalenta. Terima kasih sudah berkunjung ya Dek. Amin amin allahumma amin. terima kasih doanya. Kalau pas masuk kuliah boleh singgah di gubuk kami Dek. Mepet sama kampus.

      Delete

Post a Comment