Menghabiskan Hidup di Dunia Kata

 



Ada banyak sekali manfaat mencatat dan mengikat ilmu melalui kata, dalam arti lain, menulis. Pertama, ilmu tidak akan hilang begitu saja. Sebagaimana ungkapan Imam Syafii, bahwa ilmu ibarat binatang buruan, sedangkan catatan adalah pengikatnya. Agar ia tidak hilang, penting untuk mengikat ilmu melalui catatan. Kedua, saya menggunakan mazab Naimisme saya, yakni, ingatan bisa lupa, dan catatan mengingatkan. Dengan menulis, kita sedang mencoba mengabadikan ilmu yang telah kita dapatkan. Ketiga, mampu menjadi sarana atau jalan untuk terus mengalirkan ilmu dan memberi manfaat kepada banyak orang. Kita tahu bahwa salah satu hal yang akan menjadi kawan ketika masa hidup telah habis adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan menulis, selama ikatan ilmu yang telah kita kaji tersebut masih ditelaah dan dibaca oleh orang lain, bisa jadi itu merupakan sumber pahala yang tidak kita sangka hadirnya.

Saya baru saja menelaah dan membaca catatan yang ditulis di blog Dr. Ngainun Naim. Banyak sekali provokasi dan motivasi untuk terus bergerak di bidang ini, bidang literasi. Jika dilihat menggunakan kacamata pragmatis, memang menulis bisa sangat menjanjikan, tentu dalam kurung melalui jerih dan usaha yang tidak sembarangan. Kita bisa menyebut penulis-penulis ternama yang namanya sudah melambung, bahkan karyanya sudah menembus cetakan ke 20. Dalam kalangan novelis, mari kita sebut nama Andrea Hirata, Dee Lestari, Ayu Utami, Tere Liye dan penulis-penulis besar lainnya. Saya salah satu penikmat karya-karya beliau. Dalam membentuk konflik, memotret realita dan menuangkannya ke dalam kata benar-benar sangat indah, runtut, koheren, dan mampu mengoyak emosi pembaca. Sehingga pembaca larut dalam kisah yang digambarkan. Karena kerja keras luar biasa yang telah para novelis itu lakukan, tentu saja hasilnya juga sangat besar. Namun, kita tentu tidak melihat hasilnya saja, bukan? Melainkan bagaimana proses beliau semua berdarah-darah hingga mampu membuat masterpiece yang bukan sembarangan. Seharusnya memang poin ini yang menjadi sorotan, yakni bagaimana beliau berproses dan berjuang.

Sebagaimana yang saya dapatkan dari catatan Dr. Ngainun Naim pagi ini, jika kita mau melangkah di tangga yang lebih tinggi, kita harus melangkah melalui tangga paling rendah. Tidak mungkin tiba-tiba kita bisa berada di tangga nomor sepuluh tanpa melalui tangga nomor lima, enam ataupun delapan. Bagaimana kita bisa melewati tangga itu, kuncinya adalah konsisten, istikamah. Jika setelah melangkah di tangga nomor empat, tiba-tiba lelah melanda dan memutuskan untuk berhenti, bagaimana mungkin kita bisa berada di tangga nomor sepuluh? Analoginya seperti itu. Begitu pula jika dikaitkan dalam menulis. Jika kita ingin dan berharap bisa menjadi penulis kenamaan sebagaimana nama yang telah disebutkan di atas, tentu kita harus memulainya dari bawah, dengan terus menulis dan meningkatkan jam terbang.

Ada banyak faktor memang yang mempengaruhi kuatnya iman kita untuk terus menulis. Sebagaimana pembahasan dalam fikih, hal paling mendasar ada pada niatnya. Jika niatnya sudah berada di jalur yang tepat, tentu akan mudah melaksanakannya. Niat yang diajarkan oleh Dr. Naim dalam catatan beliau adalah, ‘Jika niat menulis hanya demi uang atau agar dikenal maka energi kita tidak akan pernah cukup.(diakses dari https://spirit-literasi.blogspot.com/2021/02/ketika-spirit-menulis-sedang-menurun.html pada haru Rabu, tanggal 24 Februari 2021 pukul 6.35 WIB). Saya tentu sangat mengamini ungkapan beliau. Bahkan dalam catatan beliau yang lain, Dr. Naim juga menyampaikan untuk belajar mencintai menulis, dan menjadikannya hobi. Jika maqam dalam menulis sudah mencapai tingkatan mahabbah, tentu tidak menulis akan membuat orang tersebut sengsara dan merasa bersalah, sebab tidak menjumpai apa yang dicintainya. Dan, dengan belajar untuk mencintai proses menulis, kita tidak akan terfokus kepada hal-hal yang bersifat semu atau pragmatis, melainkan fokus kepada bagaimana kita terus bisa berkutat dengan kata. Sehingga, mindset langsung mengatakan bahwa hasil merupakan bonus, bukan tujuan.

Mari kita menulis dan terus bergerak di dunia literasi. Saat ini, sungguh beruntung kita hidup di era digital, era di mana kita bisa dengan mudah mempublikasikan karya-karya kita. Segala fasilitas telah ada. Semua kemudahan telah tercukupi. Hanya tinggal kita mau atau tidak berkutat di dunia kata ini.

Memang, mulanya sangat sulit, jika kita terlalu berharap kepada hasil. Akan tetapi, apabila proses yang menjadi tujuan, proses merangkai kata demi kata akan sangat menyenangkan, bahkan indah. Salah satu manfaat untuk terus bergerak di bidang kata adalah, kita akan menemui kacamata dan sudut-sudut lain dalam memandang kehidupan yang sangat luar biasa ini. Pandangan kita tidak hanya searah, melainkan banyak. Sehingga, dalam menuntaskan suatu permasalahan, kita dihadapkan pada beragam pilihan. Bagaimana bisa? Menulis menuntut kita untuk membaca secara kritis, baik membaca buku maupun keadaan sekitar. Menulis dan membaca ibaratnya merupakan dua sisi uang koin yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Dari membaca, kita akan mendapatkan banyak hal baru, petuah baru dan kebijaksanaan baru. Sedangkan ketika kita menuliskannya, kita sedang memprosesnya, menganalisisnya dan menancapkannya dalam diri kita. Dan ketika kita telah bergerak di bidang literasi inilah, hidup kita akan berbeda, meski mungkin, proses itu berlangsung secara perlahan.

Jika demikian, banyak sekali manfaat dalam menulis yang kita dapat, lantas mengapa masih beralasan untuk tidak menulis?

 

Blitar, 24 Februari 2021

Bersama si kecil yang telah tinggal di dalam rahim  selama delapan bulan.

 

Comments

  1. Wah sangat keren mbk zahra, terimakasih motivasinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih telah berkunjung, Ibu Siti Rodiah. Terima kasih juga catatan-catatan Ibu yang sarat dengan inspirasi. ☺

      Delete

Post a Comment