Narasi Minggu Pagi


Burung-burung bernyanyi, bersiul membangunkan aku yang masih mencoba meraih sadar. Kepala terasa nyut-nyut, seperti dipukul pelan oleh palu. Dingin mencoba memelukku. Namun ia gagal. Aku masih berkaos kaki, memeluk guling dan berselimut. Kini hawa panas yang berhasil menjamah tubuhku. Tanganku memeriksa kening. Panas.

Aku menggeliat. Mengubah posisi dari miring ke rebahan. Aku belum salat subuh. Jika aku tertidur lagi, dan matahari sudah terbit, aku akan kehilangan Subuhku. Tidak, tidak mau. Segera saja, tubuh kupaksa untuk bangun, membuka pintu, jendela dan pintu belakang. Kaos kaki hangat kulepas. Dingin meraba, mendapatkan momentumnya. Segera saja, air wudu menyengat dengan kesegarannya. Aku menggigil.
Di bawah naung semesta yang membiru, aku bersimpuh. Bermunajat, memohon ampunan dari Tuhan Semesta Alam. Bertafakur, mencoba menjamu diri dengan istigfar. Terus mencoba meraih magfirah Sang Maha Pengampun. Aku tahu, aku nista dan penuh dosa. Tidak ada yang bisa kucari selain ampunan dan maaf dari Tuhanku. Hanya seperti ini yang aku cari.
Waktu terus melaju. Kulepas mukena cokelat, dan segera, menarik selimut kembali. Sebab, panas menguap dari tubuhku. Pusing mendominasi. Aku rebah.

Ring ring... ring ring...

Kepalaku mendongak, melihat ponsel yang meraung-raung. Dia menelepon.

“Assalamualaikum, Mas,” sapaku.

“Waalaikumussalam. Sudah baikan belum?”

“Belum. Masih pusing dan panas.”

“Sudah minum obat kan?”

“Sudah tadi malam.”

“Batuk apa tidak?”

“Tidak, tapi suaranya seperti kodok.”

“Ya sudah. Setelah ini, Mas antarkan makanan. Mau mie goreng dan telur, nasi tahu kecap, atau nasi lodeh kacang lotho?”

“Hmm? Kacang apa?”

“Kacang lotho.

“Apa itu? Lodeh saja. Adek punya mie. Mau maem sayur.”

“Okay. Adek istirahat dulu ya.”

“Iya. Makasih,” ucapku sembari senyuman hadir di bibir.

Dia memang benar-benar. Aku harus memulai dari mana untuk mengenalkan dia? Dia abang Grab-ku (hehehe). Namun tidak melalui aplikasi Grab aku memanggil, melainkan melalui WA dengan via Video Call. Hidup di Tulungagung, makanku diberi oleh dia dan keluarganya. Mulanya sungkan, tapi Mas dan Ibuk memaksa. Aku pun cerita kepada ibu di Blitar. Dan, ibu bilang, itu rezekimu. Jangan lupa berterima kasih. Langsung pikiranku melayang. Sangunya dibuat nanti ketika mau rihlah ke Semarang pekan ini.

Aku menunggunya dengan mendengar penuturan Jack Ma. Pidato Jack Ma benar-benar membelai hatiku. Segera, meski rasa panas menguar dari tubuh, aku menyalakan laptop dan menulis tentang beliau. Mumpung masih hangat, harus segera menyegel ilmu dari beliau melalui catatan.

Belum rampung aku menulis, ponselku bergetar. Segera jemari menggeser tombol hijau ke atas.

“Halo,” ucap di seberang sana. Pemandangan halaman kos menyapa.

“Loh, sudah sampai?” Aku bangkit, menuju teras depan. Dia melambai. Kuambil jilbab dan memakainya, sekenanya. Bajuku sudah panjang. Tinggal menggunakan sandal dan turun ke lantai satu, menuju gazebo kos. Dia menanti di sana.

“Assalamualaikum, Abang Grab,” panggilku setiba di sana.

“Waalaikumussalam,” ucapnya sembari tersenyum, “ini, sambungnya. Dia menyodorkan tas plastik besar. Aku membukanya.

“Ini susu dua seperti tadi malam?” Aku mengeluarkan seplastik cairan putih.
“Iya, itu dua porsi.”

“Kok banyak to. Apa adek habis?”

“Buat nanti siang juga bisa. Itu pokoknya harus dihabiskan sampai siang lo ya. Nanti sore Mas antar lagi,” ucapnya.

“Ini buat seharian bisa, Mas. Adek maemnya sedikit. Gek apa habis?” Lidahku terasa pahit melihat makanan. Namun kembali manis ketika melihat siapa yang mengantarkan.

“Ya enggak mau tahu. Pokoknya dihabiskan sampai nanti siang.”

“Hmm.” Aku manyun.

“Hehe, dibagi sama teman kosnya kan bisa, Dek,” ucapnya.
“Ini obatnya. Diminum setelah makan, yang ini vitamin buat malam saja ya.”

“Lah Mas apa sudah sembuh?”

“Sudah, alhamdulillah.”

“Ihh.” Aku gemas.

“Ibu rewang ini tadi. Aku ngapain ya enaknya,” ucapnya seperti bermonolog dengan diri sendiri.

“Ke pantai yuk, main.”

“Sakit gitu sampean.”

“Eh iya. Sebelum adek rampung tesisnya, puasa dulu ya mainnya.”

“Iya iya. Pokoknya sembuh dahulu.”

Aku memang sangat ingin ke pantai. Namun belum keturutan sampai sekarang. Baiklah, berpuasa dahulu, baru kemudian berbuka, melihat ombak dan mendengar gulungan buih yang bertasbih.

Mas pulang, ya?”
“Sudah? Begitu saja?”
“Mas belum mandi tadi.”
“Ihh… yuck. Padahal adek juga belum.”
 Ya sudah masuk sana.”

“Makasih ya Mas, Abang Grab,” ucapku sembari tertawa.

“Sama-sama, sayang.”

“Hahahaha.” Aku tertawa.

Setelah ia menghilang dari balik gerbang, aku melangkahkan kakiku kembali ke kamar. Dingin kembali bersorak-sorai menembus tubuhku. Tubuhku lunglai, lemas. Lidahku pahit. Susunya segera kupindahkan ke botol minuman. Maklum, anak kos tidak memiliki gelas. Dan segera, kamar kubersihkan, menyapu dan mengusir debu dengan kemoceng.


Suara burung kembali berdericit. Aku menengok di kolam milik tetangga yang penuh dengan ikan berwarna oranye dan putih. Mereka gemuk dan memiliki perut yang gendut. Kusapa mereka dengan salam. Di bagian utara kolam, tampak pohon bambu melambai-lambai. Kusampaikan salam juga kepada mereka yang sedang bertasbih.

Ah, bumi Allah. Begini saja, Rabb. Aku sudah sangat bersyukur dan bahagia. Angin datang membelai. Aku masuk ruangan. Rebahan kembali. Sembari memeluk guling dan juga mendengarkan khatmil Alquran dari musala seberang, jemariku menari.







Comments

Post a Comment