Keep Movin'
Baiklah, catatan kali ini
sebenarnya saya peruntukkan untuk mencari pemecah masalah, sebagai obat gundah
dan sebagai wujud pasrah. Saya mencari obat dengan cara menulis, sebab dengan menulis,
saya sedang berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Dengan menulis, saya bisa mencari
titik permasalahan yang mencoba untuk menggerogoti alam pikiran, menelaahnya,
dan menganalisis dengan bentuk penawaran penyelesaian.
Pertama, masalah yang
sedang melilit saya adalah, tesis. Satu kata mewakili semua rasa. Katanya saya
suka menulis, mengapa susah menerapkan menulis tesis? Kali ini, akan saya
jabarkan alasannya.
Tesis berbeda dengan penulisan popular yang saya sukai. Tentu saja, sebagai
sebuah tugas akhir perkuliahan, apalagi pada level magister, tesis menuntut
saya (atau saya menuntut saya sendiri) agar ia bisa dipertanggungjawabkan
secara professional dan bermutu. Sebagai tulisan ilmiah, tentu saja mengerjakan
tesis membutuhkan gelagat, kerja, dan usaha yang giat. Apalagi jika sudah
memasuki tahap sintesa di bagian finding dan discussion. Metode yang
digunakan untuk penelitian juga harus jelas. Sumber referensi tidak boleh
sembarang mencomot. Proses anlisis dan sintesis teori dan pengolahan pikiran
harus runtut. Ya begitulah. Membutuhkan proses panjang dan kinerja yang luar
biasa.
Saya tidak hendak
menggerutu sebab prosedural penulisan tesis memang seperti itu. Saya suka
dengan proses-proses itu, sebenarnya. Bukannya sok atau apa, tapi bagi saya itu
menantang dan mengasyikkan. Karena idealisme diri yang too much sok-sok
an suka sama tantangan dan hal-hal yang memicu adrenalin, kali ini, saya
terpeleset oleh idealisme sendiri. Sakit? Lumayan. Dampaknya hati ini lebam,
membiru, membengkak.
Permasalahan inti yang membuat saya molat-molet dalam mengerjakan
tesis kali ini adalah, topik yang saya ambil. Ya, benar, saya sangat suka
bidang linguistik. Tapi konsentrasi studi saya ada di bidang pendidikan. Jadi,
jadi, jadi, dapat Pembaca tebak, saya harus berjuang dari titik nol. Ketika sudah
di depan laptop, dan tangan sudah siap untuk mengetik, tapi ternyata kumpulan
memori saya cukup usang dalam mengingat materi tentang Discourse Analysis dan
Linguistics. Materi DA ini pernah dijadikan matakuliah pilihan ketika saya masih
duduk di jenjang S1 kemarin, semester enam. Alhasil, laman Microsoft Word
kembali di-minimize, kemudian membuka dan membaca buku-buku induk (every
words are written by English, and I have no choice), yang sering sekali
saya gagal memahami.
Bisa dibayangkan. Tema yang saya ambil, adalah judul yang lumayan, dan
terlihat asing untuk saya, kemudian metode penelitian yang saya gunakan adalah
Qualitative Research dengan pendekatan Discourse Analysis. Padahal pendekatan
ini kemarin tidak dimasukkan di dalam mata kuliah di S2. Cukup clemun-clemun
dan merasakan didihan darah yang luar biasa di dalam diri saya.
Sekarang baru menyadari. Mengapa saya begitu PD dahulu waktu menerima
tawaran judul ini dari Doktor ahli linguistik yang sekarang menjadi pembimbing
satu saya? Ya sudah, terlanjur basah, dilanjutkan saja berenangnya. Mungkin di
depan sana akan ada pulau yang menjadi tempat istirahat setelah proses
menceburkan diri di samudra linguistik ini selesai.
Sebagai seorang yang (belajar dan harus PD melabeli diri sebagai) profesional,
saya harus bertanggungjawab dengan pilihan yang sudah diambil. Mau tidak mau,
saya harus bisa melahap buku-buku dan artikel-artikel itu. Meski entah, harus
berapa kali mengernyitkan dahi untuk sekadar memahami maksud orang-orang Barat
sana, tapi, tak apa. Bukankah Allah itu Mahatahu ukuran dan kapasitas
hamba-hamba-Nya. Jadi jika memang saya sudah di sini, it means saya
mampu.
Ya memang saya harus benar-benar jungkir balik. Sakit? Ya pasti. Berpeluh? Oh,
ndrodos. Jadi, tidak boleh lagi mengeluh dan terus saja mengeluarkan
ujaran-ujaran bermuatan negatif. Saya harus benar-benar diet dari malas dan
mengeluh. Saya harus bisa mendidik diri sendiri dengan keras. Jika memang tesis
kali ini isinya adalah linguistik, bukankah ada niatan terdalam untuk
melanjutkan studi program doktoral di bidang linguistik (seperti bapak
pembimbing satu saya)? Jadi, semua hal yang sudah direncanakan oleh Allah ini
adalah yang terbaik.
Bagaimana? Sudah menemukan solusi? Sudah. Baik, saya akan kembali bercengkerama
dengan James Paul Gee, Austin, Brown and Levinson dan kawan-kawan lainnya. Salam.
Blitar
July, 9th 2019
Comments
Post a Comment