Urgensi Melek Literasi bagi Perempuan yang Sudah Berumah Tangga
Literasi tentu tidak hanya menyoal tentang melek baca dan tulis saja, lebih
dari itu, tujuan dari literasi adalah ilmu dan pengetahuan yang kemudian
dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, telah dirumuskan sebelumnya,
bahwa knowledge is power. Orang yang
memiliki pengetahuan dan paham dengan keilmuan, memiliki otoritas sendiri.
Otoritas yang dimaksud bukan hanya seputar instansi atau lembaga, lebih kepada
kehidupan yang dimiliki oleh orang yang berpengetahuan. Setidaknya, ketika
menghadapi polemik bahwa hidup ini tidak memiliki pilihan, seorang yang
berpengetahuan tentang problem yang sedang menimpanya tentu akan memiliki
celah, jalan ataupun sudut lain untuk merampungkan dan menyelesaikannya dengan
pertimbangan, resiko serta konsekuensi yang baik.
Jalan menuju knowledge itu ada
pada literasi. Peran literasi di sini sebagai jembatan, sesuatu yang
menjembatani dari ketidaktahuan menjadi tahu. Untungnya, di era digital dan AI
seperti saat ini, akses untuk mendapatkan informasi dan knowledge masuk dalam kategori unlimited.
Hanya saja, di tengah derasnya arus pengetahuan ini juga merupakan kesempatan
untuk menjamurnya hoax yang
menimbulkan chaos di tengah
masyarakat. Namun, orang yang telah well-educated
seharusnya mampu meng-counter mana
fakta mana bukan. Akan tetapi, tidak jarang karena kepentingan, seseorang yang
bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi juga tenggelam dalam
lautan hoax. Baiklah, kita tidak sedang
mendiskusikan perihal tersebut saat ini. Mari kita skip.
Menoleh kepada sejarah, akses literasi yang diberikan kepada perempuan
sangatlah minim. Hal itu akhirnya berdampak pada kompleksnya peran perempuan di
masa lalu bahkan berlanjut hingga sekarang, karena masyarakat kita kebanyakan
adalah penganut paham patriarki. Sebut saja setelah berumah tangga, perempuan
pribumi yang memilih menjadi ibu rumah tangga otomatis menjadi seorang pesuruh
yang bertugas membersihkan rumah, setiap hari tanpa jeda. Perempuan juga
bertugas menjadi seorang koki, yang memasakkan seisi rumah. Selain itu,
perempuan juga bertugas menjadi seorang baby-sitter,
yang bertugas mengasuh bayi sepanjang hari dan malam. Perempuan bertugas
untuk mencucikan, menyetrikakan, melipat dan menyimpan baju. Perempuan juga
ditugaskan untuk mencucikan piring setelah makan. Di era yang lebih modern
seperti sekarang, perempuan juga menjadi guru di rumah, ketika anak-anaknya
tidak memahami pelajaran di sekolah. Siklus kehidupan perempuan hanya berkutat dari
sumur, dapur dan kasur. Jika mau dijabarkan, masih ada segudang ‘tugas’ lain
yang sangat luar biasa dibebankan kepada perempuan. Sungguh, pernahkah kita
berterima kasih kepada sosok yang mutli peran seperti itu?
Sedangkan bagaimana peran seorang laki-laki? Mencari nafkah sangatlah
penting, sebab tiang untuk terus melangsungkan hidup ada pada bidang ekonomi.
Sepatutnya memang kita bersyukur dengan pertanggungjawaban seorang lelaki yang
masih mau mencarikan nafkah bagi keluarganya. Akan tetapi, bukanlah sebuah
kebenaran jika lelah karena bekerja dijadikan alasan untuk tidak membantu peran
perempuan sama sekali di rumah. Di rumah, mungkin perempuan bahkan lebih lelah
fisiknya dibandingkan kaum lelaki yang bekerja. Namun mereka tetap memilih
untuk multi peran. Rumah tangga tentu saja dibangun berdua. Untuk menjaga,
menopang dan mempertahankan keharmonisan tentu saja dibutuhkan kerja sama yang
baik oleh kedua belah pihak. Namun, lagi dan lagi, narasi itu masih jauh
panggang dari api, terutama yang tinggal di kampung-kampung, orang yang minim
literasi dan orang-orang sepuh dengan
pemikiran konservatif. Akibatnya, hingga sekarang, tidak jarang perempuan masih
terjerat oleh siklus sumur, dapur dan kasur. Walaupun di luar sudah melakukan
peluncuran roket di Mars, namun kita masih terjebak pada kasus perempuan yang
masih harus menjadi multi-tasking dalam
rumah tangga. Bahkan juga ada yang mengerjakan tugas-tugas tersebut sembari
bekerja menafkahi keluarganya.
Di masa kini, dengan banyaknya aktivis persamaan gender, sepatutnya
perempuan diberikan ruang untuk memberdayakan dirinya melalui literasi.
Setidaknya, mereka paham dan mengerti apa kodrat mereka sebagai perempuan dan
apa yang seharusnya bisa dibagi dengan pasangan. Disampaikan oleh Najwa Shihab
bahwa kodrat perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Selebihnya, seperti dapur, sumur dan kasur, adalah pekerjaan yang sepatutnya
bisa dibagi dengan pasangan. Bahkan, saat ini juga tidak jarang perempuan yang
juga bekerja, seperti lelaki. Jika perempuan mampu melakukan pekerjaan lelaki,
yakni mencari nafkah penghidupan, mengapa lelaki tidak bisa ikut mengerjakan
tugas-tugas rumah harian? Sebenarnya pengetahuan ini bukan hanya untuk
perempuan, namun laki-laki yang akan diajak mengarungi samudra rumah tangga
juga perlu paham bagaimana kehidupan bersama sepatutnya dijalani dan juga
memikirkan bagaimana cara memuliakan perempuannya.
Perempuan sangat memerlukan basis literasi yang kuat, utamanya mereka yang
telah memilih untuk berumah tangga. Sehingga perempuan memiliki prior knowledge dan lebih bersikap open minded terhadap hal-hal baru serta
pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan pengalaman yang didapatkan dari
orang tua. Seorang ibu yang memiliki rasa ingin tahu lebih tentang parenting, terus memiliki semangat
belajar, berliterasi, bahkan mau menjadi penggerak di sekitarnya melalui menulis
di media sosial, atau media lainnya, karena sang ibu paham, siapa tahu bisa
menjadi jalan untuk tersampaikannya pengetahuan tentang mendidik anak kepada
sekitarnya. Selain menjadi cahaya bagi persekitarannya, utamanya dalam
mendidik, mengasuh dan membersamai bayinya yang sedang mengalami pertumbuhan
dan perkembangan, seorang ibu yang memiliki basis literasi yang baik tentang parenting juga akan melakukan proses dan
ihtiar yang optimal agar hasil didikannya juga maksimal. Jika anak mendapatkan
kasih sayang, pendidikan dan perlakuan yang baik sesuai dengan usianya dari
orang tuanya, hal ini tentu akan berdampak pada semakin baiknya generasi yang
akan datang. Jika ditarik benang, akan sangat panjang tujuan dari seorang ibu
yang berliterasi, bahkan mampu memberikan peradaban baru.
Selain itu, dalam masyarakat kita ketika perempuan baru melahirkan bayi,
akan ada saja mitos tentang pengasuhan bayi yang dipercaya oleh orang tua dan
mertua yang terkadang malah justru membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Seperti
contoh, ibu menyusui dilarang minum air yang banyak, maksimal sehari satu gelas
sebab ditakutkan bayinya akan pilek. Jika sampai sang ibu dehidrasi sebab
menyusui, bukankah sangat fatal akibatnya. Belum lagi perihal feeding rules MPASI yang hanya boleh
diberikan kepada bayi ketika bayi berusaha enam bulan ke atas. Terkadang, masih
saja ada orang tua yang ngeyel memberikan MPASI di usia tiga bulan, atau bahkan
kurang, padahal beresiko kematian bayi. Jika dihadapkan pada kondisi seperti
itu, seorang ibu yang berliterasi tentu tidak akan hanya diam dan patuh, namun
akan berusaha mencari gap untuk
berkomunikasi dengan baik kepada orang tuanya.
Akan tetapi, jika dihadapkan pada orang tua atau mertua yang tidak mau
disalahkan dan tetap teguh dengan pandangan konservatif tersebut, seorang
perempuan yang teredukasi akan berusaha untuk bersikap legowo, mengalah, dan
mengadukan permasalahannya kepada Allah, namun tetap tidak mengesampingkan hal
yang bisa menyelamatkan ibu dan bayinya. Pengetahuan tentang bersikap patuh,
taat, legowo, mengalah dan tidak menyakiti hati orang tua seperti ini juga
tidak mungkin didapatkan tanpa melalui literasi atau belajar. Sebab, hidup di
tengah masyarakat, yang diandalkan bukan hanya IQ saja, namun juga mengandalkan
Emotional Quotient yang baik, bahkan tidak memungkiri untuk terus mengasah
SQ-nya juga. Ditambah, terutama bagi perempuan yang baru melahirkan anak dan
memiliki bayi, sangat rentan terkenan baby
blues syndrome. Sindrom yang kaget dengan kehidupan baru sebagai seorang
ibu, yang tidak memiliki waktu seperti saat gadis. Bahkan jika sudah parah,
perempuan dengan sindrom ini bisa saja menyakiti bayinya dan dirinya sendiri. Nauzubillahiminzalik. Semoga Allah
menjauhkan kita dari perkara tersebut.
Oleh karenanya, melalui literasi, seorang perempuan diharapkan bisa
memiliki persiapan penuh untuk berjuang. Perjuangan perempuan tidaklah mudah,
sebab memperjuangkan kesehatan mental dan kesehatan fisik ketika sudah memasuki
dunia rumah tangga. Akan tetapi, dengan terus melakukan ihtiar belajar, terus
meminta kemudahan dari Allah Swt., serta terus berusaha mendapatkan pengetahuan baru,
semoga hal-hal baik datang kepada para perempuan hebat tersebut.
Salam luar biasa untuk seluruh ibu hebat yang memperjuangkan kehidupan
anak-anaknya, keluarganya dan kehidupannya. Semoga Allah memberikan keberkahan
pada setiap malam panjang yang ibu habiskan untuk begadang demi menyusui
bayinya. Juga pada setiap hari yang rela berlelah-lelah untuk mengasuh bayinya.
Pun pada setiap kesabaran yang harus menjadi tameng diri saat dihadapkan pada
situasi sulit. Semoga Allah menggolongkan kita semua menjadi orang yang
bertakwa dan tawadu terhadap titah takdir Sang Rabb. Amin.
Tulungagung, 24 Mei 2022
Comments
Post a Comment