Kenangan dan Hari Ini: Indahnya Menjadi Seorang Ibu
Di sebuah sudut kamar yang temaram, bersama seonggok lampu belajar yang sedikit
berdebu, saya duduk di atas kursi sembari mengerutkan dahi. Tiba-tiba ada rasa
haru yang mampir dan membuat mata basah berkaca-kaca. Tak lama, sebuah senyuman
terbit di sudut bibir. Seperti ada sesuatu yang memenuhi ruang dada, ingin
meledak, ingin meletup. Rasa bahagia bercampur sedih dan haru teraduk menjadi
satu. Akan tetapi, rasa itu terusik sesaat. Sebab kaki yang berselonjor di
kolong meja disantap oleh nyamuk-nyamuk lapar. Sebuah adegan yang mengusik
kekhusyukan renung malam ini.
Linangan air yang menggenang di bola mata disebabkan oleh sebelum duduk
manis di kursi ini, saya melihat beberapa foto Zoya yang masih bayi. Rasanya
seperti baru kemarin saya hamil, membawanya ke manapun saya pergi. Perut yang
tadinya rata terus membuncit, kian hari semakin besar. Saya masih sangat
mengingat rasanya kontraksi yang membuat saya tidak bisa melakukan apapun, termasuk
beristirahat, meski badan amat penat. Bahkan saya, suami dan keluarga harus
bolak-balik ke puskesmas Kepanjen Kidul, Kota Blitar lantaran merasakan
kontraksi. Ternyata, selama empat hari saya baru buka satu. Hingga kemudian
saya dirujuk di Rumah Sakit Aminah, Kota Blitar.
Semuanya terjadi begitu saja, dan tahu-tahu, saya merasakan gelombang cinta
yang sangat dahsyat dari rahim. Saya pun mengatur napas, menggenggam erat
jemari suami, dan alhamudulillah, dengan selamat melahirkannya, seorang bayi
mungil yang sangat cantik, sehat dan menggemaskan. Dia begitu cantik. Parasnya
elok. Bayi mungil itu adalah putri saya, darah daging yang tumbuh dari diri
saya.
Selesai melahirkan, saya memeluknya sesaat. Setelah bertemu untuk kali
pertama dengan putri yang baru keluar dari rahim saya itu, kami harus berpisah
selama semalam. Mas suami diizinkan perawat untuk mengazani si kecil. Sedangkan
saya masih harus dijahit. Selesai diazani, mas suami diminta untuk membawa baju
dan bedong bayi di ruang bayi. Alhasil, bayi mungil itu diikuti papanya. Meski
tampak lelah, papa tidak bisa menyembunyikan raut sumringah yang sangat. Hati
lelaki itu sedang penuh dengan bunga indah yang belum pernah mekar sebelumnya.
Sebenarnya, seharusnya saya melahirkan putri pertama kami di Puskesmas
Kepanjen Kidul, Kota Blitar. Namun biiznillah, dengan kuasa Allah, saya dirujuk
di rumah sakit beserta segala fasilitasnya. Saya menggunakan Kartu Indonesia
Sehat, dan alhamdulillah, segala fasilitas bisa digunakan tanpa biaya apapun.
Tidak pernah terpikir sebelumnya, alurnya akan begitu indah.
Saat mendapat rujukan, sebenarnya saya masih berada di Puskesmas Kepanjen
Kidul, Kota Blitar. Berangkat ke sana, saya ditemani ibu dan Pak Puh yang
menyetir mobilnya. Sedangkan mas suami mengikuti dengan motor. Ibu saya rela
menggunakan motor mas suami untuk mencarikan surat rujukan dari Puskesmas kecamatan,
karena memang kecamatan tempat alamat tinggal saya bukan di Kepanjen Kidul,
melainkan di Kecamatan Sukorejo. Kemudian, mas suami, Pak Puh dan saya naik
mobil menuju ke RS Aminah Kenari.
Tiba di sana, kami menunggu ibu di tempat parkir. Ruangan parkir yang luas
dan panas, membuat saya engah. Terutama untuk beberapa saat, saya mengalami
kontraksi. Sedangkan kami bertiga duduk di lantai kosong, mungkin tempat parkir
mobil. Rasanya benar-benar luar biasa.
Setelah menunggu selama kurang lebih satu jam, ibu muncul dengan motor
Vario putih biru milik mas suami dari jalan utama parkir. Kami pun menunggu ibu
yang turun dari motor dan membawa surat rujukan. Raut ibu tampak lelah dan
khawatir. Selesai menunjukkan surat keperluan kami, secara bersama, kami menuju
ke ruang depan, ruang resepsionis. Kebetulan, hari masih pagi, namun terik pagi
ternyata mampu membuat saya yang hamil besar cukup kelelahan. Jarak tempat
parkir dan ruang resepsionis cukup jauh.
Mulai dari situ, mas suami mengambil alih tugas administrasi. Sedangkan ibu
menemani saya di ruang tunggu. Logika saya langsung mengatakan, mengapa kami
tidak menunggu di ruang tunggu sejak tadi? Ah, mungkin karena saya tidak
memiliki pengalaman di rumah sakit, kecuali saat mas suami jatuh sakit dan
harus dirawat inap dahulu. Itupun yang mengurus administrasi adalah ibu. Namun,
saya benar-benar sudah tidak kepikiran. Yang terjadi tidak mungkin bisa
disesali. Selanjutnya, kami mendapatkan kabar bahwa saya harus masuk ruang IGD.
Hanya satu orang yang boleh menemani pasien. Akhirnya, mas meminta ibu menemani
saya.
Di dalam ruang IGD, ada beberapa jeritan yang sangat pilu. Raut ibu
langsung pias. Saya menggenggam jemari tanganya yang sudah keriput. Karena
dinginnya AC, tangan ibu ikut dingin. Sembari tersenyum, saya menyampaikan
kepada ibu, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya meminta ibu mendoakan agar
kami, saya dan calon cucu pertamanya ini bisa melewati ini semua dengan baik.
Walaupun sebenarnya lucu, karena saya pasiennya, yang seharusnya membutuhkan
support dan hiburan. Namun pada posisi ini, saya malah menghibur ibu. Saya
tahu, hati ibu kecil. Mendengar jerit tangis kesakitan pasien di samping
ranjang tidur saya, membuat hati ibu takut jika sesuatu terjadi kepada putri
dan cucunya. Saya sangat paham kepada ibu. Dan terus mengatakan beliau, bahwa
kami akan baik-baik saja.
Selang infus sudah terpasang di tangan bagian kiri. Seumur hidup, baru kali
ini saya diinfus. Semoga jika memang membutuhkan infus lagi, nanti saat saya
akan melahirkan anak kedua, ketiga atau ke berapapun sesuai dengan rencana kami
dan takdir Allah dengan keadaan yang sama, baik dan sehat. Amin.
Kemudian, saya menjalani serangkaian pemeriksaan. Saya lupa istilah
medisnya apa, termasuk rapid test covid-19, foto rontgen, dan USG. Serangkaian
tes tersebut menunjukkan hasil yang baik. Dan alhamdulillah setelah dicek oleh
ibu dokter, saya sudah buka dua. Jeda kontraksi menjadi lebih sering dibanding
sebelumnya. Kemudian, saya diminta kembali lagi ke ruang IGD dan menunggu
penanganan selanjutnya.
Saat di tempat IGD, seorang perawat muda masuk dan mengatakan akan
melakukan suntik antibiotik. Ada sedikit rasa takut saat perawat mengatakan
suntik. Selanjutnya saya menyampaikan, “Suntiknya pasti biasa saja ya, Mbak?
Mungkin rasanya seperti digigit semut, hehe.” Saya berusaha menghibur diri. Mbaknya
kemudian menjawab, “Tidak, Mbak. Ini adalah suntikan paling sakit. Suntik
antibiotik adalah suntik yang paling sakit rasanya.” Seketika, saya langsung
merutuk di dalam hati. Tidak bisakah si mbak sedikit menghibur saya? Sudah tahu
rasanya seperti ini, malah ditakut-takuti. Dan yang benar saja, suntikannya
benar-benar sakit. Sangat sakit.
Empat jam berlalu. Seorang perawat mencari mas suami untuk melakukan
diskusi. Sebab setelah ditunggu selama empat jam masih buka tiga lebih sedikit,
maka dokter yang bertugas menangani saya meminta saya diberikan drip,
rangsangan. Saya cukup pias saat mendengar hal tersebut. Namun karena
ketidaktahuan, akhirnya saya setuju setelah mas suami dan ibu menyarankan untuk
menyetujuinya, alasannya agar segera selesai, agar saya tidak kesakitan lagi.
Selesai tanda tangan, kami pindah tempat. Saya dibawa dari ruang IGD ke
ruang bersalin. Dengan kursi roda, saya dipapah seorang perawat muda. Mas suami
dan ibuk mengiring dari belakang. Kami naik lift, untuk kemudian berhenti di
lantai dua. Di sebuah pintu seberang resepsionis, perawat yang mendorong kursi
roda yang saya duduki berhenti. Dia menyapa resepsionis terlebih dahulu,
sebelum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, wuss, hawa dingin langsung menyentuh kulit. Ruangan ini lebih
dingin dibanding ruang IGD. Setelah masuk, saya langsung menyapu pandangan.
Ruangan itu bersih. Ranjangnya ada tiga, masing-masing memiliki penyekat
kelambu berwarna hijau. Di bagian tengah ada seorang perempuan hamil sedang
tiduran, sembari ada selang infus yang menyambung pada tangannya. Ada sebuah
pintu yang sepertinya pintu toilet. Pun ada meja administrasi dan ranjang kosong
di sudut ruangan. Ruangan ini benar-benar sunyi, sepi dan sangat dingin.
Perawat yang membawa saya mulanya hendak meletakkan saya di bagian paling
utara, namun saya langsung memintanya untuk berada di dekat jendela. Perawat
yang baik hati itu langsung mengabulkannya. Begitu tiba di sana, Mas suami
langsung undur diri. Hidungnya tidak bisa berlama-lama di ruangan ber-AC, atau
mas suami akan mengalami bersin. Bersin-bersin di kondisi Covid-19 seperti ini
sepertinya tidak terlalu baik apalagi lokasinya di rumah sakit. Akhirnya beliau
meminta izin mencari kantin untuk membelikan beberapa camilan untukku dan untuk
ibu.
Saya mencoba untuk jalan-jalan, meski harus membopong tiang infus ke
manapun. Karena ini lantai dua, mungkin saya bisa mendapatkan sedikit hiburan
dari balik jendela. Kaca jendela tampak mengembun. Rintik gerimis mulai datang,
menyapa kami dari jendela kaca yang gelap dan dingin ini. Di luar sana, lampu-lampu
kendaraan tampak mengabur. Hari sudah sore, pukul 16.30 WIB.
Saya ingin ke kamar mandi, karena merasa ingin pipis dan ingin
mengeksplorasi keadaan toilet rumah sakit. Toiletnya bersih, wangi, dan sangat
baik untuk kaum difabel. Tidak perlu berlama-lama, selesai buang hajat dan
mendapatkan kesimpulan, saya kembali ke ranjang tempat saya. Ibu sudah memenuhi
meja nakas dengan bekal kami. Pun beliau menawari untuk menyuapi saya,
menuangkan susu di gelas, dan meminta segera meminumnya.
Saya bersyukur, sebab ditemani oleh ibu, seorang ibu yang sebentar lagi
akan saya rasakan bagaimana rasanya melahirkan. Saya senang, karena mendapatkan
perhatian ibu. Sebagai seorang perempuan anak pertama, saya lupa kapan terakhir
ibu menyuapi saya. Selesai makan, ibu melihat infus saya sepertinya tidak
menetes. Beliau khawatir. Akhirnya beliau memanggilkan perawat. Sayangnya,
perawat yang sedang bertugas memiliki sifat ketus yang menyebalkan. Cara
berkomunikasi dengan pasien tidak menggunakan bahasa yang santun dan lembut, melainkan
menggunakan bahasa yang ketus dan tidak bersahabat. Mungkin mbaknya punya
banyak masalah, begitu saya mencoba berpikir positif haha.
Oleh mbak perawat yang ketus tadi, tempat jarum infus saya disuntikkan obat
drip. Ada sedikit kekhawatiran yang saya rasakan. Apakah dosisnya tepat? Apakah
saya akan baik-baik saja? Dari sinilah, gelombang cinta mulai datang, semakin
dahsyat dan semakin dahsyat.
Pada pukul 17.30, saya mengalami kontraksi. Sayup-sayup azan maghrib
berkumandang. Ibu meminta saya untuk menahan jika ingin melahirkan, sebab hari
masih maghrib. Namun saya tidak bisa menjawab karena saya fokus pada teknik
pernapasan agar tidak kehabisan tenaga. Saat kontraksi pertama setelah obat
drip bekerja, mas suami belum tiba. Namun begitu mas suami tiba, saya memohon
kepada ibuk agar mas suami yang menemani saya.
Mas suami berbisik pelan, untuk menikmati rasa sakit yang dirasakan dan
terus mengusap bagian pinggang. Ketika kontraksi tiba dan pinggang diusap oleh
mas suami, rasanya begitu nikmat. Rasa sakit yang sangat itu tiba-tiba berubah
menjadi nikmat. Ketika ibu yang mengelusnya, rasanya tidak sama. Saya masih
merasakan sakit yang sangat. Mas memang pernah menyampaikan, ada amalan khusus
untuk sedikit mengurangi rasa sakitnya, yakni lantunan salawat. Beliau
bersalawat ketika mengelus pinggang belakang saya.
Mulai dari itu, saya terus mengalami pembukaan. Jika ada jeda, saya akan
minum susu dan air putih. Belum selesai minum, seringnya kontraksi hebat
berjalan lagi. Setelah diperiksa oleh perawat yang menjaga, saya baru buka tujuh.
Kontraksi terus berlangsung. Selama kontraksi, saya diminta miring ke kiri dan
dilarang mengejan. Pada bukaan ketujuh inilah, secara otomatis saya seperti
ingin mengejan. Karena saya sudah mengedukasi diri bahwa proses pengejanan
tidak boleh dilakukan sebelum buka lengkap, maka sekuat tenaga saya alihkan pada
teknik pernapasan. Saya terus melakukan teknik pernapasan dibantu dengan
hypnotherapy yang mas suami bisikkan. Beliau pun tidak berhenti mengelus
pinggang yang rasanya bukan main sakitnya.
Proses itu terus berlangsung hingga pukul 20.00 WIB. Secara tiba-tiba AC di
ruang itu dimatikan, dan lampu yang sangat terang menyorot di bagian bawah
tubuh saya. Bagian atas dan bawah tertutup kain jarit. Sembari kesadaran penuh
yang masih bisa memotret keadaan lingkungan, selanjutnya saya hanya fokus pada
teknik pernapasan dan pengejanan saat kontraksi tiba.
Kepala bayinya sudah tampak, saya sudah buka sepuluh. Hal lucu saya alami
saat ini, yakni ketika saya tidak kontraksi, saya masih mengejan. Kemudian
perawat yang bertugas tahu dan bertanya, ‘Apakah tidak keras perutnya, Mbak?’
‘Tidak, Mbak,’ jawab saya di sela-sela melahirkan. Kemudian oleh mbak perawat
disampaikan agar mengejan saat saya mengalami kontraksi. Belum selesai mbak
perawat menghabiskan kata-katanya, saya sudah mengejan hebat. Sayup-sayup
terdengar mbak perawat mengatakan ‘pintar, pintar’. Sedikit menggelikan memang,
namun saya tidak ingin melakukan apapun selain mengejan.
Tidak lama setelah itu, saya merasakan sesuatu keluar dari rahim. Bersamaan
dengan itu, di balik jarit yang menjadi tirai tubuh, saya melihat ibu yang
mengucapkan ‘Allah’, ‘Allah’ bersamaan dengan pecahnya tangis dari mulut bayi
mungil yang kulitnya cerah dan sangat cantik. Pada saat itu, saya tidak
merasakan sakit sama sekali. Namun titik fokus saya bukan di situ, sebab saya
tidak bisa mendefiniskan rasa yang hadir, saat pertama kali melihat sosok tubuh
mungil berkulit cerah yang digendong oleh mbak perawat. ‘Selamat, ibu, bayinya
perempuan, sangat cantik.’ Kemudian dia ditengkurapkan di dada saya untuk
beberapa saat dan selanjutnya mbak perawat mengambilnya kembali.
Setelah putri pertama kami terlahir, mas berpamitan akan mengurusnya, dan
selanjutnya mengatakan agar saya menikmati sedikit rasa sakit dari proses
jahitan. Sebelum pamit, mas tidak lupa untuk mencium kening. Sedangkan saya,
keadaan saya saat itu sedang melayang di antara rasa lega dan rasa yang sangat
sangat bahagia. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya saya menjadi seorang ibu.
Ketika mengingat peristiwa itu, tiba-tiba rasa rindu hadir dan mengerubungi
hati. Saat ini, bayi mungil tadi sudah tumbuh besar. Sepuluh bulan sudah berlalu.
Bagi saya, waktu begitu singkat. Padahal semua kejadian tadi masih terasa
sangat segar. Zoya seakan-akan masih baru lahir, dan hanya bisa menggeliat. Namun
kini, dia sudah belajar untuk melangkahkan kakinya. Bahkan bisa berlari dengan
bantuan Apollo.
Ya Allah, dahulu saya begitu berambisi dan bercita-cita terhadap sesuatu. Memang,
saat ini saya masih menggenggamnya. Saya pun juga sangat yakin suatu saat bisa
menggapainya, biiznillah. Akan tetapi, ternyata Allah berencana lain. Allah
memberikan waktu kepada saya untuk beribadah melalui mengasuh anak. Saya diberi
waktu untuk menemani Zoya tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal yang mungkin
jarang dimiliki seorang ibu kepada putrinya di masa ini.
Jika dibilang lelah, tentu saja saya sangat lelah. Namun, mas suami
mengajarkan untuk menikmati lelah dan tidak memperbolehkan saya mengeluh,
selelah apapun. Meski memang waktu untuk diri sendiri tidak ada, tidak sempat
merawat diri, kurang produktif, akan tetapi, Zoya bisa saya didik sendiri. Jika
memang saya mengalami kelelahan yang sangat, maka saya akan meminta me time dari mas suami, agar pikiran
kembali segar dan fisik kembali bugar. Saya sangat beruntung memiliki suami
yang bisa diajak komunikasi dengan baik. Alhamdulillah.
Jika saya boleh dikatakan, saya bisa mengatakan bahwa saat ini, kondisi
ekonomi keluarga kecil kami bisa terbilang cukup, sebab untuk kebutuhan pokok,
Allah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kami dengan selalu
mencukupkan kebutuhan pokok kami. Akan tetapi, untuk beberapa keperluan yang
bersifat sekunder, terlebih tertier dan kuarter, kami masih harus bersabar
menabung.
Selain itu, saat ini saya memang belum bisa mengabdi mengajar ikut
instansi. Banyak pilihan yang harus dipertimbangkan. Dan memang, dengan pilihan
yang saya pilih, maka resiko ini harus ditanggung.
Karier mungkin bisa saya kejar beberapa waktu ke depan. Namun golden age Zoya
tidak bisa terulang. Saya takut saya kurang memiliki kasih sayang, perhatian
dan pendidikan yang baik untuknya. Saya takut jika amanah utama kami terabaikan
demi kepentingan lainnya. Pun, hidup seperti ini tidak pernah saya bayangkan
sebelumnya. Meski memang harus bersabar, namun Allah benar-benar mencukupkan
segala kebutuhan kami. Kami memiliki rumah tanpa harus mengontrak, kendaraan,
pangan dan lainnya. Karena buah kepasrahan begitu manis, maka urusan hidup saya
selanjutnya saya serahkan sepenuhnya kepada-Nya. Jika memang suatu saat ada
kesempatan, kesempatan itu akan saya ambil dengan performa terbaik yang saya
miliki. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita.
Tulungagung, 16-19 Februari 2022
Comments
Post a Comment